Kamis, 30 Juni 2011

Belajar Dari Tujuh Jenis Manusia


Krisis kepimpinan terjadi di mana-mana, di berbagai lembaga negara atau di berbagai organisasi biasa, baik di tingkat local, regional maupun Internasional. Dan type kepimpin yang asli baru terlihat bila situasi sangat genting.

Manusia baru kelihatan watak aslinya bila situasi yang genting, situasi yang tak terduga atau berbahaya, nah saat itulah akan terlihat siapa pemimpin sejati dan siapa yang palsu, siapa kawan sebenarnya dan siapa yang musuh dalam selimut. Mari kita lihat satu demi satu type atau jenis manusia bila dilihat dari kesalahan dan rasa tanggung jawabnya, kita dapat belajar darinya.

Pertama, pemimpin sejati.

Ini adalah manusia langkah , manusia jenis ini adalah manusia yang tidak salah dan tidak boleh salah, tapi tanggung jawabnya sangat besar. Jenis manusia seperti ini atau pemimpin sejati jangankan kesalahan yang besar, kesalahan yang kecilpun berusahan dihindari, dan hebatnya walaupun tidak melakukan kesalahan kecil, apa lagi kesalahan besar, namun bila bawahannya melakukan kesalahan, dia berani bertanggung jawab. Dengan tegas dia akan bilang:”Itu tangggung jawab saya”.

Sehingga bawahanyapun merasa terlindungi, merasa aman, nyaman dan tentram, Pemimpin yang sejati memang langkah, namun bukan berarti tidak ada. Pemimpin sejati biasanya mengabadi menjadi tokoh dunia di jamannya, bahkan bisa melintasi segala jaman. Dan hebatnya pemimpin jenis ini bukan dilimpahi oleh kekayaan atau harta benda yang melimpah, justru sebaliknya, bila dilihat dalam segi harta justru amat sederhana.

Nah karena kesederhanaannya dan rasa tanggung jawabnya yang besar, biasanya tokoh ini menjadi seperti payung yang melindungi bawahan atau rakyatnya.

Jenis pemimpin sejati bukan hanya mengejar prestasi ke atas, namun juga ke samping atau ke bawah. Pemimpin yang sejati akan didekati bawahannya, bukan dijauhi bawahan. Kok bisa?

Iya, karena pemimpin sejati bukan mencari-mencari kesalahan, tapi memperbaiki kesalahan. Bukan mencaci maki bawahan, tapi menunjukkan jalan. Bukan membodoh-bodohi bawahan, tapi mencerdaskan bawahan. Bukan membuat malu, tapi membuat bangga. Bukan mengintimidasi, tapi menasehati. Bukan menindas, tapi mengayomi dan seterusnya.

Wah susah mencari pemimpin seperti ini, tapi bukan tak ada. Dan jangan lupa, pajabat banyak, tapi sedikit sekali yang menjadi pemimpin sejati, apa lagi menjadi negarawan sejati, jauuuh!

Kedua, manusia pemberani.

Jenis yang kedua apa bila melakukan kesalahan, dia berani bertanggung jawab. Bukan malah kabur atau lari dari tanggung jawab, bahkan sampai ngumpet atau kabur dari negara tempat tinggalnya, agar kesalahannya dilupakan orang, setelah orang lupa baru kembali ke negara asalnya.

Nah manusia jantan atau pemberani adalah manusia yang penuh tanggaung jawab dan berani mempertanggungjawabkan kesalahan yang diperbuatnya. Dengan sebuah keyakinan yang wajar, bahwa manusia memang tak akan luput dari kesalahan dan dosa-dosa.

Jadi bila melakukan kesalahan dia mengakuinya dan menyatakan bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat dan segera minta maaf, dengan demikian jenis manusia pemberani atau manusia jantan ini tidak dihinggapi rasa dendam dan ketakutan, karena dengan ikhlas dia nyatakan kesalahannya dan tidak lari dari tanggung jawab terhadap kesalahannya.

Manusia jenis ini yakin bahwa sebaik-baik manusia adalah yang ketika melakukan kesalahan atau dosa segera minta maaf dan bertobat, serta tidak melakukan perbuatan kesalahan atau dosa itu lagi. Manusia pemberani jenis ini punya prinsif”lebih baik berbuat, lalu salah, ketimbang tidak pernah salah, karena tak perbuat apa-apa!”

Ketiga, ilmuwan.

Manusia jenis ketiga ini biasanya dimiliki oleh para ilmuwan, peniliti atau penemu. Manusia jenis ilmuwan malah “akrab” dengan kesalahan dan tidak malu-malu mengatakan bahwa itu memang salah! Nah karena manusia jenis ini adalah seperti balita yang belajar jalan.

Coba saja anda perhatikan ketika balita belajar jelan, jalan dan jatuh bergantian dan tak ada istilah putus asa, akhirnya sang balita bisa jalan. Begitu juga jenis manusia ketiga ini, dia akan mencoba sesuatu, tapi hasil hasilnya salah, dia akan mencoba lagi, bila hasilnya salah lagi, dia akan mencoba lagi, sampai hasil percobaannya berhasil seperti yang diinginkan.

Manusia jenis ketiga adalah manusia yang penuh optimisme, kesalahannya adalah tanggung jawabnya dan dia akan segera memperbaiki kesalahannya itu, manusia jenis ketiga tak akan melemparkan kesalahannya pada orang lain, apa lagi sampai mencari”kambing hitam” atas kesalahan yang diperbuatanya,” tak ada kamusnya” dia berbuat demikian.

Manusia jenis ilmuwan yang akrab dengan kesalahan, bahkan dengan kesalahan yang telah diperbuat bukan dicampakan, tapi diperbaiki. Kesalahan demi kesalahan dalam penelitian atau uji coba menjadi bagian hidupnya sehari-hari, seribu kesalahan yang telah dicoba akan diperbaiki dengan seribu langkah selanjutnya.

Manusia jenis ini pantang menyerah, pantang mundur, pantang “patah arang”, pantang putus asa dan lain-lain, dia akan terus berusaha memperbaiki kesalahan tersebut dengan rasa tanggung jawabnya yang besar di bidang apapun.

Keempat, manusia biasa.

Manusia jenis ke empat ini adalah jenis yang terbanyak, memang di mana-mana manusia itu secara rata-rata ya jenis ini, jenis dimana ketika dia tidak melakukan kesalahan dia tak akan bertanggung jawab.

Logis kelihatanya, iya dong , masa tidak melakukan kesalahan harus bertanggung jawab? Maka kata-kata yang keluar bila ada kesalahan ditempatnya atau dilingkungannya”itu bukan kesalahan saya, maka buat apa saya bertanggung jawab, enak aja!” Dan dia akan melawan orang yang mengatakan dia ikut bersalah.

Manusia jenis yang keempat paling banyak, dan itu normal adanya, tidak melakukan kesalahan dan tidak ikut bertanggung jawab. Nah tipe ini memang bukan untuk pemimpin, apa lagi dijadikan pemimpin yang sejati, akan jauh panggang dari api.

Manusia jenis yang keempat adalah jenis manusia kebanyakan, prinsif hidupnya sejenis SDM(selamatkan diri masing-masing), yang penting dirinya tak melakukan kesalahan, dengan demikian bebas tanggung jawab bila ada kesalahan, maka selamatlah dia.

Kelima, pengecut.

Jenis manusia yang kelima ini banyak dihinggapi oleh para koruptor atau orang-orang yang melakukan perbuatan licik demi kepentingan pribadi, golongan, partai atau organisasinya.

