Jumat, 18 Juni 2010

Suami Pelit


Suami Pelit

Oleh Dewi Telaphia

Beberapa waktu yang lalu saya membaca suatu pertanyaan di millis mengenai "suami pelit", sehingga menyebabkan isteri tersebut ingin bekerja agar keperluan pribadinya terpenuhi.

Mungkin untuk ukuran keluarga yang tingkat ekonominya rendah hal-hal semacam ini bisa dimaklumi. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan sekunder, untuk memenuhi kebutuhan primer pun masih belum layak.

Tapi lain hal jika pada keluarga yang mampu menjalankan praktek tersebut.

Saya jadi membayangkan bagaimana seandainya hal tersebut terjadi pada saya. Bagaimana seharusnya saya bersikap andai saya mempunyai suami seperti itu? Terus terang mungkin saya akan bersikap protes dan menyatakan keberatan saya, karena sikap kurang bijaksana suami.

Terbayang oleh saya ketika saya ingin membersihkan rumah, tapi tak disediakan alat untuk membersihkan rumah seperti sapu, kain pel dan alat-alat kebersihan lainnya.

Untuk peralatan memasak pun saya disediakan peralatan yang hampr semuanya bekas, karena suami segan untuk mengeluarkan uang, maka tanpa malu suami pun meminta-minta peralatan rumah tangga yang bekas.

Untuk memenuhi pakaian anak dan peralatan mainannya pun saya harus meminta lungsuran atau belas kasihan orang lain, padahal uang suami saya banyak.

Keperluan pribadi saya untuk membeli alat-alat kosmetika seperti sabun mandi, pasta gigi, sikat gigi, sampoo, bedak dan lain-lain harus yang semurah mungkin tanpa memperhatikan efek dari penggunaaan alat kosmetik tersebut.

Anak-anak pun harus merengek-rengek dan menangis hanya karena tidak dibelikan sepatu.

Sedangkan untuk berzakat yang wajib pun menggunakan dalil yang bisa mengeluarkan zakat yang semurah-murahnya.

Subhanallah betapa tabahnya isteri yang tahan terhadap suami seperti itu.

Memang isteri harus taat dan patuh pada perintah suami, tapi jika suami bertindak salah dan kurang bijaksana, seharusnyalah kita sebagai isteri meluruskannya.

Bukankah kita diperintahkan untuk berada dipertengahan ketika membelajankan harta? Islam mengajarkan kita untuk bersikap pertengahan dalam segala permasalahan.

Allah berfirman:

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67).

Memang sikap berlebihan tidak dianjurkan, karena sikap berlebihan merupakan sikap hidup yang dapat merusak jiwa, harta, dan masyarakat. Sedangkan pelit atau kikir merupakan sikap hidup yang menahan dan membekukan harta.

Sedangkan menurut hadits sebagai berikut:

  • Allah akan memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha dari yang baik, membelanjakan dengan pertengahan, dan dapat menyisihkan kelebihan untuk menjaga pada hari dia msikin dan membutuhkannya. (HR Ahmad)
  • Tidak akan miskin orang yang bersikap pertengahan dalam pengeluaran. (HR Ahmad)

Dari penjelasan tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa syariat Islam memiliki aturan-aturan yang harus dijalankan oleh setiap muslim dalam mengeluarkan hartanya. Dengan adanya beberapa kasus yang dipaparkan di atas saya jadi lebih berintrospeks diri lagi apakah harta yang telah dikeluarkan sudah sesuai dengan aturan Islam atau belum. Bukakankah kita percaya bahwa rizki itu Allahlah yang mengaturnya, dan tak akan pernah salah pemberian-Nya. Jangan pernah takut untuk mengeluarkan harta dijalan Allah. Jika pengeluaran harta sudah sesuai dengan syariat Islam maka insya Allah, Allah akan memberikan harta pada kita berlipat ganda dan senantiasa diberkahi.

Ada kata mutiara dari Buya Hamka yang mungkin patut kita renungkan:

“Jangan serupakan di antara Hemat dan Bakhil, karena orang yang hemat memperhitungkan perbelanjaannya, uang masuk dan uang keluar dengan tujuan apabila perlu dapat membelanjakan harta itu menurut sepatutnya. Tetapi orang yang bakhil mengumpulkan harta dengan tujuan semata-mata menumpul. Orang yang hemat mengatur hartanya, orang yang bakhil diatur oleh hartanya."

Melihat Dengan "Kaca Mata" Hikmah


Melihat Dengan "Kaca Mata" Hikmah

Oleh Syaripudin Zuhri

“ Aduh cepatan dong …. kita terlambat nih, aduh kenapa sih tadi pakai sholat Jum’atan dulu, ini kan hari kerja …. ? Dengan gusar , sebut saja si Amin, merangsek dan terus saja nyerosos kepada sang supir untuk mempercepat laju mobilnya, Amin sangat kwatir akan tertinggal pesawat yang akan di tumpanginya.

“ Sabar… tenang …. udeh berhenti dulu keluhannya ” Teman di sampingnya yang mengantarkan Amin ke Bandara mencoba menenangkannya, maklum jalan-jalan di Moskow kalau di hari kerja, apa lagi di hari Jum’at mau pulang kerja, dimana banyak orang pulang kerja setengah hari, biasa mempersiapkan diri untuk ke Dacha ( Vila ) … makan jalan yang sudah bigitu lebar dengan 16 jalurpun masih bisa macet, apa lagi kalau ditambah hujan atau salju di msuim dingin, bisa macet total !

“ Ya… tapi kan … aduh gimana nih…. tadi sih sholat Jum’at dulu “ Amin mulai lagi dengan sesalan dan kegusarannya. Singkat kata sampailah … Amin di Bandara Domodidovo, dengan kelegaan luar biasa, karena waktu yang akan diperlukan untuk pemeriksaan tiket dan migrasi hanya tinggal satu jam dan itupun harus antri dengan cepat – cepat mereka menuju kebagian pemeriksaan tiket. Setelah antri … tibalah giliran Amin, temanya yang dari bagian konsuler menyorongkan paspor dan tiketnya ke petugas, paspor diperiksa, visa dan izin tinggalnya di Moskow , beres, Alhamdulillah. Namun … ketika petugas memeriksa tiketnya…. tanggal kembali ke Jakartanya beda !

“Aduh gimana nih ….” Tanyanya pada teman yang bagian konsuler.
“ Iya, kenapa tidak diperiksa dulu tadi sebelum berangkat ? “ Temanya ikut menyalahkan Amin, “ Kenapa begitu ceroboh, tidak meriksa dulu semuanya ? “ Tanya temannya.
“ Saya tidak periksa, karena yakin dan percaya kepada bagian travel di Jakarta, karena Saya beli tiketnya di Jakarta “ Sahut Amin kepada temannya.
“ Tadi sih kita sholat Jum’at dulu…kan kalau tidak sholat Jum’at dulu kita punya banyak waktu untuk memeriksa segala sesuatunya “ Lagi-lagi Amin, “ menyesali” sudah sholat Jum’at, padahal tak biasanya dia begitu, mungkin karena kejadian yang terduga ini, sesalnya keluar juga.
“ Oke … kalau gitu kita terpaksa nunggu penumpang yang terakhir, bila ada yang tak jadi berangkat, karena ada sesuatu “ Kata temannya.

Akhirnya mereka menunggu, teman-teman yang lain yang ikut mengantarnya, ikut menenangkan Amin. “ Biasa, kejadian seperti ini sering terjadi, udah tenang saja, lebih baik sambil menunggu terus berdoa “ Kata temannya yang lain, beberapa lama kemudian ketika pintu bagian pemeriksaan tiket di tutup dan terdengar kabar … ada penumpanag yang “ batal” berangkat … semuanya mengucapkan puji syukur kepadaNya, “ Alhamdulillah “ Berarti Amin bisa terbang ke Jakarta menggantikan orang yang “batal” terbang.

“ Nah kan … benar tadi kita sholat Jum’at dulu, hingga doa kita dikabulkan “ kata teman-temannya, Amin hanya menunduk, malu. Ya sudah… akhirnya, walau dengan tiket yang salah tanggal, Amin dapat kembali ke Jakarta dari Moskow. Alhamdulillah.

Ilustrasi di atas itu sebagian kecil dari banyak kisah, sebuah musibah menjadi hikmah, memang banyak jalan untuk bersyukur kepadaNya, karena memang hidup dan kehidupan ini banyak sekali hikmah yang terkandung dibalik itu semua, ada hikmah dari segala macam ciptaaanNya, ada hikmah dari segala kejadian dan peristiwa, baik disadari ataupun tidak oleh kita. Kebanyakam manusia memang kurang atau sering kali langsung mengatakan : Tuhan tidak adil ” bila melihat suatu musibah atau mengalami sesuatu yang tidak mengenakan. Jadi tidak melihat ada apa dibalik musibah itu ? Atau tidak mencari suatu hikmah dibalik setiap kejadian.

Seringkali yang terjadi adalah apa yang awalnya dianggap musibah, ternyata dikemudian hari, malahan menjadi berkah. Atau terjadi sebaliknya, apa yang dianggap menyenangkan, di kemudian hari malah menjadi bencana. Ya, manusia memang sering kali “tertipu” pada apa yang nampak dan sering terkecoh pada yang terlihat. ” Apa yang menyangkan , belum tentu baik untukmu dan apa yang terlihat buruk, bisa jadi baik baikmu “ Mari kita lihat bait-bait ini :
Apapun yang terjadi pada alam ini
Dari yang paling kecil sampai yang paling besar
Insya Allah ada hikmahnya
Sesuai dengan firmanNya
” Ya Tuhan kami tidak ada yang Kau ciptakan dengan sia-sia “

Dari kuman yang tidak kelihatan oleh manusia
Sampai milyaran galaxy yang maha luas
Semua mempunyai fungsi masing-masing

Begitu pula dengan peristiwa manusia
Dari penderitaan yang amat memilukan
Sampai kesenangan yang melenakan
Semua ada hikmahnya

Terkadang manusia lupa bila di uji dengan penderitaan
Hingga ingkar pada Allah karena penderitaan yang di deritanya

Padahal di balik penderitaan ada hikmahnya juga
Berupa jiwa yang semakin kuat, tabah, dan tak tergoyahkan

Maka jangan lekas membuang yang pahit
Siapa tahu itu adalah obat bagimu
Jangan lekas mengatakan Allah tidak adil !
Siapa tahu Allah di lain waktu memberikan nikmatNya

Jangan lekas mengeluh bila tak mendapatkan sesuatu yang diinginkan
Siapa tahu Allah akan memberikan sebagai pengganti yang terbaik
Dan jangan lekas memisahkan sesuatu yang kamu benci dan kau anggap hina
Siapa tahu apa yang kamu benci dan kamu anggap hina
Justru di cintai Allah !
Dan jangan segera meminum yang manis
Siapa tahu itu adalah racun bagimu.

Siapa yang menyangka
Jika sampah yang di buang-buang manusia
Justru bisa dijadikan kompos dan energi listrik

Siapa yang menduga
Rambut jagung yang dibuang
Saat makan jagung rebus atau jagung bakar di Rusia bisakan dijadikan jamu, obat untuk kesehatan.

Siapa yang mengira
Gerak rumput atau ilalang yang bergoyang
Adalah prototype gerakan pesawat terbang
Siapa menyangka
Nyamuk yang kecil itu
Membuat kaya raya para pengusaha obat anti nyamuk

Siapa yang protes terhadap keringat
Mungkin lupa
Keringat yang dianggap menganggu
Telah melahirkan ribuan jenis minyak wangi sejak berabad-abad
Dan telah melahirkan ribuan perusahaan dengan berbagai model
Membuka lapangan kerja dan melahirkan foto model iklan

Siapa yang membenci virus
Ternyata virus yang tak kelihatan itu
Telah melahirkan para penilti dan para ilmuwan
Betapa banyak Doktor tercipta karena virus
Apa lagi ?