Setelah mengeruk keuangan negara atau uang rakyat yang diambilnya dengan jalan KKN, ini jelas-jelas salah dan tak mau bertanggung jawab terhadap kesalahan yang diperbuatnya. Bahkan lari ke luar negeri dan sembunyi di negara lain, sembunyi setelah melakukan kesalahan, pengecut!

Jenis manusia yang satu ini ternyata lebih banyak dimiliki oleh -orang yang merasa dirinya terhormat dengan berjas dan berdasi, tapi korupsi! Aha ternyata yang jenis ini bukan hanya milik laki-laki, tapi juga perempuan.

Setelah korupsi kabur ke luar negeri, takut kembali ke dalam negeri! Dasar pengecut! Ya, manusia jenis ini walaupun punya jabatan, pangkat, titel yang tinggi tapi telah melakukan kesalahan dengan melakukan korupsi atau yang sejenis, dia akan lari ketakutan atau kabur ke luar negeri atau ke tempat mana saja, agar tidak dapat diketahui persembunyiannya oleh para penegak hukum.

Manusia jenis kelima ini sedang marak di negeri kita, manusia-manusia pengecut! Manusia yang telah membobol uang negara dan tak kembali lagi ke Indonesia, seperti Edi Tansil dan manusia yang sejenis atau para pengemplang BLBI yang sampai sekarang tak muncul”batang hidungnya” sedikitpun.

Manusia pengecut ini seperti ditelan bumi, entah ada dimana mereka berada, penegak hukum tak ada yang tahu atau “kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu” Manusia jenis kelima ini menjalar ke mana-mana, manusia jenis ini paling mudah lari dari tanggung jawab terhadap kesalahan yang diperbuatnya.

Benar-benar pengecut, lain sekali dengan penampilannya yang berjas dan berdasi dengan mobil mewah dan rumah yang megah, tapi ketika KPK atau penegak hukum “mengendus” kesalahannya, dia akan segera kabur ke luar negeri dengan alasan macam-macam, yang paling sering dijadikan alasan adalah sakit!

Heranya penegak hukumpun “percaya” begitu saja kalau yang sakitnya para koruptor, tapi kalau yang dituduh teroris, belum ditemukan kesalahannyapun, jangankan untuk berobat, lagi berobatpun ditarik paksa, dijemput paksa di rumah sakit!

Keenam, munafik.

Nah jenis manusia yang keenam ini lebih berbahaya dari yang kelima, kalau yang kelima bila melakukan kesalahan segera lari dan tak bertanggung jawab, karena sipat pengecutnya, kalau yang keenam sudah melakukan kesalahan, lari dari tanggung jawab lalu menyalahkan orang lain yang salah!

Orang yang munafik sebagaimana tiga sipatnya yang melekat yaitu” bila berjanji tidak menepati, bila berkata selalu dusta dan bila dipercaya dia khianat” Maka manusia jenis keenam ini bila melakukan kesalahan keluarlah sipat aslinya, bila berkata selalu berdusta! Dengan enteng berkata” saya tidak bersalah, yang salah si itu atau si ini” Tangannya segera dengan cekatan menunjuk kesalahan yang dilakukannya dilimpahkan kepada orang lain!

Manusia jenis keenam ini bahaya, karena dengan sipat munafiknya dia akan bersumpah palsu di dalam sidang pengadilan kalau dia menjadi saksi! Dia akan berani bersumpah dengan apapun, dengan kitab sucipun baginya tak masalah, yang penting dirinya bebas dari tanggung jawab yang seharusnya dia pikul dari kesalahan yang diperbuat. Manusia munafik ini sangat manis bersilat lidah, pandai sekali memutarbalikan fakta dan sangat licik dalam bertingkah laku. Manusia munafik adalah “musuh dalam selimut”, kelihatan kawan ternyata lawan!

Ketujuh, manusia srigala.

Ini jenis manusia yang paling berbahaya dalam bidang apapun, karena manusia jenis srigala ini bila melakukan kesalahan, selain tidak bertanggung jawab dan melimpahkan kesalahan pada orang lain lalu manusia jenis ini masih mengambil keuntungan dari kesalahan yang diperbuatnya.

Nah anda bisa bayangkan, sudah salah, lari dari tanggung jawab, melimpahkan kesalahan pada orang lain lalu mengambil keuntungan dari kesalahan tersebut untuk dirinya dan orang-orang yang berada di sekitarnya, maka terbentuklah kejahatan kolektif, kajahatan massal, kejahatan bersama, yang pada akhirnya saling menutupi, agar kejahatan yang mereka lakukan bersama tidak terbongkar!

Bahkan mereka tetap berjas dan berdasi serta duduk di lembaga-lembaga terhormat dengan fasilitas negara dari uang rakyat yang dimakannya! Tak ada yang tahu, tak ada yang bisa mengendusnya, karena sudah merupakan suatu system, yang kelihatannya benar, padahal salah! Persis para mafia di film-film hollywood!

Coba anda perhatikan mafia di film-fim tersebut, mereka seperti orang yang “bersih” hidup seperti orang terhormat, duduk dilembaga terhormat, ke mana-mana ingin dihormati dan difasilitasi, namun dibalik itu semua ada “srigala’ dalam diri mereka!

Negara bila dipenuhi oleh jenis manusia ketujuh ini, siap-siap menuju kehancuran, baik secara cepat maupun lambat, negara yang dipenuhi manusia srigala seperti rumah yang tiang-tiangnya keropos dimakan rayap!

Manusia srigala adalah manusia yang digambarkan oleh orang bijak sebagai pemangsa bagi sesamanya. Rakyat tambah miskin atau negara menjadi bangkrut karena KKN yang dilakukannya, bagi manusia srigala tak peduli! Manusia srigala akan mencabik-cabik sesamanya untuk kepuasan hawa nafsunya sendiri, hawa nafsunya telah menjadi Tuhan bagi dirinnya!

Dan dia berubah menjadi singa yang sangat buas yang kemudian menjadi raja di hutan rimba dan hukum yang berlaku ya hukum rimba, siapa kuat dia yang menang, tak ada keadilan, yang ada kekuasaan, “aku yang berkuasa, kau mau apa?” Bagitu kata singa si raja hutan!


Oleh Syaripudin Zuhri

Senin, 27 Juni 2011

Tiga Ucapan untuk Tiga Kondisi


Oleh Ihsan Tandjung

Hidup di dunia bagi seorang mukmin merupakan daftar panjang menghadapi aneka ujian yang datang dari Allah Sang Pencipta Yang Maha Berkehendak lagi Maha Kuasa. Terkadang hidup diwarnai dengan kondisi suka dan terkadang dengan kondisi duka. Seorang mukmin tidak pernah mengeluh apalagi menyalahkan Allah ketika sedang diuji dengan kesulitan hidup. Ia selalu berusaha untuk tetap bersabar manakala ujian duka melanda hidupnya. Sebaliknya seorang mukmin tidak bakal lupa bersyukur tatkala sedang diuji dengan karunia kenikmatan dari Allah. Demikian indah dan bagusnya respon seorang mukmin menghadapi aneka ujian hidup sehingga Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengungkapkan ketakjuban beliau.

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ

ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ

خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan orang beriman! Sesungguhnya semua urusannya baik. Dan yang demikian tidak dapat dirasakan oleh siapapun selain orang beriman. Jika ia memperoleh kebahagiaan, maka ia bersyukur. Bersyukur itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa mudharat, maka ia bersabar. Dan bersabar itu baik baginya.” (HR Muslim 5318)

Bahkan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan kita agar memberikan respon yang sesuai untuk setiap kondisi ujian yang sedang datang kepada diri seorang mukmin. Dalam hadits di bawah ini sekurangnya Nabi mengajarkan tiga jenis ucapan berbeda untuk merespon tiga jenis kondisi ujian yang menghadang seorang mukmin dalam hidupnya di dunia.

من أنعم الله عليه بنعمة فليحمد الله ومن استبطأ الرزق

فليستغفر الله ومن حزبه أمر فليقل لا حول ولا قوة إلا بالله

”Barangsiapa dikaruniai Allah kenikmatan hendaklah dia bertahmid (memuji) kepada Allah, dan barangsiapa merasa diperlambat rezekinya hendaklah dia beristighfar kepada Allah. Barangsiapa dilanda kesusahan dalam suatu masalah hendaklah mengucapkan "Laa haula walaa quwwata illaa billaahil'aliyyil'adzhim." (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung)" (HR. Al-Baihaqi dan Ar-Rabii')

Pertama, saat menghadapi kondisi memperoleh kenikmatan. Dalam kondisi seperti ini seorang mukmin diharuskan mengucapkan pujian bagi Allah, yaitu mengucapkan Alhamdulillah. Sebab dengan dia mengucapkan kalimat yang menegaskan kembali bahwa segala karunia berasal hanya dari Allah, maka berarti ia menutup segala celah negatif yang bisa jadi muncul dan diolah setan, yaitu menganggap bahwa kenikmatan yang ia peroleh adalah karena kehebatan dirinya dalam berprestasi. Setan sangat suka menggoda manusia dengan menanamkan sifat ’ujub atau bangga diri bilamana baru meraih suatu keberhasilan atau kenikmatan. Manusia dibuat lupa akan kehadiran Allah yang pada hakekatnya merupakan sumber sebenarnya dari datangnya kenikmatan. Jika Allah tidak izinkan suatu kenikmatan sampai kepada seseorang bagaimana mungkin orang tersebut akan pernah dapat menikmatinya?

Sebenarnya dalam kehidupan di dunia kenikmatan Allah senantiasa tercurah kepada segenap hamba-hambaNya. Bahkan jumlah nikmat yang diterima setiap orang selalu saja jauh melebihi kemampuan orang itu untuk mensyukurinya. Jangankan kemampuan bersyukur seseorang melebihi nikmat yang ia terima dari Allah, bahkan sebatas mengimbanginya saja sudah tidak akan pernah sanggup. Maka, saudaraku, marilah kita lazimkan diri untuk sering-sering mengucapkan kalimat tahmid, baik saat kita menyadari datangnya nikmat maupun tidak.

Kedua, saat merasa berada dalam kondisi rezeki sedang diperlambat. Dalam kondisi seperti ini seorang mukmin disuruh untuk banyak mengucapkan kalimat istighfar. Kalimat istighfar berarti kalimat mengajukan permohonan agar Allah mengampuni dosa-dosa kita. Nabi Hud menyuruh kaumnya untuk beristighfar dan menjamin bahwa dengan melakukan hal itu, maka hujan deras bakal turun. Istilah ”hujan” di dalam tradisi ajaran Islam seringkali bermakna rezeki. Sehingga kaitannya menjadi sangat jelas. Orang yang sedang merasa rezekinya lambat atau seret kemudian ia beristighfar, maka ia sedang berusaha mengundang turunnya hujan alias rezeki dari Allah.

وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا

“Dan (Hud berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu." (QS Hud ayat 52)

Ketiga, kondisi sedang dilanda kesusahan dalam suatu masalah. Menghadapi kondisi seperti iniNabi shollallahu ’alaih wa sallam menyuruh seorang mukmin untuk membaca kalimat Laa haula walaa quwwata illaa billaahil'aliyyil'adzhim. Kalimat ini sungguh sarat makna yang bermuatan aqidah. Bayangkan, kalimat ini bila diterjemahkan menjadi: Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Kalimat ini kembali mengingatkan kita akan pentingya kemantapan iman Tauhid seorang mukmin. Begitu si mukmin membaca kalimat tersebut dengan penuh pemahaman, penghayatan dan keyakinan, maka saat itu juga jiwanya akan meninggi dan berusaha menggapai kekuatan dan pertolongan Allah yang Maha Kuat lagi Maha Terpuji. Bila Allah telah mengizinkan kekuatan dan pertolonganNya datang kepada seseorang, maka masalah manakah yang tidak bakal sanggup diatasinya?

Oleh karena itu, sekali lagi kami tegaskan, Islam sangat mencela sikap ketergantungan seseorang kepada selain Allah saat menangani masalahnya. Hanya Allah tempat bergantung, tempat kembali dan tempat memohon pertolongan. Hanya Allah tempat kita ber-tawakkal. Malah seorang mukmin tidak boleh ber-tawakkal kepada dirinya sendiri.

ياَ حَيُّ ، يَا قَيُّومُ ، بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ ، أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلِّهِ ،

وَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ ، وَلَا إِلَى أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ

“Wahai Allah Yang Maha Hidup, wahai Allah Yang Senantiasa Mengurusi, tidak ada tuhan selain Engkau, dengan rahmatMu aku memohon pertolongan, perbaikilah keadaan diriku seluruhnya dan jangan Engkau serahkan nasibku kepada diriku sendiri (walau) sekejap mata, tidak pula kepada seorang manusiapun.” (HR Thabrani 445)

Minggu, 26 Juni 2011

Tidak Sepantasnya Kita Menyombongkan Diri


Kesombongan (takabbur) atau dikenal dalam bahasa syariat dengan sebutan al-kibr yaitu melihat diri sendiri lebih besar dari yang lain. Orang sombong itu memandang dirinya lebih sempurna dibandingkan siapapun. Dia memandang orang lain hina, rendah dan lain sebagainya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hakikat kesombongan dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa salllam,

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” [H.R. Muslim, no. 2749, dari 'Abdullah bin Mas'ûd]

Inilah yang membedakan takabbur dari sifat ‘ujub (membanggakan diri, silau dengan diri sendiri). Sifat ‘ujub, hanya membanggakan diri tanpa meremehkan orang. Sedangkan takabbur, disamping membanggakan diri juga meremehkan orang.

SEBAB-SEBAB KESOMBONGAN

Sebab-sebab kesombongan, antara lain:

1- ‘Ujub (Membanggakan Diri)
Ketahuilah wahai hamba yang ber-tawadhu’ –semoga Allah lebih meninggikan derajat bagimu-, bahwa manusia tidak akan takabbur kepada orang lain sampai dia terlebih dahulu merasa ‘ujub (membanggakan diri) terhadap dirinya, dan dia memandang dirinya memiliki kelebihan dari orang lain. Maka dari ‘ujub ini muncul kesombongan. Dan ‘ujub merupakan perkara yang membinasakan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَهُوَيَ مُتَبَعٌ وَإِعْجَابٌ اْلمَرْءِ بِنَفْسِهِ

Tiga perkara yang membinasakan: sifat sukh (rakus dan bakhil) yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub seseorang terhadap dirinya.” [Silsilah Shahihah, no. 1802]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ يَمْشِي فِي بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ فَخَسَفَ اللَّهُ بِهِ الْأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Ketika seorang laki-laki sedang bergaya dengan kesombongan berjalan dengan mengenakan dua burdahnya (jenis pakaian bergaris-garis; atau pakaian yang terbuat dari wol hitam), dia mengagumi dirinya, lalu Allah membenamkannya di dalam bumi, maka dia selalu terbenam ke bawah di dalam bumi sampai hari kiamat.” [HR. Bukhari, no. 5789; Muslim, no. 2088; dan ini lafazh Muslim]

2- Merendahkan Orang Lain.
Ketahuilah wahai hamba (Allah), bahwa orang yang tidak meremehkan manusia, tidak akan takabbur terhadap mereka. Sedangkan meremehkan seseorang yang dimuliakan Allah dengan keimanan sudah cukup untuk menjadikan sebuah dosa.