Coba lihat air mata saat kau menangis
Itu adalah alat pembersih alamiah dan mengurangi beban psikologis
Terasa sangat lega dan beban yang terpikul terasa ringan
Jangan meremehkan air mata !
Ribuan judul puisi bisa lahir karena tangisan
Ribuan judul drama, sandiwara, film dan senitron tercipta karena air mata
Ribuan judul novel tercipta berkat air mata
Dan jangan lupa …… !
Air mata wanita adalah senjata yang sangat tajam
yang dapat meruntuhkan kerajaan dan singgasana para emperator !
Siapa yang tahan melihat air mata wanita ?

Maka menangislah kamu selagi bisa menangis
Tak ada larangan untuk menangis
Bahkan tangisan para auliya
Dikeheningan malam, saat tahajud dan sujud
Adalah kunci pembuka pintu syurga !


Apa lagi ?
Lihat kulitmu yang tipis dan halus mulus
Tebalnya hanya sepersekian mili yang membungkus daging
Siapa yang mengira
Kulit yang dianggap biasa adalah jaket yang paripurna bagi daging
Tergores sedikit saja, maka kuman segera datang menyerang daging
Terjadilah pembusukan dan borok
Di akherat Kulitpun akan menjadi saksi
Dan dimintai pertanggung jawaban
Bila merasa diri tidak cantik sehingga kurang bersyukur
Datanglah ke rumah sakit
Kau akan menemukan berbagai jenis penyakit yang bisa juga menyerangmu
Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang kau dustakan ?

Tak ada yang sia-sia apapun yang diciptakanNya
Bila ada sesuatu ciptaanNya yang kelihatannya tak berguna
Itu bukan berarti sia-sia !
Hanya manusia belum menelitinya atau tidak tahu fungsinya
Yakinlah ada hikmah di balik penciptaanNya
Dan jika mau di tulis hikmah setiap ciptaanNya
Niscaya manusia tak mampu melakukannya
Karena tak terhingga banyaknya !

Maka bahagialah orang yang pandai mengambil hikmah atau pelajaran dari setiap kejadian, baik yang langsung menimpa dirinya atau yang menimpa orang lain. Bahagialah orang selalu melewati hari-harinya dengan membawa dan menggunakan ” Kaca mata hikmah “, karena dengan kaca mata hikmah ini, dia dapat melihat seluas luasnya dari setiap kejadian apapun, dengan kaca mata hikmah, seakan dia melihat sesuatu dari segala sisi, dari segala arah, dari segala sudut, dari multi dimensi, hingga dia dapat menghadapi hidup penuh kebahagiaan dan ketentraman jiwa.

Orang yang selalu memandang kejadin dengan ” kaca mata hikmah ” akan mendapat bimbingan dan hidayah Tuhan yang sangat besar, orang seperti ini akan selalu berpikir positif melihat suatu kejadian, hingga yang dalam dirinya penuh dengan hikmah dan kebajikan, yang ada dalam dirinya, baik, baik dan selalu kebaikan. Hatinya begitu lapang, kelapangan dadanya meluas, terkadang tak terjangkau oleh manusia kebanyakan.

Dunia Seperti Gelapnya Malam


Dunia Seperti Gelapnya Malam

Oleh Abdul Mutaqin

Belum sempat Duha kami tegakkan seperti biasa. Baru beberapa siswa setor hafalan seperti biasa. Belum sempat tausiyah rutin disampaikan. Belum lagi kebiasaan saya ”menyentil” siswa yang enggan remedial. Belum sempat. Tiba-tiba lantai tiga sedikit bergoyang. Mungkin ada gempa. Semua berhamburan.

Gempa memang menakutkan. Terutama gempa berskala besar, getaran dan efek rusaknya membuat trauma. Banyak orang ”bangkrut” karena gempa. Kehilangan harta, anak dan isteri bahkan kehilangan nyawa karenanya.

Banyak yang kaya jadi miskin. Dahulu tidur di rumah besar, indah dan asri tetapi tiba-tiba harus berdesakan di tenda pengungsian. Pengap, panas, kotor dan tidak hygienis. Tak ada yang tersisa dari rumah idamannya. Rumah yang dibangun dari jerih payah dari rezeki yang disisihkan. Rumah yang sering dibanggakan ketika tamu bertandang. Dengan segala dekorasi hiasan, barang antik dan perabot yang dipasang berjejer. Dengan kolam renang yang menawan di sisi taman buatan yang menyejukkan mata memandang. Semuanya tak tersisa. Hancur. Sementara gubuk reyot tetangganya tetap kukuh berdiri. Seolah menunjukkan kegagahan pada si kaya bahwa ia masih mampu berdiri dan masih sanggup melindungi penghuninya dari terik dan curah hujan yang mengguyur bumi. Itulah gambaran dunia yang sesungguhnya. Gempa hanya satu instrumen bahwa dunia ini kapan saja bisa lenyap sebab kefanaannya.

Getaran gempa bisa menjadi sumber belajar yang dapat mengantarkan kepada kuasa Allah. Fenomena getar alam itu juga bisa didisain untuk mengikis berbagai citra diri yang negatif semisal takabbur, ujub, riya, sum’ah, tamak, kikir, ananiyah dan sebagainya menuju kesadaran baru. Kesadaran yang insyaf bahwa manusia amatlah kecil berhadapan dengan kekuasaan Sang Pencipta. Semestinya juga, getaran gempa semakin menyadarkan manusia bahwa skenario akhir zaman dan kehancuran dunia menambah bobot iman akan kepastian kiamat. Menjadilah ia dermawan, ikhlas, syukur, qona’ah, suka dengan taubat dan tawadhu di hadapan Allah dan sesama.

Masya Allah, entah sudah berapa ribu kali getaran gempa menyapa hidup kita. Dari yang berskala kecil yang nyaris tidak kita sadari sampai pada skala yang mampu mengangkat pondasi gedung bertingkat dan merobohkannya layaknya rumah kardus. Tetapi, apakah setiap manusia mau secara ikhlas mengambil pelajaran dari peristiwa itu? Tidak. Nyatanya hanya orang yang memiliki kehalusan akhlak, kemurnian tauhid dan ketundukkan pada aturan Allah saja yang menjadikannya sebagai sinyal agar menjadi lebih ahsan dari hari kemarin, hari ini dan esok harinya.

Nyatanya, tidak sedikit manusia yang tetap takabbur walau ribuan kali gempa terjadi. Mereka masih senang membabat hutan tanpa peduli menanam generasi pohon sesudahnya. Masih ada manusia yang membuang limbah di aliran sungai hingga kejernihannya dirampas tak tersisa walau hanya sekedar untuk mencuci sandal jepit. Begitu juga yang dialami eksosistem dan biota laut. Terumbu karang dirusak, hutan bakau dipangkas, pasir laut dikeruk dan entah apalagi kezaliman yang dilakukan manusia demi memenuhi ambisi perutnya.

Sikap takabbur juga masih ditunjukkan manusia tertentu dalam bentuk yang lebih lunak tetapi daya rusaknya tidak kalah dahsyat. Belakangan begitu banyak idiologi diumbar yang secara terang-terangan mengajak orang durhaka kepada Allah dengan dalih kebebasan, HAM, kesetaraan dan berbagai jargon yang menyilaukan. Bagaimana tidak diartikan sebagai kedurhakaan apabila kebebasan didefiniskan sebagai bebas menjadi Nabi sesudah Rasulullah, menganggap halal pernikahan sejenis atau bahwa seorang muslim taat akan berdampingan dengan Thomas Alfa Edison di surga kelak?

Begitu banyak orang durhaka menjadi soleh dengan merasakan getaran kekuasaan Allah dalam peristiwa gempa. Kikirnya menjadi dermawan. Congkaknya berubah ramah. Maksiatnya macet dan ibadahnya lancar. Kecut masam wajahnya berangsur hilang berganti senyum keramahan. Punuk yang terbuka telah dibalut hijab. Masya Allah ... itulah mereka yang masih memiliki sedikit sisa kehalusan akhlak, kemurnian tauhid dan ketundukkan pada aturan Allah. Gempa segera mengembalikannya kepada kesadaran ilahiyah yang tertimbun hiruk pikuk kilau duniawi.

Gempa memang menakutkan. Tetapi juga tidak sedikit manusia lemah yang semakin congkak, seperti para penjaja idiologi yang sering ditempatkan sebagai pahlawan bagi ”peradaban” dan faham agama yang disebut lebih sesuai zaman. Seperti para akrobat di meja peradilan di mana hukum dipermainkan. Seperti para pengedar narkoba yang merusak mental generasi bangsa. Seperti .... seperti .... seperti ... entah seperti apa lagi.

Betapa rapuhnya dunia ini dan betapa lemah kita di hadapan Allah. Secara fisik, manusia memang ahsanu taqwim, tetapi kadang tidak berdaya berhadapan dengan serangan virus yang tubuhnya saja tidak dapat dilihat mata telanjang. Tiba-tiba saja manusia merasakan pedih hanya karena ada debu halus melekat di dinding bola matanya. Dalam kenikmatan makan, kadang manusia amat bergantung kepada air hanya untuk mendorong masuk makanan di tenggorokan atau tersedak aroma lezatnya hidangan. Manusia begitu lemah sehingga tidak sadar seekor lalat pun telah berhasil mencuri makanannya. Bahkan tidak sedikit nyawa melayang di atas kendaraan hanya karena manusia tidak kuasa melawan rasa kantuk yang membawanya ke liang kubur. Mengapakah rasa angkuh masih bersemayam?

Getaran bumi dalam peristiwa gempa semestinya menggetarkan kesadaran ilahiyah atas tanda-tanda kekuasaan al-Mutakabbir. Bahwa kapan saja Allah bisa merenggut segala milik manusia sesuai kefanaan sifatnya. ”Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya adzab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.” Demikian pesan Allah dalam QS. Yunus [10] : 24).

Dunia seperti gelapnya malam yang sukar ditebak. Berjalan di gelapnya malam tanpa cahaya sama saja berjudi dengan nasib. Mencintainya berlebihan seperti meminum air laut di tengah dahaga. Semakin diminum semakin dahaga. Sementara iman seperti obor di tengah kegelapan malam. Dengannya manusia mantap melangkah dan berpijak. Manusia beriman tahu mana yang harus di pijak dan mana yang harus lingkahi dengan imannya. Dan bagi manusia beriman, getaran gempa seperti sinyal bahwa ia harus lebih merapat kepada kemurahan dan perlindungan Rabbul ’aalamiin. Allahu a’lam.

Ciputat Mei 2010.

Jangan Ceraikan Tiga Saudara Kembarmu


Jangan Ceraikan Tiga Saudara Kembarmu

Oleh Abdul Mutaqin

Kesenjangan dalam keberagamaan antara tataran normatif dengan praksis di medan hidup semakin nampak menggila. Iman, Islam dan Ihsan yang diformulasikan dalam bentuk ritual ibadah, zikir dan tafakkur tidak dipantulkan bayangannya dalam segmen kehidupan. Iman, Islam dan Ihsan menjadi pohon angker yang tak berbuah manis, tapi pahit dan getir. Iman sebatas simbol. Islam tidak dimaknai lebih dari sekedar pelengkap informasi KTP. Adapun Ihsan jauh terasing di seberang tingkah laku yang sekedar menoleh pun enggan. Ketiganya seolah asing satu sama lain untuk bertegur sapa. Subhanallaah wa Alhamdulilah wa Allahu Akbar, semoga tidak semua demikian. Masih banyak mukmin muslim muhsin sejati.

Di medan hidup kita bisa tidak habis pikir. Jangan heran berlebihan apabila menjumpai orang sudah berpeci putih, jamaah dan ta’limnya rajin tapi sampai hati memperlakukan anak dan isterinya sangat tidak santun. Jangan juga terbelalak, apabila mendengar publik figur yang dikenal alim tetapi meringkuk di penjara gara-gara tersandung urusan korupsi. Dan jangan juga terlalu sakit hati melihat polah tingkah segelintir artis yang begitu sumringahnya membuka aurat padahal seminggu sebelumnya baru pulang dari umroh. Seolah-olah umroh adalah umroh dan pesta pora membuka aurat adalah soal lain.

Saya teringat sebuah cerita imajiner; Cendil dan kisah seorang pelacur yang rajin tahajjud. Cerita yang menampilkan realitas hidup sesungguhnya di zaman yang semakin renta ini. Dunia yang semakin peot dengan debu peradaban memang terlihat semakin cantik dengan kosmetik teknologi modern. Dengan teknologinya pula, banyak seorang muslim tidak sadar telah memisahkan tiga saudara kembarnya; Iman, Islam dan Ihsan.

Islam satu substansi tata nilai, iman sebuah substansi, ihsan juga sebuah substansi, dan seorang muslim adalah substansi yang lain. Allah menghendaki, keterpautan yang utuh antara Iman, Islam dan Ihsan. Ketiganya menjadi pilar yang harus diamalkan sebagai jalan hidup bagi setiap orang yang berikrar sebagai muslim. Semestinya memang, antara substani tata nilai dangan kepribadian adalah menyatu. Seperti menyatunya Iman, Islam dan Ihsan pada diri Rasulullah SAW, para sahabat ra. dan orang-orang sesudahnya yang taat kepada-Nya.

Pada titik tertentu, begitu banyak orang menyalahkan Islam sebagai agama yang gagal menjadikan ummatnya menjadi manusia arif. Maraknya korupsi, kekerasan, kawin-cerai dan beberapa perilaku menyimpang, dijadikan sebagai amunisi untuk merusak citra Islam. Ya, karena banyak dari para aktor keburukan adalah jelas-jelas muslim. Baik KTP dan bayangan zahirnya yang kasat mata. Jadilah Islam itu dirusak oleh pemeluknya sendiri. Keindahan Islam justeru ditimbun oleh ”sampah” kemaksiatan oknum muslim itu sendiri. Benarlah ungkapan ”Al Islaam mahjuubun bilmuslimiin”. Padahal masalahnya bukan pada Islamnya, tetapi lebih kepada substansi pribadi muslim yang enggan menjadikan Islam itu sebagai jalan hidup yang kaaffah yang dilandasi Iman dan dihiasi Ihsannya. Tetapi para phobi Islam itu, mana mau peduli? Salahnya kita mengapa berbaik hati memberikan peluru kepada musuh sendiri.

Malapetaka dan fitnah adalah buah apabila ketiganya diceraiberaikan. Iman tanpa Islam seperti mimpi. Islam tanpa Iman seperti bungkusan cantik tanpa isi. Iman dan Islam tanpa Ihsan kaku dan rigid. Maka menjadi mafhumlah kita, mengapa sering kali Al-Qur’an menyeru iman bergandengan dengan amal salih.

Memang terasa ganjil, apabila seorang yang khusyu ketika di masjid, tetapi menjadi penipu ketika di pasar. Berulang kali ke tanah suci, tetapi mendekam di penjara karena kasus korupsi. Ringan hati membeli perabot rumah yang mahal-mahal dan hampir tidak perlu kecuali sebatas aksesoris, tetangga sebelahnya kelaparan. Meskipun hanya sebungkus nasi warteg untuk mereka, berat tangan digerakkan. Padahal kesehariannya mengenakan sorban dan mengapit biji-biji tasbih. Mengapa terjadi? Ya, karena mereka sampai hati dan tega memisahkan tiga saudara kembarnya; Iman, Islam dan Ihsan.

Atau seperti cerita seorang ”wanita nakal” dan laki-laki ”belang” setengah baya yang berbisik setelah mereka kelelahan menghabiskan separuh malam. Di ruang privat mereka asik masyuk mengkhianati bangunan rumah tangganya. Membuang janji suci perkawinannya ke keranjang sampah kedustaan. Dan melukai panggilan hormat anak-anak dan pasangannya. Dengan keringat masih mengkilat di sekujur tubuh mereka, si wanita berujar :

”Om, apakah Om sudah puas? Kalau sudah Saya hendak pamit”. ”Mau kemana?”, sahut tamunya itu malas-malasan sambil tangan dan kakinya masih mengapit tubuh wanita itu erat.

”Saya mau mandi junub dan tahajjud. Ini adalah waktu sepertiga malam. Waktu yang tepat untuk munajat. Mudah-mudahan do’a saya didengar dan dikabul”.

“Oh ya, nanti tolong juga sampaikan amplop coklat di meja rias itu untuk anak-anak yatim di kompleksmu. Yang warna pink untukmu. Saya ingin istirahat tidur”.

Naudzubillah. Jangan kaget lagi, itu hanya cerita imajiner yang saya reka. Sekedar selingan melepas lelah setelah membaca naskah ilmiah atau artikel yang memeras otak.

Bagaimana jadinya jika cerita imajiner itu adalah nyata terjadi dan bukan sekedar imajinasi nakal? Itu soal lain. Dan beredarnya video mesum adalah jawaban konkretnya. Jika mereka para pelakon birahi itu adalah muslim, itulah muslim yang tega memisahkan tiga saudara kembarnya; Iman, Islam dan Ishan.

Kita juga pasti termangu mendengar rumah-rumah sebagian wanita di kempleks pelacuran yang konon di dinding-dinding rumahnya terpajang kaligrafi Al-Qur’an. Pada jendelanya bergayut sajadah dan mukena. Belum tentu juga laki-laki yang tidur di pelukannya adalah laki-laki dari komunitas rendahan. Belum tentu. Bahkan banyak di antara mereka adalah orang-orang yang berteduh di bawah payung strata sosial terhormat. Dihormati keluarga dan masyarakat dan bekerja pada lembaga terhormat pula. Why? Ya, karena mereka sampai hati dan tega memisahkan tiga saudara kembarnya; Iman, Islam dan Ihsan.

Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: ”Tidak ada pezina yang di saat berzina dalam keadaan beriman. Tidak ada pencuri ketika mencuri dalam keadaan beriman. Begitu pula tidak ada peminum arak di saat meminum dalam keadaan beriman” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Soal kasus video mesum sangat melelahkan moral dan akhlak bangsa kita. Mau jadi apa anak dan generasi kita ke depan? Ribuan Anak sekolah melihatnya tanpa malu-malu kucing. Orang tua mereka berbaik hati telah memberinya handphone. Orang tua tidak sadar bahwa ia telah menampar pipinya sendiri dengan pemberiannya itu. Media turut andil membuka kran informasi dan memblowup kasus birahi ini saban hari. Maka anak-anak yang tinggal di pegunungan turun gunung. Anak-anak yang tinggal di pantai dan di tepian sungai mengarungi laut dan menyebarangi sungai. Anak-anak yang tinggal di bibir hutan menerobos belukar dan belantara. Mereka berhamburan hanya untuk mencari warnet di perkotaan agar bisa mengunduh video yang disiarkan televisi. Atau jika gaptek, pasti akan ada cara lain untuk mendapatkannya. Yang penting rasa ingin tahunya dari televisi bisa terpuaskan.

What children see, children do. Ungkapan ini membuat para orang tua berbesar hati. Anak-anak rajin salat, ngaji, berdo’a, puasa dan bersedekah sebab awalnya melihat sekelilingnya berbuat demikian. Karena mereka melihat ayah-ibu taat beribadah, menikmati hiburan ibadah, membaca buku-buku ibadah, begaul dengan teman taat ibadah, bersekolah di lembaga yang menumbuhkan rajin ibadah dan menetap di lingkungan yang taat beribadah. Maka para orang tua berbesar hati. Kelak ketika mereka telah tiada, anaknya setia mendo’akan untuknya. Mengalirlah pahala ketaatan anak-anak mereka dari jerih payah telah mendidiknya dengan atmosfir ketaatan. Sejuk, terang dan lapang kubur mereka.

What children see, children do. Ungkapan ini sungguh membuat dada kita berguncang. Anak-anak terbiasa meninggalkan salat, malu mengaji, acuh dalam berdo’a, asing dengan puasa dan bersedekah sebab awalnya melihat sekelilingnya berbuat demikian. Karena mereka melihat ayah-ibu tidak beribadah, menikmati hiburan cabul dan porno, membaca buku-buku cabul dan porno, begaul dengan teman cabul dan porno, bersekolah di lembaga yang tidak peka dengan hal-hal cabul dan porno serta tinggal di tengah-tengah komunitas penikmat video cabul dan porno. Maka para orang tua tidak punya harapan. Kelak ketika mereka telah tiada, anaknya tak sanggup sebait pun mendo’akan untuknya. Mengalirlah kedurhakaan anak-anak mereka sebab telah lalai mendidiknya dengan atmosfir kedurhakaan. Panas, gelap dan sempit kubur mereka.

Alasan koleksi pribadi yang dibocorkan tentu masuk akal. Alasan ada pihak lain yang membocorkan dan melemparnya hingga ke tangan anak-anak yang belum balig juga masuk akal. Yang tidak masuk akal apabila pelakunya masih memiliki saudara kembar, Iman, Islam dan Ihsan. Tetapi apa yang mereka ”pertontonkan” itu menjadi masuk akal oleh karena ketiga saudara kembarnya yang setia melindungi diri mereka dari kehancuran dan kenistaan telah dipisahkan dari dirinya. Sebab ketiga saudara kembar itu adalah elemen paling keras yang menentang segala bentuk kedurhakaan.

Bila aktornya sudah memiliki pasangan yang sah, semakin menunjukkan bahwa dahaga birahi memang tidak pernah bisa dicukupi. Merekalah perusak sakralitas perkawinan dan bangunan sakiinah, mawaddah dan rahmah, tujuan rumah tangga pengikat mitsaqan ghaliizha. Mengapa mereka seolah tak merasa cukup dengan pasangan pilihan Allah untuknya? Ya, karena mereka sampai hati dan tega memisahkan tiga saudara kembarnya; Iman, Islam dan Ihsan. Pilihan Allah ditukarnya dengan pilihan Al A’war laknatullah.

Bila aktornya adalah gadis dan jejaka, mereka telah salah menerjemahakan cinta dan kasih sayang. Cinta bukanlah kuda liar yang dibiarkan berlari ke mana ia suka tanpa tali kekang. Sayang mereka membuang tali kekang nafsunya. Itulah yang terjadi. Mereka lupa bahwa telah menggali jurang untuk dirinya dan banyak orang. Mereka tidak sadar telah mendorong mental-mental generasi anak orang yang polos ke lubang kehancuran mental. Mereka lumuri fitrah anak beranak dengan kotoran zina. Durasi enam menit adegan jorok yang mereka lihat, seumur hidup akan melekat dan mereka bawa sampai mati. Celaka, celaka dan celaka, apabila durasi enam menit itu menjadi inspirasi untuk meniru apa yang mereka lihat. What children see, children do. Merebaklah perzinahan. Dan dosa pun beranak pinak.

“... Dan barangsiapa yang memberi contoh keburukan, hal yang nengatif, kerusakan, maka baginya dosa, dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi sedikit pun dosa orang yang mengikutinya.” (HR. Imam Muslim)

Dalam penomena hidup, berpasangan adalah keseimbangan. Kita percaya itu. Laki-laki dan perempuan. Ada baik ada buruk. Bagus-jelek. Kaya-miskin. Amanah-khianat. Soleh-durhaka dan seterusnya. Tetapi soal berpasangan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks jodoh dan pasangan hidup saya tidak percaya. Saya lebih percaya pada firman Allah:

"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga)".(terjemah QS. An Nuur [24] :26)

"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin". (terjemah QS. An Nuur [24] :3)

Di mana posisi kita?