3- Suka Menonjolkan Diri (Taraffu).
Ketahuilah wahai hamba yang tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa jiwa manusia itu menyukai ketinggian di atas sesamanya, dan dari sini muncul kesombongan.

Oleh karena itu, barangsiapa memperhatikan Al-Qur’an niscaya akan mendapati bahwa orang-orang yang bersombong pada tiap-tiap kaum adalah para pemukanya, yaitu orang-orang yang memegang kendali berbagai urusan. Allah Ta’ala berfirman tentang suku Tsamud, kaum Nabi Shalih Alaihissalam yang artinya, “Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka, ‘Tahukah kamu bahwa Shalih di utus (menjadi Rasul) oleh Tuhannya?’ Mereka (yang dianggap lemah-red) menjawab, ‘Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya.’

Orang-orang yang menyombongkan diri berkata, “Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu.

Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. dan mereka berkata, “Hai Shalih, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah).” [al-A’râf/7:75-77]

Dan Allah Ta’ala memberitakan tentang kaum Nabi Syu’aib Alaihissalam,

Pemuka-pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan dan berkata, ‘Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, atau kamu kembali kepada agama kami.’ Syu’aib berkata, ‘Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya?‘” [Al-A’raaf/7: 88]

Namun orang yang berakal akan berlomba pada ketinggian yang tetap lagi kekal, yang di dalamnya terdapat keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kedekatan kepadaNya. Dan dia meninggalkan ketinggian sementara yang akan binasa, yang akan diikuti oleh kemurkaan Allah dan kemarahanNya, kerendahan hamba, kesibukannya, jauhnya dari Allah dan terusirnya (dari rahmat) Allah. Inilah ketinggian yang tercela, yaitu sikap melewati batas dan takabbur di muka bumi dengan tanpa kebenaran. Allah Ta’ala berfirman,

Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin ketinggian (menyombongkan diri ) dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” [Al-Qashash/28: 83]

Adapun ketinggian yang pertama (yakni ketinggian yang tetap lagi kekal di akhirat) dan bersemanagat untuk meraihnya, maka itu terpuji. Allah Ta’ala berfirman,

Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” [Al-Muthaffifin/83: 26]

Maka disyari’atkan berlomba-lomba untuk (meraih) derajat-derajat tinggi di akhirat yang kekal, dan berusaha meraih ketinggian pada tingkatan-tingkatannya, serta bersemangat untuk itu dengan berusaha melakukan sebab-sebabnya. Dan hendaklah seseorang tidak merasa puas dengan kerendahan, padahal dia mampu meraih ketinggian.

4- Mengikuti Hawa Nafsu.
Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa kesombongan itu muncul dari sebab mengikuti hawa nafsu, karena memang hawa nafsu itu mengajak menuju ketinggian dan kemuliaan di muka bumi. Allah Ta’ala berfirman,

Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” [Al-Baqarah/2: 87]

BAHAYA KESOMBONGAN

Ketahuilah wahai hamba Allah yang hatinya dihiasi dengan tawadhu’ (rendah hati) bahwa bencana kesombongan itu sangat besar, orang-orang istimewa binasa di dalamnya, dan jarang orang yang bebas darinya, baik para ulama, ahli ibadah, atau ahli zuhud. Bagaimana bencana kesombongan itu tidak besar, sedangkan kesombongan itu:

1- Dosa Pertama Yang Dengannya Allah Azza Wa Jalla Dimaksiati.
Kesombongan adalah dosa pertama yang dilakukan Iblis laknatullah dalam bermaksiat kepada Allah Azza wa jalla. Kesombongan itu menyeret Iblis untuk menjadikan takdir sebagai alasan terus-menerus sombong. Allah Azza wa Jalla berfirman,

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam!,’ Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” [Al-Baqarah/2: 34]

2- Kesombongan Merupakan Kawan Syirik Dan Penyebabnya.
Oleh karena itulah Allah Azza wa Jalla menggabungkan antara kekafiran dengan kesombongan di dalam kitab-Nya yang mulia, Dia Azza wa Jalla berfirman,

Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis; dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir.” [Shaad/38: 73-74]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman,

(Bukan demikian) sebenarya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri dan adalah kamu termasuk orang-orang yang kafir.” [Az-Zumar/39: 59]

Karena barangsiapa takabbur dari patuh kepada al-haq (kebenaran) –walaupun kebenaran itu datang kepadanya lewat tangan seorang anak kecil atau orang yang dia benci dan musuhi- , maka sesungguhnya takabburnya itu adalah kepada Allah, karena Allah adalah Al-Haq, perkataan-Nya adalah haq, agama-Nya adalah haq, al-haq merupakan sifat-Nya, dan al-haq adalah dari-Nya dan untukNya. Maka, jika seorang hamba menolak al-haq, takabbur dari menerimanya, maka sesungguhnya dia menolak Allah dan takabbur terhadap-Nya. Dan barangsiapa takabbur terhadap Allah, niscaya Allah akan menghinakannya, merendahkannya, mengecilkannya, dan meremehkannya.

3- Orang-Orang Yang Sombong Tempat Kembalinya Adalah Neraka.
Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan neraka sebagai rumah bagi orang-orang yang sombong, sebagaimana di dalam surat Al-Ghafir ayat 76 dan surat Az-Zumar ayat 72. Allah Azza wa Jalla berfirman,

Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, sedang kamu kekal di dalamnya”. Maka neraka Jahannam Itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.” [Az-Zumar/39: 72]

Dan orang-orang yang sombong adalah para penduduk neraka Jahannam, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ أَهْلَ النَّارِ كُلُّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ جَمَّاعٍ مَنَّاعٍ وَأَهْلُ الْجَنَّةِ الضُّعَفَاءُ الْمَغْلُوبُونَ

Sesungguhnya penduduk neraka adalah semua orang yang kasar lagi keras, orang yang bergaya sombong di dalam jalannya, orang yang bersombong, orang yang banyak mengumpulkan harta, orang yang sangat bakhil. Adapun penduduk sorga adalah orang-orang yang lemah dan terkalahkan.” [Hadits Shahih. Riwayat Ahmad, 2/114; Al-Hakim, 2/499]

Mereka akan merasakan berbagai macam siksaan di dalam Jahannam, akan diliputi kehinaan dari berbagai tempat, dan akan diminumi nanah penduduk neraka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُوَرِ الرِّجَالِ يَغْشَاهُمْ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَيُسَاقُونَ إِلَى سِجْنٍ فِي جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُولَسَ تَعْلُوهُمْ نَارُ الْأَنْيَارِ يُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِينَةَ الْخَبَالِ

Pada hari kiamat orang-orang yang sombong akan digiring dan dikumpulkan seperti semut kecil, di dalam bentuk manusia, kehinaan akan meliputi mereka dari berbagai sisi. Mereka akan digiring menuju sebuah penjara di dalam Jahannam yang namanya Bulas. Api neraka yang sangat panas akan membakar mereka. Mereka akan diminumi nanah penduduk neraka, yaitu thinatul khabal (lumpur kebinasaan).” [Hadits Hasan. Riwayat Bukhari di dalam al-Adabul Mufrad, no. 557; Tirmidzi, no. 2492; Ahmad, 2/179; dan Nu’aim bin Hammad di dalam Zawaid Az-Zuhd, no. 151]

4- Kesombongan Merupakan Tirai Penghalang Masuk Surga.
Oleh karena itu, Allah mengusir Iblis dari surga, Dia Azza wa Jalla berfirman,

Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya!” [Al-A’râf/7: 13]

Kesombongan itu menjadi tirai penghalang masuk surga karena menghalangi seorang hamba dari akhlaq orang-orang beriman. Orang sombong tidak menyukai untuk kaum mukminin kebaikan yang dia sukai untuk dirinya. Dia tidak mampu bersikap rendah hati dan meninggalkan hasad, dendam, dan marah. Dia juga tidak mampu manahan murka, dia tidak menerima nasehat, dan tidak selamat dari sifat merendahkan dan menggibah manusia. Tidak ada sifat yang tercela kecuali dia memilikinya.