Setiap laki-laki dan wanita yang masih memiliki tiga saudara kembar itu, pasti tidak akan pernah melakukannya. Juga tidak akan pernah sanggup sekedar “menonton”nya. Malu, malu dan malu. Malu kepada saudara kembarnya; Iman, Islam dan Ihsannya. Malu kepada anak-anak Dan kepada mereka laki-laki dan wanita baik-baik telah dituliskan pasangannya yang baik-baik pula.

Namun di balik itu, para pezina harus ditolong. Para pencuri atau koruptor harus ditolong. Begitu juga para pemabuk, mereka harus ditolong. Jika kita bingung mengapa mereka harus ditolong, tidak usah. Dulu para sahabat juga bingung ketika Nabi meminta mereka mnyuruh menolong orang zalim. Setahu mereka dan kita, orang yang dizalimi lah yang harus ditolong. Lalu untuk apa dan bagaimana harus menolong para pelaku zalim?

Menolong pelaku zalim adalah memutus rantai kezalimannya. Mencegahnya dari berlaku zalim yang berulang-ulang dan mencegah dampak buruk kezalimannya semakin meluas. Semakin sempit dampak perbuatan zalimnya, sedikit pula efek dosa yang ditanggungnya. Lalu kita tidak membayangkan, jika perbuatan zalim itu berdampak sangat luas. Dilihat, disaksikan dan dirasakan orang se-Indonesia. Seluas itu pula beban dosa yang akan dipikulnya bukan? Tolong mereka, meski harus dengan menegakkan hukuman atasnya. Bagi para pelaku, terimalah hukuman itu sebagai bagian dari upaya menolong kalian sendiri. Sanggup?

Jangan pernah menceraikan Iman, Islam dan Ihsan dalam hidup. Ketiganya ibarat teks saat berbicara dan menjadi energi saat berperilaku. Wariskan ketiganya pada anak-anak kita. Semoga jasad dan perilaku kita adalah gambar dan rupa dari kreasi ketiganya. Allahu a’lam.

Ciputat, Juni 2010.

Keputusan Anisa


Keputusan Anisa

Oleh Nurudin

Di sekolah, dua minggu menjelang acara perpisahan kelas enam

“Maaf Bu, sepertinya saya tidak bisa ikut kirab” Anisa menjawab pelan. Suaranya bergetar karena takut sang guru marah.

“Kenapa Nisa? Ini kesempatan bagus lho, nanti kamu akan didandani dan pasti terlihat cantik sekali. Sebelum menunjuk yang lain, ibu sudah langsung memilih kamu. Kamu termasuk yang paling cantik di kelas ini“ Bu Guru tak menyangka kalau Anisa akan menolak.

“Maaf Bu, saya tidak bisa jika harus berpakaian hanya sampai sebatas dada. Saya malu Bu!” Anisa menyampaikan keberatannya.

“Ya sudah, begini saja. Coba kamu pikir-pikir lagi, bicarakan hal ini dengan orang tuamu di rumah. Besok pagi ibu tunggu jawabannya” sang guru memberikan solusi. “Tapi ibu tetap berharap kamu mau ikut di acara kirab nanti, kamu pilihan pertama ibu” lanjutnya.

Di rumah, malam harinya

“Dua minggu lagi, di sekolah akan diadakan acara perpisahan kelas enam. Aku disuruh bu guru ikut acara kirab“ kata Anisa pada kedua orang tuanya di ruang tamu.

“Terus?” kata ibu dan bapaknya hampir bersamaan.

“Awalnya aku ingin ikut, aku ingin didandani seperti waktu acara resepsi pernikahan mbak Dwi. Tapi dalam kirab nanti pakaiannya hanya sebatas dada, akhirnya aku menolaknya. Aku malu! Kalau saja pakaian yang dikenakan tidak terbuka seperti itu barangkali aku masih mau” jawab Anisa.

“Bagus, kami mendukungmu Nak. Meskipun sehari-harinya kamu belum memakai jilbab, bukan berarti kamu bebas tampil terbuka di depan orang banyak. Besok bilang ke bu guru, kalau masih diperlukan untuk mengisi acara, ikut saja baca puisi atau nyanyi” saran sang bapak.

Di sekolah, keesokan harinya

“Bagaimana Nisa, kamu sudah minta pendapat orang tuamu?” tanya bu Guru yang tak sabar ingin mendengar keputusan Anisa. Dia berharap Anisa berubah pikiran dan mau ikut di acara kirab nanti.

“Sudah Bu. Sama seperti saya, kedua orang tua saya juga tidak setuju jika saya ikut mengisi acara dengan pakaian terbuka seperti itu” jawab Anisa tertunduk. Dia tak berani menatap wajah sang guru.

“Alasannya?” tanya sang guru kecewa.

“Bapak bilang, meskipun Anisa belum memakai jilbab, bukan berarti boleh berpakaian terbuka di depan orang banyak. Kata bapak, kalau Bu Guru masih memerlukan pengisi acara, Anisa boleh ikut membaca puisi atau menyanyi” Anisa memberanikan diri memandang sang guru di depannya.

“Oh ya sudah, tidak apa-apa. Ibu mengerti dengan alasan kalian. Kalau begitu, kamu ikut nyanyi ya? Ibu harap kali ini kamu tak menolak lagi. Tenang, kamu nanti tampil tidak sendiri, tapi bersama tujuh orang temanmu. Dan kamu juga tak usah khawatir karena untuk acara nyanyi kalian memakai pakaian muslim. Kamu bisa kan?”

“Insya Allah, Bu” jawab Anisa lega.

Sabtu siang, acara pelepasan siswa siswi kelas enam dilaksanakan

Sejak jam setengah sembilan, kedua orang tua Anisa sudah berada dihalaman sekolah yang sudah diubah layaknya acara resepsi pernikahan. Dua tenda besar didirikan berdampingan sebagai tempat duduk siswa siswi yang akan diwisuda, wali murid dan tamu undangan. Di bagian depan berdiri panggung berukuran sedang sebagai panggung hiburan dan tempat acara wisuda siswa siswi kelas enam. Kehadiran kedua orang tua Anisa bukan karena anaknya akan diwisuda, Anisa baru kelas empat. Kedua orang tua Anisa hadir untuk melihat penampilan putri semata wayang mereka yang akan bernyanyi meskipun mendapat giliran di akhir acara.

Berbagai acara kesenian satu persatu ditampilkan. Semuanya lucu dan mengibur. Pukul sebelas acara intipun dimulai. Rombongan kirab keluar dari salah satu kelas yang terletak di belakang tenda para tamu. Seorang guru berseragam toga berjalan paling depan bertindak sebagai punggawa, memimpin rombongan kirab. Di belakang sang punggawa, berjalan raja dan ratu ‘cilik’ diiringi belasan dayang putra dan putri membawa nampan-nampan berisi gulungan kertas yang akan diberikan kepada para siswa yang diwisuda. Mereka semua –kecuali sang guru– mengenakan kain dan ‘kemben’ –pakaian atas hanya sebatas dada- layaknya pakaian di kerajaan Jawa.

Kehadiran rombongan kirab disambut meriah oleh siswa-siswi dan wali murid yang hadir. Beberapa siswa, guru dan juga orang tua murid tampak sibuk mengabadikan momen ini dengan kamera ponsel dan kamera digital mereka.

Di salah satu sudut, agak terpisah dari keramaian, kedua orang tua Anisa menyaksikan acara ini dengan mata berkaca-kaca. Bukan, bukan karena Anisa ada diantara para dayang cilik yang terlihat lucu dan menggemaskan. Anisa tak ada dalam rombongan kirab tersebut. Bukan tidak terpilih tapi justru Anisa yang menolaknya. Dan alasan Anisa menolak tawaran itulah yang membuat kedua orang tuanya merasa sangat terharu.

Alhamdulillah, berkali-kali kedua orang tua Anisa mengucap syukur dalam hati. Kini mereka benar-benar merasa bangga dengan keputusan yang diambil oleh putri semata wayang mereka. Bagi anak seusianya, tampil di depan teman-teman dan orang tuanya dengan dandanan yang ‘tak biasa’ barangkali kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Apalagi untuk ikut dalam rombongan kirab, para guru melakukan seleksi terlebih dahulu terhadap siswa siswinya. Mereka yang terpilih adalah yang relatif berparas cantik dan juga ganteng. Bisa ikut dalam rombongan kirab jelas sebuah kebanggan tersendiri. Tapi berbeda dalam pandangan Anisa. Ia lebih memilih melupakan keinginannya tampil cantik daripada harus berpakaian terbuka hingga sebatas dada.

Dalam kesehariannya, Anisa memang belum mengenakan jilbab. Tapi sebenarnya dia dan kedua orang tuanya sudah sepakat bahwa saat kenaikan kelas lima nanti, Anisa akan mengenakan jilbab baik di rumah maupun di sekolah. Beberapa pakaian dan seragam sekolah sudah siap delapan puluh persen. Tinggal menggenapkan dan memantapkan niat saja. Tapi meskipun sampai saat ini jilbab belum dipakai, sesungguhnya hati Anisa sudah mulai berjilbab. Itu terbukti ketika sang guru menawarinya ikut dalam rombongan kirab, Anisa menolaknya. Hal ini yang membuat kedua orang tuanya merasa haru dan bangga dengan pemikiran Anisa.

Acara demi acarapun berlangsung dengan lancar dan meriah. Menjelang akhr acara, Anisa dan ketujuh temannya tampil menyanyikan sebuah lagu. Keharuan begitu nampak di wajah kedua orang tua Anisa. Mereka bangga menyaksikan putri tunggalnya tampil anggun dengan pakaian muslimnya. Mereka bangga dengan keputusan Anisa. Mereka semakin yakin bahwa buah hatinya telah siap untuk berjilbab.

“Ya Allah, bimbinglah anak kami agar ia tetap istiqomah saat sudah berjilbab nanti. Tuntun kami agar bisa membimbingnya menjadi anak yang sholehah, yang bukan saja membanggakan kami selaku orang tuanya tapi juga agama dengan jilbabnya. Amin” lirih mereka berdoa “Anisa, kau tampak lebih cantik dalam pakaian jilbabmu. Berjanjilah nak, bahwa saat kau mulai mengenakannya nanti, kau tak akan melepasnya lagi !”

Senin, 14 Juni 2010

Rekreasi Hati


Rekreasi Hati

Oleh Aisyah

Bismillah…

تركيز (Tarkyz)…

Ah, tarkyz.. beruntung sekali aku dikenalkan dengan kata ini.. sekarang, ketika akan ada tarkyz, maka yang terbayang di benakku adalah meninggalkan penatnya urusan dunia dan melayang tinggi ke urusan-urusan langit atau ‘kaku’nya biasa kita dengan dengan urusan akhirat…

Persepsi itu begitu saja timbul ketika pertama kali diadakan untuk kami tarkyz Qurani.. ah.. jika ingat masa-masa itu.. rasanya sombong sekali ingin menolak tawaran nikmat dan hidayah yang luar biasa itu..

Ketika itu, kami diharuskan untuk meninggalkan urusan dunia selama tiga hari dan pergi ke suatu tempat yang asing dan tidak biasa bagi kami dengan target bahwa kami harus menghafal surah Kahfi.. surah yang biasa dilantunkan oleh cinta kita, Rasulullah SAW pada hari jumat yang berarti itu menjadi tuntutan bagi kami utk melaksanakannya pula..

Daripada Umar beliau berkata, Nabi SAW telah bersabda, “Sesiapa membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jumat, maka bersinarlah cahaya daripada bawah kakinya hingga ke langit, untuknya di hari kiamat dan diampunkannya antara dua Jumat.” (HR Ibnu Katsir)

Rasulullah saw bersabda, “Maukah aku tunjukkan padamu suatu surat yang diikuti oleh seribu malaikat ketika diturunkan, dan keagungannya memenuhi antara langit dan bumi?” Sahabat menjawab: "Mau." Rasulullah saw bersabda, “Surat Ashhabul Kahfi. Barangsiapa yang membacanya pada hari Jumat, Allah akan mengampuni dosanya sampai Jumat berikutnya dan ditambah tiga hari, diberi cahaya yang mencapai ke langit, dan akan terjaga dari fitnah Dajjal.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3 : 243)

Cukuplah sabda Rasul kami SAW tersebut menjadi alasan bagi kami untuk mencoba mengamalkannya dan mengcoba menghafalkannya.. sedikit tawaran yang menggiurkan dari sekian banyak sabda beliau saja sudah membuat kami tergiur akan nikmatnya tawaran akhirat itu..

Namun, selalu saja.. mengamalkan ilmu menjadi cobaan tersendiri bagi kami yang mencintai ilmu.. cobaan bagaimana kami apakah dapat mengamalkannya atau tidak..

Jujur saja,beberapa dari kami –dengan sombongnya— sedikit merasa terganggu dengan tiga hari yang ditawarkan. Masih saja akal-akal ini terkunci pada hal-hal duniawi.. beberapa dari kami ada yang sudah merencanakan agenda lain dalam tiga hari itu, pun saya sendiri sebenarnya bukan tidak ada agenda. Pada saat itu ada mubes (musyawarah besar) dari suatu organisasi yang saya ikuti. Selain itu tugas kuliah pun menumpuk dan menunggu tuk diselesaikan.

Tapi bagaimanapun juga kami bukan orang yang bebal, Insya Allah.. dan tentunya kami tidak mau menjadi orang-orang yang bebal, kami tidak mau hati-hati kami menjadi terkunci karena mencoba lari ilmu, lari dari Qur’an, lari dari nikmatnya tawaran akhirat dalam sabda-sabda teladan kami.

Dengan meluruskan niat, bismillah.. kami berangkat.. kami berangkat dengan meninggalkan segala yang akan mengganggu niat dan fikir kami. Kami tinggalkan tugas-tugas kampus dan kami alihkan amanah-amanah kampus yang masih bsa di handle orang lain. Bismillah..

Well.. ketika sampai di tempat tujuan, ya memang kami hanya di fokus kan untuk menghafal surah Kahfi. Ayat demi ayat kami coba mengahafal. Hafal sudah satu ayat kami coba meniti ayat berikutnya. Hafal sudah satu baris, kami coba menititi baris berikutnya. Hafal sudah satu halaman, kami coba meniti halam berikutnya. Begitulah..

Dan memang tiap orang punya gaya menghafal masing-masing. Bagi yang belum mengenai gaya menghafalnya, ini pun menjadi ajang bagi kami tuk lebih mengenali diri. Dalam 3 hari saja sudah bermacam perasaaan yang hinggap dalam dada kami.

Semangat! Rasa ini yang paling sering hadir. Namun tidak dipungkiri bahwa rasa jenuh juga kerap kali datang dan mengganggu… ahh..bukan muslim namanya kalau tidak diuji. Bukankah Allah sendiri yang mengatakan bahwa kita tidak akan dibiarkan mengatakan “aku telah beriman” sampai ujian itu datang pada kita. Ujian yang akan menaikkan atau menurunkan tingkat kita di mataNya.

Dan tiga hari berlalu sudah. Terbukti sudah niat-niat kami.. setiap orang memang menpunyai tingkat kemampuan sendiri yang Allah karuniakan kepada kami. Dari kami 48 orang, tiga orang menyelesaikan Kahfi ini dalam tiga hari, subhanallah. Ada pula yang tiga halaman, empat halaman, lima halaman, ada pula yang baru mampu satu halaman.

Hey, tapi ini bukan lomba kawan.. tiga hari, berapapun yang kami dapat, ini adalah proses.. dan kita punya Yang Maha Adil. Ia tidak akan menilai dari hasil, tapi proses dan kesungguhan yang digabung dengan tekad. Berapapun halaman yang kami dapat, kami sadar ini bukan menjadi tolak ukur. Maka yang menjadi evaluasi bagi kami, sampai mana kami telah bersungguh-sengguh dalam mendekatkan diri dengan Quran dengan mencoba mengahaf surah Kahfi.

Dan tahukah apa yang kurasakan ketika aku pulang? Aku seperti merasa turun dari damainya negeri langit ke penatnya hiruk pikuk polusi duniawi.. aku dihadapan kembali dengan tugas-tugas kampus, amanah kampus, permasalahan di rumah, tempat kos, cucian baju yag menumpuk (ups, hehe) yang sebnarnya dalam tiga hari ini sudah kuhilangkan dari fikirku. Subhanallah.. sejujurnya perasaan ini belum pernah kudapatkan sebelumnya. Baik setelah rekreasi ke pegunungan sekalipun (karena saya sangat suka indahnya alam pengunungan), tetap tidak dapat menyamai dengan perasaan ini. Saya juga pernah dirawat selama seminggu di rumah sakit yang juga mengharuskan saya membuang fikrian-fikiran lain, tapi tidak juga menyamai perasaan ini ketika kembali ke rutinitas awal.

Memang disana kami juga sempat merasa jenuh, lapar, bosan, lelah. Kami juga diharuskan untuk mengerahkan seluruh kemampuan kami, seperti begadang atau bangun di sepertiga malam untuk sdikit tidur dan lebih banyak berinteraksi dengan Qur’an.. tapi begadang seperti ini beda rasanya dengan begadang tuk mengerjakan tugas kampus..

Masih sangat jelas tergambarkan perasaan itu.. inilah rekreasi yang sebenarnya, rekreasi HATI.. fisik ini lelah memang, tapi hati lebih lelah.. lelah dengan hiruk pikuk permasalahan dunia.. hati ini haus.. haus akan cahaya langit sebagimana fitrahnya. Dan hati ini gersang, kering dan hampa karena minimnya cahaya yang seharusnya ia dapatkan. Inilah rekreasi HATI..

Sekali lagi, masih sangat jelas tergambarkan perasaan itu kawan. Dan esok hari…kami akam tarkyz ‘ilmi (ilmu). Aku merindukan perasaan itu.. Wahai hati, engkau akan dapatkan hakmu kembali..^^

Wallahu’alam..

Syukurku padaMu Rabbi.. tetapkanlah hati kami pada jalanMu.. aamiin,

21 Tahun


21 Tahun

Oleh Yogie Edi Irawan

“Masih 20 tahun, masih muda ya, masihpanjang. Masih banyak yang harus dikejar”.Celoteh seorang bapak paruh baya tahun lalu saat menanyakan usiaku. Saat menulis ini beberapa hari lagi usiaku genap 21 tahun. Bukan. Bukan bertambah. Itu berarti jatah hidupku telah berkurang lagi setahun dibandingkan tahun lalu.

Tiba-tiba pikiranku melayang entah kemana. Merenungi usiaku saat ini. Apa beruntungnya usia mudaku saat ini? Masih panjangkah jatah hidup yang diberikan Allah padaku? Andai jatah hidupku di dunia ini 63 tahun, seperti jatah usia Rasulullah, dengan usiaku saat ini 21 tahun, berarti usia hidupku tinggal 42 tahun lagi.

Andai jatah hidupku di dunia ini 53 tahun, dengan usiaku saat ini 21 tahun, berarti usia hidupku tinggal 32 tahun lagi. Andai jatah hidupku di dunia ini 43 tahun, dengan usiaku saat ini 21 tahun, berarti usia hidupku tinggal 22 tahun lagi. Andai jatah hidupku di dunia ini 33 tahun, dengan usiaku saat ini 21 tahun, berarti usia hidupku tinggal 12 tahun lagi.

Andai jatah hidupku di dunia ini 23 tahun, dengan usiaku saat ini 21 tahun, berarti usia hidupku tinggal 2 tahun lagi. Bagaimana jika jatah umurku sudah habis dan besok atau lusa Malaikat Ijrail mencabut nyawaku? Duh! Adakah aku masih bisa tenang dengan usia 21 tahun? Atau aku masih bisa santai dan berleha-leha?

Sedangkan Malaikat Ijrail selalu mengintaiku. Jika demikian, betapa tidak akan terasa menjalani sisa hidup yang lebih pendek lagi; 42 tahun, 32 tahun, 22 tahun, 12 tahun, 2 tahun atau malah cuma dua hari lagi... Andai selama 21 tahun itu aku tidur selama delapan jam perhari, berarti sepertiga hidupku hanya dipakai untuk tidur, yakni sekitar 7 tahun.

Andai sisa waktuku perhari yang tinggal 16 jam itu kupakai 4 jam untuk bermain-main dengan teman, ngobrol ngalur ngidul, santai dan melakukan hal-hal yang tak berguna, berarti sisa waktuku perhari tinggal 12 jam. Sebab yang 12 jamnya dipakai untuk tidur dan melakukan hal-hal tadi. 12 jam berarti setengah hari. Jika dikalikan 21 tahun, berarti 10,5 tahun (separuh umurku) hanya kupakai untuk tidur dan melakukan hal-hal yang tak berguna.

Dalam usia 21 tahun ini, aku, sudah mulai bekerja efektif pada usia 19 tahun. Berarti aku bekerja sudah 3 tahun. Jika rata-rata aku bekerja 8 jam perhari, berarti aku telah menghabiskan waktuku untuk bekerja 1/3 x 3 tahun = 1 tahun. Artinya, dari 21 tahun itu aku menghabiskan total kira-kira 11,5 tahun hanya untuk tidur dan bekerja mencari dunia: termasuk nongkrong dengan teman, ngobrol ngalor-ngidul, santai, dan mungkin melakukan hal-hal tak berguna.

Lalu aku bandingkan dengan aktivitas ibadahku, juga dakwahku. Andai shalatku yang lima waktu, ditambah shalat-shalat sunnah, memakan waktu total hanya 1,5 jam perhari, berarti aku hanya menghabiskan 547 jam pertahun untuk shalat. Itu berarti hanya 23 hari pertahun. Andai aku benar-benar menunaikan shalat umur 15 tahun (saat tiba baligh), berarti aku baru menghabiskan sekitar 138 hari (= 23x6(21-15)) untuk shalat.

Artinya, selama 21 tahun, aku menunaikan shalat hanya 4 bulan 18 hari! Bagaimana dengan aktivitas dakwahku? Ah, malu rasanya aku. Teringat Mush’ab bin Umair yang di usia 20 tahun menjadi duta untuk membuka dakwah di Madinah. Teringat pula Muhammad Al-Fatih Murad yang menjadi panglima besar dalam Penaklukan Konstatinopel di usia 21 tahun. Atau legenda dakwah modern, Hasan Al-Banna, yang diusianya ke-22 tahun mendirikan pergerakan dakwah bernama Ikhwanul Muslimin. Sedangkan aku?

Masa mudaku habis ditelan kesia-siaan. Jika kesadaran agamaku saja baru muncul diusia 18 tahun dan dakwahku baru kumulai pada usia 20 tahun serta hanya memakan waktu rata-rata 1 jam sehari, berarti aku menghabiskan waktu kira-kira 6 hari untuk berdakwah. Artinya, tak sampai satu minggu aku meluangkan waktuku untuk berdakwah. Tak ada seujung kukunya pun dibandingkan dengan beliau-beliau yang kusebutkan tadi.

Aku teringat dengan firman Allah (yang artinya) :“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”(QS adz-Dzariyat : 56)

Saat merenungi kembali ayat itu, hatiku menangis. Betapa tidak. Allah menciptakan hidupku dan memberiku usia 21 tahun sesungguhnya agar aku gunakan untuk beribadah kepada-Nya. Namun kenyataannya, hidupku dan masa mudaku habis untuk tidur dan bekerja mencari dunia, juga melakukan hal yang sia-sia.

Sebaliknya, hanya sebagian kecil usiaku aku habiskan untuk ibadah dan dakwah. Bekerja juga kan termasuk ibadah Gie..? Baik. Sekarang bagaimana jika semua itu ternyata tidak bernilai di sisi Allah? Bagaimana jika amal-amal ku ternyata tidak diterima oleh Allah? Bagaimana jika shalatku yang jarang sekali khusyu itu ditolak oleh Allah?