5- Allah Tidak Mencintai Orang-Orang Yang Sombong.
Barangsiapa yang memiliki sifat-sifatnya seperti ini, maka dia berhak mendapatkan laknat Allah, jauh dari rahmatNya, Allah memurkainya dan tidak mencintainya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong. Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” [An-Nahl/16: 22-23]

6- Kesombongan Merupakan Sebab Su-ul Khatimah (Keburukan Akhir Kehidupan).
Oleh karena itu Allah memberitakan bahwa orang yang sombong dan sewenang-wenang adalah orang-orang yang Allah menutup hati mereka, sehingga mereka tidak beriman. Sehingga akhir kehidupannya buruk. Allah Azza wa Jalla berfirman,

Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” [Al-Mukmin/40: 35]

7- Kesombongan Merupakan Sebab Berpaling Dari Ayat-Ayat Allah.
Yang demikian itu karena orang yang sombong tidak bisa melihat ayat-ayat Allah yang menjelaskan dan berbicara dengan dalil-dalil yang pasti. Juga karena kesombongan itu menutupi kedua matanya, sehingga dia tidak melihat kecuali dirinya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi.” [Al-A’raaf/7: 146]

8- Kesombongan Merupakan Dosa Terbesar.
Kesombongan memiliki berbagai bahaya seperti ini; maka tidak heran jika ia merupakan dosa terbesar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

لَوْ لَمْ تَكُوْنُوْا تُذْنِبُونَ لَخِفْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ الْعُجْبُ الْعُجْبُ

Jika kamu tidak berbuat dosa, sungguh aku mengkhawatirkan kamu pada perkara yang lebih besar dari itu, yaitu ‘ujub, ‘ujub (kagum terhadap diri sendiri).” [Hadist Hasan Lighairihi, sebagaimana di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 658, karya Syaikh Al-Albani]

Sumber: At-Tawaadhu’ fii Dhauil Qur’anil Kariim was Sunnah ash-Shahiihah karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali hafizhahullah, hlm. 35-44; Penerbit. Daar Ibnul Qayyim; Cet. 1; Th. 1410 H/1990 M

Diadaptasi dan disadur secara bebas oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsari

Sabtu, 25 Juni 2011

S•O•M•B•O•N•G


Seorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru tertegun keheranan.
Dia melihat Sang Guru sedang sibuk bekerja; ia mengangkuti air dengan ember & menyikat lantai rumahnya keras-keras.

Pria itu bertanya,
“Apa yang sedang Anda lakukan?”

Sang Guru menjawab,
“Tadi saya kedatangan serombongan tamu yg meminta nasihat.
Saya memberikan banyak nasihat yang bermanfaat bagi mereka.
Mereka pun tampak puas sekali.
Namun, setelah mereka pulang tiba-tiba saya MERASA menjadi orang yang hebat.
Kesombongan saya mulai bermunculan.
Karena itu, saya melakukan ini untuk membunuh perasaan sombong saya.”

Saudaraku.....,
Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, benih-benihnya kerap muncul tanpa kita sadari.

Di tingkat pertama,
sombong disebabkan oleh faktor materi.
Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.

Di tingkat kedua,
sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan.
Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain.

Di tingkat ketiga,
sombong disebabkan oleh faktor kebaikan.
Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.

Yang menarik....,
Semakin tinggi tingkat kesombongan,
Semakin sulit pula kita mendeteksinya.

Sombong karena materi sangat mudah terlihat,
namun sombong karena pengetahuan,
apalagi sombong karena kebaikan,
sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.

Cobalah setiap hari, kita memeriksa hati kita.
Karena setiap hal yang baik dan yang bisa kita lakukan,
semua karena ANUGRAH TUHAN.

Kita ini manusia hanya seperti debu, yang suatu saat akan hilang dan lenyap.
Kesombongan hanya akan membawa kita pada kejatuhan yang dalam.

(Catatan Lutfi S Fz)


Apa itu S•O•M•B•O•N•G ?

Dari Ibn Mas’ud, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda:
“Tidak akan masuk surga, seseorang yang di dalam hatinya ada sebiji atom dari sifat sombong”. Seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw: “Sesungguhnya seseorang menyukai kalau pakainnya itu indah atau sandalnya juga baik”. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt adalah Maha Indah dan menyukai keindahan. Sifat sombong adalah menolak kebenaran dan memandang rendah manusia yang lain” [HR Muslim].

Jadi setiap KEBENARAN yang telah kita dapatkan (terutama yang datang dari Allah dan Rasul-Nya) lalu kita menolak dan mengabaikannya itu adalah S•O•M•B•O•N•G. Dan bila kita meremehkan atau memandang rendah orang lain, itu juga S•O•M•B•O•N•G.

”Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” [Al Israa’:37]

”Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Luqman:18]

Dari al-Aghar dari Abu Hurarirah dan Abu Sa’id, Rasulullah Saw bersabda: “Allah Swt berfirman; Kemuliaan adalah pakaian-Ku, sedangkan sombong adalah selendang-Ku. Barang siapa yang melepaskan keduanya dari-Ku, maka Aku akan menyiksanya”. [HR Muslim]

(Dikatakan kepada mereka): “Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong .” [Al Mu’min:76]

Abi Salamah meriwayatkan bahwa Abdullah bin Amr bertemu dengan Ibn Umar di Marwah. Keduanya kemudian turun dan berbicara satu sama lain. Selanjutnya Abdullah bin Amr berlalu dan Ibn Umar duduk sambil menangis tersedu-sedu. Ketika ditanya tentang apa yang membuatnya menangis, beliau menjawab: “Laki-laki ini (yakni Abdullah bin Amr) telah mengaku bahwa dia mendengar Rasulullah Saw bersabda:

“Barang siapa yang di dalam hatinya ada sebiji atom dari sifat sombong, maka Allah Swt akan menimpakan api neraka ke arah wajahnya”.

Allah mengingatkan bahwa manusia diciptakan dari air mani yang menjijikan. Pantaskah manusia bersikap sombong?
”Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air mani, maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!” [Yaa Siin:77]

Semoga hati kita terjaga dari sifat S•O•M•B•O•N•G, walaupun sangat kecil.. yang akan menyempitkan dada, dan kita bisa menikmati kedamaian dengan sifat T•A•W•A•D•H•U..

OFA

Bertemu adalah KESEMPATAN & Mencintai adalah PILIHAN


Ketika bertemu seseorang yang membuat kita tertarik, Itu bukan pilihan, itu KESEMPATAN..


Bila kita memutuskan untuk mencintai orang tersebut, bahkan dengan segala kekurangannya..
Itu bukan kesempatan, itu adalah PILIHAN..


Ketika kita memilih bersama seseorang walau apapun yang terjadi, justru di saat kita menyadari bahwa masih banyak orang lain yang lebih menarik, lebih pandai, lebih kaya daripada pasangan kita, dan tetap memilih untuk mencintainya..
Itu bukan kesempatan, itu adalah PILIHAN...


Perasaan cinta, simpatik, tertarik, datang sebagai KESEMPATAN dalam hidup kita..
Tetapi cinta yang dewasa, mencintai dengan komitmen di hadapan Tuhan dan manusia adalah PILIHAN...