Bagaimana pula jika dakwah ku pun –yang mungkin kadang bercampur dengan riya dan tak jarang minimalis- tak dipandang oleh Allah? Betul. Aku tidak boleh pesimis. Aku harus penuh harap kepada Allah, semoga semua amal-amal ku Dia terima. Namun, aku pun sepantasnya khawatir jika semua amal yang selama ini aku anggap amal shalih dan bernilai pahala, ternyata sebagian besarnya tak bernilai apa-apa di sisi Allah. Na’udzu billah.

Aku memang tidak berharap seperti itu. Di sisi lain, setiap hari, puluhan kali aku bermaksiat. Kalikan saja, misalkan, dengan 6 tahun usiaku (21 tahun dikurangi masa kanak-kanak prabalig). Ya Allah, setiap detik karunia dan nikmat-Mu turun kepadaku. Namun setiap detik pula dosa dan kesalahanku naik kepada-Mu.

Ya Allah, Tuhan kami. Selama ini kami hanya menzalimi dan menganiaya diri kami sendiri. Jika saja Engkau tidak mengampuni dosa-dosa kami, tentu kami termasuk orang-orang yang merugi (Do’a Nabi Adam as) Tuhanku, tidaklah pantas aku menjadi penghuni Firdaus-Mu. Namun, tak mungkin pula aku kuat menahan panasnya Neraka-Mu. Karena itu, terimalah tobatku dan ampunilah dosa-dosaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa dan Engkau Mahabesar. Amin. (Do’a Imam al-Ghazali)

Tangerang, 3 Juni 2010

Allah Maha Melihat


Allah Maha Melihat

Oleh Muhammad Rizqon

Seiring Waktu Berlalu, Tangis Tawa Di Nafasku
Hitam Putih Di Hidupku, Jalani Takdirku

Tiada Satu Tersembunyi, Tiada Satu Yang Terlupa
Segala Apa Yang Terjadi, Engkaulah Saksinya

Kau Yang Maha Melihat, Kau Yang Maha Melihat
Kau Yang Maha Pemaaf, Padamu Hati Bertaubat
Kau Yang Maha Pengasih, Kau Yang Maha Penyayang
Kau Yang Maha Pelindung, Pada-Mu Semua Bertekun

Yang Dicinta ’Kan Pergi, Yang Didamba ’Kan Hilang
Hidup Kan Terus Berjalan, Meski Penuh Dengan Tangisan

(Opick, Amanda-Maha Melihat)

***

Ada keprihatinan yang sangat mendalam akan kesemarakan perselingkuhan, pertemanan tapi mesra, dan pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim akhir-akhir ini. Tidak hanya menimpa kalangan yang awam dan tidak paham, namun juga menimpa kalangan berpendidikan dan paham.

Ini adalah kisah tetangga saya. Seorang perempuan yang namanya kian harum sejak ia terlibat dalam aktivitas dakwah, namun belakangan ia terlibat perselingkuhan dengan orang yang tak dikenal, yang “nyasar” mengirim SMS. Tidak berat sih, tidak sampai pada tindakan zina secara fisik. Namun apapun motifnya, karena mereka sering mengelabui demi untuk bisa ngobrol berdua ditempat tertentu, berbocengan berdua ke tempat tertentu, dan banyak berbohong menghabiskan waktu bertelepon kepada “dia” sebagai bertelepon kepada suami–maka sudah cukuplah dikatakan bahwa mereka telah berbuat kefasikan yang dilarang.

Ia memiliki strategi cukup jitu untuk menghindari kecurigaan orang tatkala ia ingin “kopi darat”. Ia pergi sendirian ke tempat tertentu dengan alasan untuk mengajar. Lantas mereka janjian bertemu di tempat tertentu. Di kedai bakso, di warung minuman air kelapa, dan di mana saja mereka suka. Namun malangnya, ada saja satu tetangga atau kenalan yang memergoki mereka. Kemudian ia konfirmasi ke keluarganya dan akhirnya hal yang awalnya berusaha disembunyikan pun menjadi tersingkap.

Kesalahan tidak bisa sepenuhnya ditimpakan kepadanya. Bagaimanapun, suami sebagai pemimpin tetaplah bertanggungjawab. Bukankah ia seharusnya membimbing isteri kepada jalan yang benar? Kenapa perilaku isteri ini sampai terjadi diluar pengawasannya?

Sang suami memang orang seadanya. Tidak banyak penghasilan yang diperoleh darinya. Sebagai tukang sapu sekolahan, ia hanya digaji sekitar tiga ratusan ribu rupiah. Namun yang menjadikan sang isteri itu berani berselingkuh bukanlah itu. Tetapi faktor kepemimpinan suami. Sebagai suami seharusnya ia lebih paham dan bijak. Namun ia merasa sang suami susah sekali diajak musyawarah dan sering tidak nyambung karena perbedaan pemahaman.

Ia merasa sudah capai berurusan dengan keluarga suami yang suka menyalahkan dan terkesan iri kepadanya. Sementara sang suami tidak bisa memberikan penjelasan yang memadai dan membela isterinya itu.

Rumah mereka sudah berpisah satu sama lain, dalam arti tidak satu atap. Namun mereka hidup berdekatan. Ketika sang isteri aktif dan banyak keluar rumah, ia disalahkan. Kata mereka anaknya tidak diurus. Ketika ia bangun siang karena malamnya aktif dalam satu kegiatan yang melelahkan, mereka pun menyalahkan dirinya yang dianggap suka malas-malasan.

Intinya, keluarga sang suami suka menyalahkan dirinya. Sementara sang suami tidak mampu membela dan memberikan pengertian. Padahal keaktifan isterinyalah yang menghantarkan mereka pada kehidupan yang relatif lebih baik secara ekonomi untuk saat ini. Sang isteri adalah guru TPA, guru privat baca Quran, pemimpin kelompok rumah ketrampilan dan aneka jabatan lainnya. Bahkan untuk menunjang aktifitasnya itu, ia sudah berani membeli sepeda motor secara kredit. Rumahnya yang dulu tidak terurus pun sudah mulai bisa dibenahi sedikit demi sedikit.

Ia sering kesal dengan suaminya yang susah untuk maju seperti dirinya. Misalnya dengan ikut kegiatan yang serupa atau terlibat dalam taklim-taklim yang bisa membuka keawamannya. Agar cara pandang melihat permasalahan pun menjadi sama sehingga masalah mudah untuk diselesaikan.

Namun yang disayangkan, kenapa justru dirinya yang selangkah lebih maju dan lebih paham, yang terjebak dalam kasus perselingkuhan, bukan suaminya yang masih awam.

Saya berpandangan, inilah cara Allah SWT menunjukkan kesejatian seorang hamba. Boleh jadi Allah hendak menunjukkan bahwa sebenarnya keterlibatan dia dalam aktivitas dakwah bukanlah didasari oleh ketulusan hati yang mendalam. Bisa jadi karena suntuk menghadapi suami yang suka “tidak konek”, capai menghadapi keluarga yang banyak bicara menyalahkan, tergoda untuk meraih sesuatu untuk maksud riya', dan segala macam motif yang tidak lahir dari ketulusan hati namun sekedar lari dari permasalahan yang membelenggu atau demi meraih materi tertentu.

Allah Maha Melihat, bukan berarti yang namanya kebusukan tidak akan tersingkap di dunia ini dan hanya akan tersingkap di akhirat nanti. Allah Maha Melihat hamba-Nya, artinya Allah SWT akan memberikan balasan kepada sang hamba baik di dunia ini maupun diakhirat kelak sesuai dengan amal baik/buruk yang dilakukannya, tanpa terlewat sekecilpun. Balasan yang Allah tampakkan di dunia ini, boleh jadi menjadi peringatan bagi manusia untuk tidak sombong dan angkuh. Antara lain, angkuh bahwa perbuatan kejinya pasti tidak akan dilihat orang. Justru dengan ditampakkannya itu, Allah SWT hendak menyadarkan bahwa keagungan dan kesombongan itu hanyalah milik Allah SWT, tidak pantas disandang oleh makhluk-Nya.

Hendaknya atas tersingkapnya kesalahan sang hamba, ia harus bertaubat dengan sebenarnya, bukan dengan menambah dosa lainnya.

Tersingkapnya aib sang isteri itu juga merupakan tersingkapnya air suami dan keluarganya. Mereka pun hendaknya bertaubat dan mulai meniti jalan untuk kebaikan bersama.

***

Kisah perselingkuhan tetangga saya saya itu bukanlah kisah perselingkuhan yang heboh layaknya kisah perselingkuhan terjadi dan menimpa orang besar yang videonya merambah kemana-mana. Kisah tetangga saya itu hanyalah kisah kecil yang belum menggumpal menjadi kasus perzinahan. Meski demikian, ada kesamaan esensi. Tidak sepantasnyalah kita merasa besar kemudian dengan dengan kebesaran itu kita merasa bisa berbuat apa saja (yang berkonotasi negatif tentunya). Ada rambu-rambu yang harus diperhatikan. Ingatlah bahwa Allah Maha Melihat, hanya Dialah yang berhak berselendangkan keangkuhan. Wallahua’lam.

Mulut Menghujat Tapi Mata Melihat


Mulut Menghujat Tapi Mata Melihat

Oleh Nurudin

Memalukan sekaligus memilukan! Lagi, untuk kesekian kalinya peredaran video porno ramai diperbincangkan. Yang lebih memprihatinkan, peredaran video porno ini justru ‘dibantu’ oleh banyak pihak.

Sadar atau tidak, pesatnya peredaran video porno yang konon pelakunya - mirip dengan - selebritis negeri ini karena di setiap saat, dan setiap tempat banyak orang dan media yang membicarakannya. Astaghfirulloh! Stop! Hentikan peredarannya saat ini juga. Tak usah membicarakan jika hanya sebagai bahan pergunjingan tapi tidak bisa mengambil pelajaran dan mengajak orang lain pada kebaikan.

Bukan, bukan saya membela pihak-pihak tertentu. Saya hanya sekedar mengingatkan agar kita jangan berlaku layaknya orang munafik. Apa artinya mulut kita menghujat, bila mata kita terus saja melihat gambar dan video porno tersebut. Apa gunanya mulut kita mencaci, bila kita ikut menikmati tayangan mesum tersebut. Apa bedanya kita dengan mereka, yang ada kita sama-sama berdosa.

Siapapun mereka - yang melakukan perzinahan, membuat dan mengedarkan produk-produk maksiat- sudah jelas dosa dan ancaman hukumannya baik di dunia maupun di akhrat kelak. Namun sayangnya, dosa yang mereka lakukan justru diikuti oleh banyak orang dengan membicarakan atau bahkan membeli dan menontonnya. Bila bermaksud mengingatkan dengan mengambil pelajaran dari kejadian ini semestinya ada pesan-pesan yang disampaikan, bukan sekedar mempergunjingkan hingga membuat orang yang lemah iman menjadi penasaran dan akhirnya justru ingin melihatnya. JIka itu yang terjadi, siapkanlah diri anda untuk menanggung dosanya. Nauzubillah!.

Diam, memperbanyak istighfar dan menjadikan kejadian ini sebagai sebuah pelajaran, lebih baik itu yang kita lakukan. Untuk apa sibuk bertanya apakah mereka – para pemain, pembuat dan pengedar – tidak takut dosa, tapi lupa bertanya pada diri sendiri apakah kita juga tidak takut dosa. Apakah membicarakan, melihat gambar dan menonton tayangan mesum tidak berdosa? Jawab pertanyaan ini dengan hati.

Kiamat semakin mendekat, ini bukan sekedar ungkapan. Tanda-tanda akhir jaman sudah semakin jelas terlihat. Salah dianggap lumrah, dosa dianggap biasa. Pejabat menghianati rakyat, korupsi dijadikan hoby dan profesi. Perzinahan tak hanya di kota-kota besar, tapi sudah masuk ke pelosok-pelosok desa. Tontonan dijadikan tuntunan, yang benar-benar tuntunan malah diabaikan. Kanan kiri, depan belakang kita dipenuhi dengan fitnah-fitnah dunia. Hampir tak ada celah lagi untuk menyelamatkan diri, kecuali jika kita membekali diri dengan keimanan dan ketakwaan. Hidup di akhir jaman bukan berarti kita harus terlibat maksiat. Kembali kepada Al Quran dan sunnah nabi adalah satu-satunya jalan agar kita bisa selamat.Insya Allah.

Mereka Yang Meninggalkan Aib


Mereka Yang Meninggalkan Aib

Oleh Fiyan Arjun


Ibarat pepatah semakin tinggi pu’un semakin keras tiupan anginnya.


Mungkin perumpaan ini cocok untuk seleb atau public figure yang—sekarang ini menjadi buah bibir. Atas beredarnya video mesum yang mirip mereka. Baik di media massa, televisi maupun masyarakat luas. Karena tersandung kasus tindak yang sangat—maaf—menjijikan.

Ber-aha-ihi di sebuah ruang privacy [baca; kamar tidur]. Membuat sontak seluruh masyarakat heboh dengan pemberitaan tersebut. Sehingga membuat masyarakat dengan suka rela membuang rupiah ke warung internet [warnet] hanya sekedar ingin melihat kebenarannya. Apakah idolanya tersebut melakukan tersebut atau tidak? Sebegitunya…

Namun sayangnya padahal peristiwa semacam ini pernah [sudah] terjadi empat tahun silam ketika terkuaknya kasus video hotnya yang tersebar luas ke masyarakat. Adegan aduhai antara penyanyi dangdut dengan salah satu pejabat tinggi.

Sepasang manusia berlainan jenis ini melakukan adegan yang tidak pantas ditonton apalagi ditiru oleh anak-anak. Entah hal ini siapa yang harus dipersalahkan. Publik figur tersebut atau oknum yang menyebarkan aib publik figur? Entahlah.


Tetapi ketika saya melihat disebuah stasiun televisi swasta—yang disiarkan pada Rabu malam [09/06] saya sungguh terkejut ketika nara sumber tersebut adalah bekas “pelakon” adegan syur pula. Penyanyi dangdut itu didapuk menjadi narasumber saat itu.

Entah saya heran kenapa penyanyi dangdut tersebut begitu antusiasnya menceritakan peristiwa yang saat itu membuat heboh di seluruh media massa dan televisi, khususnya dijagad hiburan. Infotainment.

Ya, tanpa memakai topeng—seperti apa yang dilantunkan single hits oleh public figure—sesama menghebohkan jagad hiburan dengan cara yang sangat merusak moral anak bangsa. Beredarnya video hot. Entah apakah sebagai orang yang pernah mengalaminya tak menyadarinya dalam hal ini penyanyi dangdut tersebut. Tersandung kasus beredar kasus yang sama. Video beradegan syur.

Entah ini euphoria atau semacam penyakit masyarakat yang sudah terkandung di badan. Atau, jangan-jangan untuk mendongkrak kepopularitasan?Entah! Tetapi mereka tidak malu-malu lagi untuk mengungkapkan dan menampakan diri.

Tanpa ada sedikit malu yang tersisa. Atau, memang tidak punya kemaluan sehingga membuat bangga atas apa yang sudah dilakukan. Sungguh menyedihkan!

Kalau sudah terjadi hal seperti ini siapa yang harus bertanggung jawab? Pelaku, oknum atau hukum?

Tetapi bagi mereka yang—melakukan hal seperti itu menganggap sebagai sebagai bumbu penyedap rasa terlebih dikalangan dunia hiburan. Tanpa ada rasa manis, asin dan pedas layaknya rasa permen nano-nano bukanlah hal yang menarik!


Pondok Aren Utara-Tangerang Selatan, 11 Juni 2010


Diruang tanpa suara
Teruntuk Indonesia yang sedang berduka!

Mau Gimana Lagi?


Mau Gimana Lagi?

Oleh Abdul Mutaqin

Apakah kita kenal dengan Al A’war? Banyak di antara kita mungkin telah mengenalnya. Tetapi saya percaya, mengenalnya akan membuat kita semakin tidak ingin dekat kepadanya. Patut juga berhati-hati apabila belum mengenal siapa dia.

Bisa jadi dengan tidak mengenalnya, kita akan menyesal dan terlambat mengantisipasi aksinya di belakang hari. Dan ... braaakk! jatuh ke pelukannya. Na’udzu billlah.

Al A’war adalah setan spesialis zina. Iblis mengangkatnya sebagai komandan yang menggerakkan nafsu agar anak manusia senang kepada zina. Mujahid bin Jabr, murid utama Ibnu Abbas menyebutkan bahwa Iblis memiliki 5 anak, satu di antaranya bernama Al-A’war. Dia memiliki tugas khusus menyeru orang untuk berbuat zina dan menghiasinya agar nampak baik dalam pandangan manusia.

Fasilitas yang tersedia untuk menggiring manusia ke jurang zina sangat melimpah saat ini, mudah, murah dan relatif canggih. Maka Al-A’war girang tidak alang ke palang dengan fasilitas itu. Bahkan nampaknya Al-A’war tidak terlalu bersusah payah lagi untuk membuat manusia senang kepada zina. Why?

Sebab para setan dari golongan manusia sebagai tim sukses untuk mengkampanyekan perbuatan zina telah menyediakan perangkat lunak yang friendly. Situs, video, fashion, VCD/DVD, Ponsel dan berbagai macam perangkat IT memudahkan Al-A’war mengakses dan menyusun strateginya. Apalagi banyak pula relawan yang bersedia memerankan lakon mesum yang dipesan Al-A’war meski tidak dibayar. Mau gimana lagi?

Para prajurit Al-A’war luar biasa allout menyiapkan perangkat zina baik perangkat lunak maupun perangkat kerasnya. Sebagian telah disebutkan di atas, selebihnya adalah perangkat pemikiran yang mengecoh. Zina dibungkus dengan kemasan modernitas yang memikat. Maka kita menjadi tidak heran apabila selingkuh diberi stempel sebagai kebebasan privat.

Telanjang dijuluki sebagi karya seni dan HAM. Pemilihan ratu kecantikan yang hanya mengenakan bikini dalam satu sesi, disematkan dengan penggilan sebagai duta bangsa dan budaya. Pacaran disebut proses penjajakan dan persiapan. Tarian erotis dinyatakan sebagai bentuk kebebasan akspresi bukan sumber birahi dan dibela habis-habisan. Mau gimana lagi?

Itulah strategi setan yang sebenarnya klasik. Strategi ini pernah dipakai bapak moyangnya; Iblis, seperti ketika dia membujuk Adam dengan perkataannya:

“Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (terjemah QS. Thaha [20]: 120). Iblis menyebut pohon larangan dengan sebutan ’khuldi’ atau pohon kekelan yang apabila dimakan buahnya menyebabkan pemakannya kekal di surga. Iblis memanipulasi larangan Allah dengan memberi istilah menarik sehingga perbuatan keji seolah menjadi perbuatan yang baik.

Maka luar biasa, strategi ini epektif memperdaya Adam yang menyebabkan dia terusir dari surga. Maka berbagai istilah baru yang memparhalus zina di zaman ini sebenarnya hanyalah metamorfosa dari istilah khuldi rekayasa Iblis di masa silam.

Strategi ini terus digunakan Al-A’war pagi dan petang siang dan malam. Maka banyak orang yang paginya bersih, sorenya telah jadi pezina. Sorenya dia alim, malamnya tak tahan mencicipi hangatnya ”selimut” zina. Kemarin sekedar membuat video klip musik, esoknya ...... Na’udzubillah. Rasululah pernah mengingatkan: “Jika datang pagi hari, Iblis menyebar para tentaranya ke muka bumi lalu berkata, “Siapa di antara kalian yang menyesatkan seorang muslim akan aku kenakan mahkota di kepalanya.” Salah satu tentaranya menghadap dan berkata, “Aku terus menggoda si fulan hingga mau menceraikan istrinya.” Iblis berkata: “Ah, bisa jadi dia akan menikah lagi.” Tentara yang lain menghadap dan berkata: “Aku terus menggoda si fulan hingga ia mau berzina.” Iblis berkata: “Ya, kamu (yang mendapat mahkota)!” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).

Al-A’war tertawa lebar dan semakin lebar. Bagaimana tidak? Gambar porno mudah diakses dan situs porno melimpah ruah. Konon menurut seorang budayawan Indonesia ternama, ada tidak kurang dari 4,200,000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100,000 (seratus ribu) situs porno Indonesia di internet. Dengan empat kali klik di komputer, anatomi tubuh perempuan dan laki-laki, sekaligus (maaf) cara berfungsinya, dapat diakses gratis, sama mudahnya dilakukan baik dari San Francisco, Timbuktu, Rotterdam, maupun Sidoarjo. Sinetron yang membuka aurat menjadi top rating. Berita perselingkuhan digemari. Dan video mesum mirip-mirip artis seperti tak pernah lelah berproduksi. Mau gimana lagi?

Yang membuat Al A’war semakin terbahak-bahak adalah kelakuan segelintir “intelek” yang berkiblat pada kebebasan. Siapa mereka? Merekalah kaum terpelajar yang telah dicuci otak dan hatinya oleh Al-A’war. Mereka yang menganggap peraturan perundangan yang menerapkan sanksi segala hal yang berbau porno adalah primitif. Sehingga mereka tidak merasa malu apalagi merasa berdosa menyatakan bahwa lesbi dan homo seksual sebagai kebiasaan yang normal. Mereka yang menyatakan bahwa pernikahan sesama jenis adalah indah dan sah. Dan mereka yang dengan bangga menulis surat meminta izin kepada Tuhan untuk menjadi pelacur. Mau gimana lagi?

Nampaknya usaha Al-A’war dan bala tentaranya betul-betul menuai panen raya. Silih berganti generasi kita yang jatuh ke dalam pelukannya. Mereka mengikuti bujuk rayu Al-A’war, mendatangi umpannya, lalu menelan kailnya. La haula walaa quwwata illa billah.

Akan tetapi pantaskah kita berputus asa? Tidak! Sekali-kali tidak!

Mau gimana lagi?, hanyala sekedar ungkapan keprihatinan kita atas masalah ini. Sementara tidak semua generasi sudi menjadi pengikut dan pengagum Al-A’war. Masih tersisa tentara Allah yang akan melawan Al-A’war dan para pengikutnya. Betapapun gigihnya usaha Al-A’war, bagi generasi yang beriman dan konsisten dengan keimanannya, tipu daya setan itu lemah: “… karena sesungguhnya tipu daya setan itu lemah.” (terjemah QS. An-Nisa [4]: 76).

Hai Al A’war, sesungguhnya kamu lemah.

Kami tetap menunggu.

Menunggu datang masa di mana generasi kami benci kepada aurat yang terbuka di jalan-jalan, di pasar-pasar dan di mana tempat ikhtilat terjadi.

Akan datang masa di mana setiap nyanyian adalah seruan jihad.

Akan datang masa di mana kehormatan adalah hijab.

Akan datang masa di mana kesucian adalah pernikahan.

Akan datang masa di mana setiap pertunjukan adalah dakwah.

Kami tetap menunggu dan berupaya.

Hai Al-A’war, mungkin saat ini kamu yang menang sebab sebagian dari media adalah milikmu. Separuh berita adalah penamu. Setengah episode cerita adalah skenariomu. Sebagian aktor nakal adalah aktrisrmu. Dan para penulis jahat berada di belakangmu. Tapi kami tak sudi menjadi budakmu hingga kelak neraka memanggilmu.