Mungkin KESEMPATAN mempertemukan pasangan jiwa kita dengan kita..
Tetapi mencintai dan tetap bersama pasangan jiwa kita, adalah PILIHAN yang harus kita pertanggung jawabkan di hadapan Tuhan dan manusia.


Kita berada di dunia bukan untuk mencari seseorang yang Sempurna untuk dicintai.. Tetapi untuk BELAJAR mencintai orang yang Belum Sempurna.. Dengan cara yang Sempurna...


Mari BELAJAR mencintai dan menyayangi pasangan kita yang Belum SEMPURNA dengan cara yang SEMPURNA..
Karena pasangan kita adalah belahan jiwa kita.. Agar jiwa kita pun menjadi SEMPURNA di hadapan Tuhan...
Takdir yang mempertemukan. Rancangan yang indah telah disiapkan oleh-Nya ..

Terimakasih,
Wassalam.

OFA

Di Atas Kertas


Ade, bocah laki-laki yang masih duduk di kelas tiga SD, pulang sekolah dengan wajah ceria. Ia ingin segera sampai di rumah dan menunjukan nilai ulangannya kepada sang Bunda.

“ Bunda…Bunda! Lihat, Ade dapat nilai sepuluh!” teriak sang bocah di depan pintu.

Mendengar teriakan Ade, Bunda yang sedang memasak di dapur segera keluar dan mendapati sang anak sedang melepas tali sepatunya.

“ Ade dapat nilai sepuluh? Alhamdulillah, pinter sekali anak Bunda !” puji Bunda tak kalah gembira. “ Pelajaran apa, coba Bunda lihat!”

“ Budi pekerti, Bunda. Nih! “ Ade menyodorkan selembar kertas ulangan. Ada nilai sepuluh tertera di sana.

“ Mm… anak Bunda memang pinter! “ Bunda memuji sekali lagi. “ Hari ini Bunda bikin masakan kesukaan Ade. Bunda terusin dulu masaknya ya, sebentar lagi selesai. Sekarang Ade taruh sepatunya di rak, terus ganti baju. Nanti kalau sudah matang, kita makan bersama !”

“ Gak mau ah! Bunda saja yang rapihin sepatunya, Ade mau jajan dulu!”

Bunda tak sempat membujuk, karena sang bocah sudah lebih dulu kabur ke warung. Dengan sabar Bunda merapihkan sepatu dan tas sekolah yang ditinggal begitu saja di depan pintu.

Lima menit kemudian.

“ Bunda, sudah selesai belum masaknya? Ade lapar nih!”

“ Sebentar lagi sayang. Kebetulan Bunda kehabisan garam, tolong belikan garam di warung ya sayang! “

“ Bunda gimana sih, Ade sudah lapar nih! Masaknya lama banget! “ rajuk sang bocah.

“ Sebentar lagi selesai kok sayang. Sekarang tolong Bunda belikan garam dulu ya?”

“ Ngga’ mau, ah! Bunda beli saja sendiri. Ade mau nonton tivi!”

“ Ade… Bunda minta tolong, sebentar saja. Kalau Bunda tinggal, takut nanti masakannya gosong “

“Ngga’ mau ya ngga’ mau! Bunda nda denger ya?!”

***

Apa pendapat anda setelah membaca penggalan cerita di atas? Ironis sekali! Di atas kertas sang bocah bisa menunjukan prestasinya dengan mendapatkan nilai sepuluh untuk pelajaran budi pekerti, tapi kenyataan di lapangan justru sebaliknya. Ia bukan saja tidak hormat kepada orang tua, tapi juga tidak mau membantu bahkan membantah dengan suara keras, meski berkali-kali sang Bunda sudah meminta tolong padanya.

Cerdas di atas kertas, tapi culas di atas pentas. Hal ini pula yang terlihat pada beberapa pemimpin negeri ini. Berderet title tersemat di depan dan di belakang nama mereka, namun berderet pula kasus yang melibatkan namanya. Satu per satu, nama mereka muncul dalam berita. Bukan karena prestasi setelah terpilih menjadi wakil rakyat, tapi justru sebaliknya. Menjadi wakil rakyat hanyalah kedok untuk memuluskan aksinya, penjahat berlabel pejabat. Berbagai tindak kejahatan dan tingkah laku buruk bukan lagi berita baru, dan pelakunya adalah mereka yang notabene orang-orang berprestasi cemerlang di bidang pendidikan.

Begitupun dengan orang-orang yang terlibat langsung dengan dunia pendidikan, ternyata budi pekerti yang diajarkan belum betul-betul mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Belum lama kita dicengangkan dengan berita tentang contek masal yang konon dilakukan oleh para siswa sekolah dasar atas perintah – setidaknya diketahui - guru yang sedang mengawasi pelaksanan ujian.

Ini sungguh mengejutkan, memalukan sekaligus memilukan. Sang murid yang melaporkan kejadian ini bersikeras bahwa apa yang ia ceritakan adalah benar, sedang sang guru - tentu saja - sebaliknya. Pihak sekolah membantah telah terjadi contek masal dalam ujian. Tak mungkin mereka membiarkan ini terjadi, apalagi sampai menyuruh anak didiknya memberikan contekan kepada teman-temannya. Entahlah, siapa yang benar dalam hal ini. Tapi ketika dua pihak memberikan keterangan yang bertolak belakang terhadap satu permasalahan, sudah bisa dipastikan bahwa salah satu dari mereka berdusta. Ini bukti nyata bahwa kejujuran, keluhuran budi pekerti sudah tidak lebih dari sekedar mata pelajaran, yang diterapkan atau tidak dalam kehidupan sehari-hari, sudah kurang mendapat perhatian lagi.

Kisah tentang Ade yang semaunya sendiri, tidak menghormati dan tidak mau menolong orang lain bahkan berani membantah orang tua –mungkin juga kepada gurunya – adalah bukti nyata, bahwa moral bangsa ini perlu segera dibenahi. Barangkali apa yang dilakukan oleh Ade karena sedikit banyak dipengaruhi oleh usianya yang masih belia. Dengan didikan orang tua di rumah, juga guru di sekolah, maka perilaku seperti Ade ini masih bisa diluruskan. Tapi bagaimana ketika mereka – para pemimpin – yang semestinya memberikan contoh dan tauladan justru menjadi ancaman, musuh yang tega melakukan berbagai kejahatan dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya.

Jangan ditanya soal pendidikan. Mereka adalah orang-orang terdidik, lulusan sekolah terbaik bahkan ada yang mendapatkan title dari sekolah di luar negeri. Jangan sangka mereka bukan orang-orang terpelajar, gelar mereka berjejer di depan dan di belakang nama mereka. Tapi apa yang bisa dibanggakan setelah menduduki kursi, yang ternyata ada yang mendapatkannya dengan menghalalkan segala cara. Apakah korupsi, berjudi, berzina, memakai dan mengedarkan narkoba pantas dijadikan kebanggaan? Sungguh memalukan dan sekaligus memilukan. Prestasi mereka ternyata hanya di atas kertas, tapi di lapangan nilai mereka nol besar, bahkan minus.

‘Jika saja’ yang diberitakan itu benar, pihak sekolah - dalam hal ini para guru - yang seharusnya mendidik dan mencontohkan kejujuran, keluhuran budi pekerti terhadap anak didiknya, justru membiarkan kecurangan terjadi di depan mata. Mereka tentu tidak lupa bahwa ada satu mata pelajaran bernama budi pekerti yang mereka berikan, tapi mereka terlupa bahwa semestinya merekalah orang pertama yang mempraktekkan, mencontohkan kepada anak-anak didiknya. Sejauh ini pihak sekolah memang masih membantah laporan salah satu muridnya, tapi rasanya sang murid tak cukup berani untuk membuat cerita dusta, apalagi menyangkut pihak-pihak yang kehormatannya harus ia junjung tinggi.