Hai Al-A’war, ”Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka*”.

Saudaraku, mari kita buat al-A’war menangis tak berdaya. Sederhana saja. Pelihara kehormatan diri dari kotornya pandangan, dari liarnya khayalan, dari nakalnya obrolan dan rayuan serta dari lacurnya kemaluan. Rusak properti Al-A’war dari kemungkinan yang masih tersimpan pada kita. Buang konten yang membuat Al-A’war seyum penuh kemenangan dari ponsel kita. Hapus dia dari memori notebook kita dan katakan ’Goodbye’ untuk selamanya. Insya Allah, selamatlah kita dan generasi kita.

Allahu a’lam.

Semoga selamat setiap generasi muslim beriman dari tipu dayanya.

Depok, Juni 2010.

abdul_mutaqin@yahoo.com

*terjemah QS. Al-Israa [17] :64.

Satu Saja Pintaku ya Rasulullah


Satu Saja Pintaku ya Rasulullah

Oleh Muhammad Setiawan

Berjuta kegalauan mendera di lubuk hati perempuan itu. Tertatih ia melangkah. Jauhnya jarak, panasnya perjalanan, tidak ia pedulikan. Harapannya hanya satu. Ia ingin pulih. Kepulihan yang membuatnya ringan dalam beribadah. Kesembuhan yang dapat mengakhiri risaunya selama ini.

Untuk itu, satu pintu yang ia tuju. Pintu rumah lelaki paling mulia. Pintu RasuluLlah shallaLlahu alayhi wa sallam.

"Ya RasuluLlah," ujarnya. "Aku mengidap penyakit yang telah lama tak kunjung sembuh. Jika penyakitku itu menerpa, hilanglah kesadaranku. Aku bergerak-gerak tanpa dapat kukendalikan. Dalam ketidaksadaranku, seringkali tersingkap auratku."

"Ya Rasulullah, aku mohon kepadamu, doakanlah aku agar terbebas dari penyakit ini," demikian pintanya.

RasuluLlah shallaLlahu alayhi wa sallam tersenyum dan menjawab, "Sungguh, jika engkau mampu untuk bersabar dalam derita penyakitmu ini, maka balasan bagimu adalah syurga ..."

"Akan tetapi jika engkau tidak dapat bersabar, aku dapat saja meminta kepada Allah agar Ia berkenan menyembuhkanmu," ucap RasuluLlah.

Mendengar syurga yang dijanjikan kepadanya, perempuan itupun bergegas menyahut, "Aku siap untuk bersabar Ya RasuluLlah ..."

"Hanya satu saja yang mengganggu fikiranku saat ini. Jika kau berkenan doakanlah aku untuk satu hal saja. Auratku sering tersingkap saat aku diserang penyakitku. Karena itu pintaku hanya satu wahai utusan Allah. Mohonkanlah kepada Allah, agar auratku tidak tersingkap saat aku tidak sadar," ungkapnya lirih.

RasuluLlah shallaLlahu alayhi wa sallam pun mengangkat kedua tangannya. Berdo'a kepada Allah, agar aurat perempuan itu tak pernah lagi tersingkap saat ia sakit.

*******

Kisah yang menggetarkan ini, ditulis oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab shahih-nya. Keduanya meriwayatkan kisah ini dengan jalur sanad yang bersumber dari sahabat Abdullah ibn Abbas radhiyaLlahu 'anhuma.

Ada banyak hikmah yang dapat kita petik dari kisah ini. Syaikh Salim ibn I'ed al-Hilali dalam kitab Bahjatun Nazhirin menyebutkan setidaknya lima pelajaran dalam hadits ini.

Namun dalam tulisan ini saya hanya ingin mengangkat satu saja hikmah dari kisah ini. Yaitu, betapa besarnya al-hayaaa' 'inda shohaabiyaat. Betapa besarnya rasa malu di kalangan para sahabat perempuan.

Begitulah. Karena besarnya kerinduan akan syurga, perempuan ini berkomitmen untuk tetap bersabar dalam deraan penyakitnya. Penyakit sejenis epilepsi yang dapat membawanya kapan saja untuk hilang kesadaran.

Meskipun ia mampu untuk bersabar menjalani hari-hari dalam kehidupannya dengan penyakit, ia menyimpan satu kecemasan. Cemas karena auratnya bisa saja tersingkap saat ia tak sadar. Untuk itulah ia memohon agar RasuluLlah berkenan mendoakannya agar auratnya tidak tersingkap.

Jika dalam keadaan tidak sadar saja, perempuan di masa RasuluLlah cemas bila auratnya tersingkap. Apatah lagi jika dalam keadaan sadar. Tentu lebih besar lagi rasa malu itu tertanam.

Sekarang, kemanakah rasa malu itu berada ....? Saat perempuan-perempuan berjalan setiap hari, dengan kesadaran penuh, hanya dilapisi pakaian berbahan minim.

Kemanakah rasa malu itu pergi hari ini... ? Saat foto-foto "manis" para "akhwat" muslimah tersebar di mana-mana ... Di dunia maya maupun di dunia nyata. Di tembok facebook maupun di tembok rumah dan pagar.

Masih adakah kerinduan pada syurga itu ...? Sebagaimana rindunya para shohabiyat. Kerinduan yang mengokohkan mereka untuk tetap bersabar dalam penderitaan. Tetap bersabar dalam keta'atan

Sungguh benarlah sabda RasuluLlah shallaLlahu alayhi wa sallam, "al-hayaa-u minal iimaan ..." Rasa malu itu adalah sebagian dari iman. Kalau rasa malu itu telah hilang, saatnya kita menjenguk hati kita. Masih adakah keimanan itu terpatri ? Masih adakah rasa takut kepada Allah tertanam ?

Seringkali ada orang yang berfikir, "Tak apalah auratku terbuka sedikit ... Mudah-mudahan ini diampuni oleh Allah ... Toh, ini bukanlah perkara yang besar .. Kalaupun dosa, ini hanya lah dosa kecil ..."

Hmm, mungkin saja ini dosa kecil. Namun, dibalik dosa kecil itu ada aturan Sang Pencipta Langit dan Bumi yang telah kau langgar.

Benarlah ucapan seorang sholih yang berkata, "Jangan pernah kau pandang remeh dosa kecil yang kau lakukan. Tapi pandanglah Ia yang perintah-Nya telah kau langgar."


Wallahu a'lam bis showwab.

Belajar dan Berbagi Ilmu..? Lihat-Lihat Dulu..!



Belajar dan Berbagi Ilmu? Lihat-Lihat Dulu!


Oleh Nurudin

Pelit! Tentu kita sudah tahu apa artinya. Dan kita cenderung tidak menginginkan kata itu ditujukan kepada kita, apapun alasannya. Tapi bagi Ahmad – bukan nama sebenarnya – saat itu disangka pelit rasanya lebih baik daripada ia harus menuruti keinginan sahabat dekatnya, sebut saja Fulan.

Cerita berawal dari Fulan yang meminta Ahmad untuk mengajarinya internet. Sebagai sahabat, dengan senang hati Ahmad menemani Fulan ke salah satu warnet tak jauh dari tempat tinggal mereka. Secara singkat dan sederhana, Ahmad menjelaskan bagaimana cara menggunakan internet. Situs eramuslim.com dan kotasantri.com adalah yang pertama kali dikenalkan kepada Fulan. Selanjutnya Ahmad juga memperkenalkan beberapa situs Islam dan berita lainnya, termasuk blog milik Ahmad. Fulan menyimaknya dengan antusias.

Hari berikutnya, Fulan kembali mengajak Ahmad menemaninya ke warnet. Namun, alangkah terkejutnya Ahmad ketika dengan terus terang Fulan mengatakan ingin membuka dan mendownload video-video porno. Astaghfirulloh! Ahmad sama sekali tidak menduga dan tentu saja menolak keras keinginan Fulan.

“ Banyak situs yang menyediakan ilmu dan informasi yang bermanfaat, mengapa situs jahiliyah yang ingin kamu lihat? Saya tidak tahu dan saya tidak mau!” dengan tegas Ahmad menolak. Fulan telah membuatnya sangat kecewa.

“ Sekali ini saja Mad! Bahkan kamu tak perlu melihat kalau kamu tidak mau. Cukup kasih tahu caranya saja. Aku janji setelah ini tidak akan meminta lagi “ si Fulan terus saja mendesak.

“ Tidak, sekali tidak tetap tidak! Ini yang sebenarnya aku khawatirkan dari awal, kamu akan seperti mereka-mereka yang menggunakan internet sebagai media untuk bermaksiat. Astaghfirulloh, sadar dan perbanyaklah istighfar! Buang jauh-jauh pikiran itu, insya Allah niat jelek selama belum dikerjakan belum dicatat dosanya “ Ahmad coba menasihati.

“ Kamu kok pelit Mad! Aku cuma minta diajari caranya, selanjutnya aku sendiri yang download. Kamu terbebas dari dosanya kan? “ Fulan tak pantang menyerah.

“ Enak saja! Meski kamu yang melakukan, tetap saja aku ikut menanggung dosanya jika aku memberitahu caranya. Sudahlah, mintalah selain itu. Kalau seperti itu yang kamu mau, kamu salah jika menganggapku pelit. Sudah, aku mau pulang saja !” Ahmad segera meninggalkan Fulan di warnet. Meski sangat kecewa, Ahmad berharap sahabatnya ini segera sadar dan persahabatan yang sudah terjalin lama tak perlu hancur hanya karena masalah ini.

Beberapa hari hubungan Ahmad dan Fulan agak terganggu. Tapi Alhamdulillah, keteguhan Ahmad tidak sia-sia. Kini Fulan tak lagi membicarakan hal itu lagi. Dia juga sudah tak menyebut Ahmad pelit lagi. “ Mudah-mudahan Fulan sudah sadar”, Ahmad membatin.

**

Belajar dan berbagi ilmu, dalam Islam jelas sangat diutamakan, bahkan wajib hukumnya. Namun ilmu yang bagaimana dulu, itu yang harus diperhatikan. Memberikan ilmu atau pengetahuan kepada orang lain jelas tidak akan mengurangi ilmu kita, bahkan ilmu dan pengetahuan kita akan bertambah dan semakin barokah. Tapi, satu syarat yang mengikutinya yaitu bahwa ilmu yang dipelajari dan dibagi itu haruslah ilmu yang bermanfaat, bukan ilmu yang sesat atau menyesatkan manusia pada perbuatan maksiat.

Ilmu bermanfaat yang diamalkan, bukan saja mendatangkan pahala bagi pelakunya, tapi juga mengalir kepada orang-orang yang dahulu memberikannya, meskipun dia sudah meninggal dunia. Sebaliknya, bila ilmu itu sesat dan atau digunakan untuk bermaksiat, maka selama ilmu itu digunakan, selama itu pula orang yang mengajarkan akan ikut menanggung dosanya. Nauzubillah!

Mari kita berhati-hati dalam mencari dan berbagi ilmu ataupun informasi. Bisa jadi pengetahuan yang kita berikan bukanlah sesuatu yang bisa dikatakan sesat, tapi sekiranya kita berikan kepada orang yang tak bisa menjaga diri dari maksiat, maka jangan sekali-kali kita membaginya kecuali ilmu yang bisa menyadarkannya. Begitupun jika sekiranya kita tahu tidak bermanfaat, maka tak usahlah kita mempelajarinya. Jauhi dosa dari mempelajari, mengamalkan dan membagi ilmu yang tak bermanfaat. Begitu banyak ilmu bermanfaat yang bisa kita pelajari, bahkan meski daun-daun dijadikan kertas, lautan dijadikan tinta dan ditambahkan lagi sebanyak itu, ilmu Allah tidak akan habis ditulis. Mari kita pelajari ilmu Allah sebanyak-banyaknya, amalkan dan bagikan kepada orang lain agar kesuksesan dunia dan akhirat bisa kita raih. Insya Allah.