Di negeri ini kejujuran seakan menjadi sesuatu yang mahal, yang karena mahalnya maka tidak semua orang memilikinya. Juga keluhuran budi pekerti menjadi sesuatu yang kuno, yang karena saking kunonya maka banyak orang yang merasa tak perlu lagi memakainya.

STOP! Hentikan anggapan bahwa kejujuran adalah barang mahal, sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa memilikinya. Jangan pernah beranggapan bahwa budi pekerti sudah kuno, tidak relevan lagi dengan kehidupan modern. Jangan biarkan keluhuran budi pekerti hanya sebatas dipelajari tapi tak tak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

STOP! Jangan buang tenaga dengan saling menuding siapa yang paling bertanggung jawab terhadap merosotnya nilai-nilai budi pekerti di masyarakat. Setiap kita, apapun posisinya dan profesinya mempunyai kewajiban yang sama untuk menjaga dan menjalankan luhurnya budi pekerti dalam setiap sendi kehidupan. Sebagai orang tua, kita bertanggungjawab terhadap pendidikan anak-anak di rumah, karena bagian para guru adalah ketika mereka masih ada di lingkungn sekolah. Jangan buang waktu percuma, menunggu orang lain tanpa kita sendiri melakukan perbaikan.

Mari kita benahi dari diri kita, keluarga kita, lingkungan sekitar dan dari sekarang. Ketika generasi penerus sudah kita bekali dan kita biasakan untuk mempraktekan nilai luhur budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari, mudah-mudahan kelak mereka akan menjadi para pemimpin yang bukan saja berprestasi di atas kertas tapi juga berprestasi di atas pentas kehidupan. Dan jangka panjangnya, bukan saja sukses di dunia tapi juga selamat di akhirat. Amin.

By. Abi Sabila

Rabu, 22 Juni 2011

Kekuatan Doa, Sebuah Upaya Melibatkan Allah


Manusia memiliki keterbatasan, dimana tidak semua hal bisa terjangkau olehnya hanya melalui sekedar usaha. Keberhasilan sebuah usaha dan tercapainya keinginan manusia tanpa disadari hubungan vertikal ke Allah, hanya akan membuahkan kesombongan pada diri manusia. Dan tidak jarang pada akhirnya kepada Allah jua ia kembali mengeluhkan segala persoalannya ketika ditemukan kesusahan.

“Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri. Tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.” (QS Fushshilat: 51)

Sebaliknya, bila kegagalan menimpa akan membuahkan keputusasaan yang menghilangkan semangat hidup.

“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia akan menjadi putus asa lagi putus harapan.” (QS Fushshilat: 49).

Itulah manusia, seringkali melupakan Allah dikala sedang senang dan gembira, dan sering berputus asa ketika menghadapi kegagalan dalam hidupnya. Kemudian timbul penyesalan yang tidak lagi berguna.

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS Al-Munafiqun: 9).

Kebanyakan manusia tidak mampu mengingat Allah ketika harta banyak (meskipun tidak sedikit manusia yang juga lupa Allah ketika kesusahan datang). Mengingat Allah bukan berarti hanya mengingat nama-Nya saja, dan shalat. Mengingat Allah juga berarti mengingat ajaran-ajaran-Nya seperti menyantuni anak yatim, fakir miskin, memuliakan orang tua, baik kepada tetangga adalah sebagian dari cara mengingat Allah. Semua amal saleh ini harus dilakukan sebelum ajal menjelang.

Kenapa harus dilakukan sebelum ajal menjelang? Karena kalau sudah ajal menjelang tidak ada gunanya sama sekali, semuanya sudah terlambat. Tidak ada lagi yang dapat dilakukan oleh manusia bila ajal sudah sampai. Itulah sebabnya dikatakan rugi, karena dunianya tidak dapat mengantarkannya kepada kesuksesan untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat. Kebahagiaannya berhenti di dunia saja.

Seperti yang diceritakan dalam sebuah kisah, ada seorang manusia yang meninggal. Di kuburlah ia. Begitu dikubur, tujuh langkah pengantar kuburnya pulang, ia ditanya oleh malaikat tentang pertanyaannya kubur. Diantaranya tentang harta dan waktu yang sudah diberikan Allah, digunakan untuk apa saja. Lalu teringatlah ia akan hartanya di dunia yang masih banyak, ia teringat pula bahwa sedikit sekali harta yang ia sedekahkan. Ia juga diperlihatkan harta yang ditinggalkannya kini menjadi perusak bagi keutuhan anak keturunannya. Melihat hal itu semua, orang tua itu dikisahkan menangis dan mengiba agar dia dikembalikan lagi ke dunia, tetapi hal itu sudah tidak mungkin.

Kemudian orang itu teringat kembali waktu yang telah disia-siakan selama masih di dunia. Memang menurut ukuran dunia, ia sangat berhasil, tapi tidak menurut Allah. Apa yang ia lakukan selama di dunia, menurut Allah hanyalah suatu yang sia-sia belaka. Karena dunianya tidak dapat mengantarkannya untuk meraih kebahagiaan di akhirat. Merengeklah lagi ia untuk dikembalikan ke dunia, agar ia dapat berkesempatan untuk melakukan berbagai macam amal saleh, tapi itu semua tidak bisa.

Itulah manusia, semua keberhasilan yang tidak didasari oleh hubungan vertikal ke Allah, hanya akan membuahkan kesombongan pada diri manusia. Dan sebaliknya jika kegagalan menimpa akan membuahkan keputusasaan. Sebagiannya tidak jarang pada akhirnya ia kembali kepada Allah untuk mengeluhkan semua persoalannya ketika sedang menemukan kesusahan. Bila sudah begini, mengapa tidak sedari awal melibatkan Allah?

Bagaimana cara melibatkan Allah? Yaitu dengan berdoa. Karena dengan berdoa, menunjukkan ketergantungan kita kepada Allah dan menunjukkan penyerahan diri secara total setelah melakukan upaya sebatas kemampuan kita. Berdoa juga mengharapkan sesuatu dari Allah. Kalau Allah sudah mau melibatkan diri-Nya di dalam kehidupan kita, tidak ada permasalahan kita yang tidak selesai. Sebuah doa dikabulkan oleh Allah di luar kadar kemanusiaan karena Allah sendiri Maha Kuasa atas segala hal.

Memang, kebanyakan manusia baru melirik kepada Allah, ketika dirinya sedang dalam kondisi terhimpit kesulitan yang luar biasa. Seperti yang Allah singgung dalam Surat Yunus ayat 22. Tapi hal itu tak mengapa. Karena seringkali Allah menunjukkan kuasa-Nya ketika kita dalam kondisi benar-benar butuh pertolongan.

“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu. Maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintahKu dan hendaklah mereka beriman kepadaKu agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”(QS Al-Baqarah: 186).

Apa yang membuat doa kita terkabul?

Agar doa kita dikabulkan oleh Allah, milikilah sifat sabar dan saleh. Sudah sepantasnya jika kita mengharapkan pertolongan Allah, kita harus bersabar. Karena kita tidak bisa memutuskan doa kita terkabul dalam waktu secepatnya, karena yang berhak mengabulkan suatu doa hanya Allah. Itu semua adalah kuasa Allah. Selain itu agar doa kita terkabul harus memperbanyak amal saleh, baik itu memperbaiki shalat dan menambah dengan shalat-shalat sunnah, memperbanyak berdzikir, memperbanyak sedekah, dan menggiatkan diri untuk shalat malam.

Bila seseorang ingin doanya terkabul, harus memiliki iman atau dengan kata lain percaya kepada Allah. Bila seseorang percaya kepada Allah, ia tidak akan mungkin mengambil jalan yang bukan jalan Allah untuk meraih apa yang diinginkannya. Seperti meminta bantuan kepada dukun, paranormal, dan adanya kekuatan lain selain kekuatan Allah.

Bila seseorang ingin agar doanya terkabul, hendaknya bersegera dalam mengerjakan perbuatan baik dan berdoa dengan sangat serius. Ketika kita benar-benar sedang membutuhkan Allah, carilah amalan perbuatan yang membuat Allah melihat kita pantas untuk ditolong. Dan bersegeralah, jangan lagi ditunda-tunda. Makin besar amal saleh yang bisa dilakukan, akan semakin besar pertolongan Allah datang. Semakin cepat sebuah amal saleh dilakukan, semakin cepat pula sebuah doa dikabulkan. Wallahu 'alam bishowab

by. Mochamad Subecha - Founder MojokertoCyber Media


Rumus Melibatkan Allah Dalam Bernisnis


Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

Barangsiapa yang membantu menghilangkan satu kesedihan (kesusahan) dari sebagian banyak kesusahan orang mukmin ketika didunia maka Allah akan menghilangkan satu kesusahan (kesedihan) dari sekian banyak kesusahan dirinya pada hari kiamat kelak.

Dan barangsiapa yang memberikan kemudahan (membantu) kepada orang yang kesusahan, niscaya Allah akan membantu memudahkan urusannya didunia dan di akhirat.

Dan barangsiapa yang menutup aib orang muslim , niscaya Allah akan menutup aibnya dunia dan akhirat.

Sesungguhnya Allah akan selalu menolong seorang hamba selama dia gemar menolong saudaranya. (HR. Muslim)

Di tengah acara sebuah komunitas wirausaha Muslim terjadi sebuah dialog untuk membangun dan mencari solusi ekonomi ummat, banyak hal yang dibahas tentang bagaimana membuka peluang usaha dan perlunya bersaing secara profesional dengan para pengusaha 'non Muslim' yang saat ini begitu menguasai perekonomian negeri ini, diskusi lama lama terkesan sangat teoritis, dan beberapa dari mereka terjebak kearah materialistik cara pandangnya, padahal semua yang hadir adalah kaum muslimin juga, tapi ternyata kami semua lupa, bahwa yang hadir tersebut memiliki warisan yang tak ternilai harganya. Ternyata umat Islam sudah memiliki rumusan dan standar usaha yang telah di bimbing oleh Rasul SAW dan dicontohkan oleh para sahabatnya ra, bimbingan yang sederhana, bimbingan yang sangat mendarat dan manusiawi, penuh fitrah, penuh sunnatullah, dan di-support dengan janji Allah. Allah melibatkan diriNYa atas janjiNya.

Berdasarkan hadis shahih di atas, mari kita urai dan tinjau agar mendapatkan makna dan rumusan agar urusan ujian manusia maupun bisnis muslim ini dapat melibatkan dan tertolong oleh bantuan Allah, sebagai berikut :

“Barangsiapa yang membantu menghilangkan satu kesedihan (kesusahan) dari sebagian banyak kesusahan orang mukmin ketika didunia maka Allah akan menghilangkan satu kesusahan (kesedihan) dari sekian banyak kesusahan dirinya pada hari kiamat kelak”

Siapa sih manusia yang tidak mengalami ujian dan cobaan dalam kehidupannya. Apalagi dalam menjalankan bisnis, ujian naik turun itu menjadi suatu hal yang berulang terjadinya. Ketahuilah setiap hamba Allah pasti mengalami masalah, mengalami kedukaan maupun kesukacitaan , tidak ada satupun yang terlepas dari seleksi Allah. Ujian dan cobaan kepada hamba Allah tersebut untuk menguji siapa yang lebih baik amalnya.

Justru menurut hadist di atas, dan itu adalah sunnah Allah, dikala kita mengalami kesulitan dan kesusahan dalam menghadapi ujian kehidupan, dan kita berharap sekali untuk diangkat kesulitan oleh Allah, justru salah satu solusinya adalah dengan membantu dan menyelesaikan kesusahan hamba yang lain. konsep ini sangat sulit dipahami dengan ilmu keduniaan, apalagi ilmu matematis. tapi inilah hukum Allah, inilah sunnatuLlah. inilah cara agar Allah terlibat! Mulailah dengan cara ini, niscaya permasalahan perekonomian umat akan tuntas.

Ingatlah sebuah contoh nyata yang pernah diabadikan dalam kisah sahabat Abdurrahman bin Auf ra dengan dipersaudarakan Saad bin Rabi ra dari Madinah.

Berkatalah Saad kepada Abdurrahman, Wahai saudaraku, aku adalah penduduk madinah yang kaya raya. Silahkan pilih separuh hartaku dan ambillah, dan aku mempunyai dua isteri, pilihlah salah satu yang menurut anda lebih menarik,dan akan aku ceraikan dia supaya anda bisa memperisterinya.

Jawab Abdurrahman bin Auf, “Semoga Allah memberkati anda, isteri anda dan harta anda. Tunjukkanlah jalan menuju pasar.”

Kemudian abdurrahman menuju pasar, membeli, berdagang dan mendapat untung besar, ketahuilah Allah terlibat! Allah berkahi saling tolong menolong tersebut, saling mendahulukan kepentingan saudaranya.

Pada suatu hari ia mendengar Rasulullah SAW, “Wahai Ibnu Auf, anda termasuk golongan orang kaya, dan anda akan masuk surga secara perlahan lahan. Pinjamkanlah kekayaan itu kepada Allah, pasti Allah mempermudah jalan anda,” semenjak ia mendengar nasehat Rasulullah Saw tersebut, ia mengadakan pinjaman yang baik, maka Allah pun memberi ganjaran padanya dengan berlipatganda.

Ibnu Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Sebagai buktinya, ia tidak mau celaka dengan menyimpannya. Ia mengumpulkannya dengan santai dan dari jalan yang halal, tetapi ia tidak menikmati sendirian, keluarga, kerabat saudara dan masyarakat pun ikut menikmatinya. Karena begitu luas pemberian serta pertolongannya, orang orang madinah pernah berkata: "seluruh penduduk madinah berserikat (menjalin usaha) dengan Abdurrahman bin Auf pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya kepada mereka, sepertiganya digunakan untuk membayar hutang hutang mereka, dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi bagikan kepada mereka."

Mereka saling mendahulukan kepentingan saudaranya, Allah bukakan keberkahan, Allah bukakan peluang menguasai ekonomi ummat, Pasar Madinah yang tadinya dikuasai yahudi berpindah ke tangan muslimin, berawal dari sikap tolong-menolong (ta'awun) sesama muslimin, bermula dari saling memecahkan masalah saudaranya, menjadi penguasa ekonomi saat itu, inilah hukum Allah, inilah sunnatullah.

Inilah cara melibatkan Allah... bukan dengan cara bersaing dengan pebisnis non-muslim melalui sistem yang dibuat oleh non-muslim juga, MUSTAHIL akan tampil. Bila ingin ummat ini kembali lagi menuju kejayaannya tidak pernah terjadi dan unggul melalui sistem buatan manusia. Kalau mau tampil harus kembali bersandarkan kepada SunnatuLLah dan Sunnah RasulNya.

Pembahasan ini membuat terhenyak para wirausaha yang hadir, diskusi terhenti dan terhenyak diam, ...semoga para peserta diskusi berfikir ulang dan mulai menapak tilas sunnah yang pernah dilakukan untuk membenahi kekuatan ekonomi ummat... Tolonglah sudaramu yang sedang kesulitan.... ini adalah langkah awal menuju kejayaan. (MM)


by. Era Muslim

Selasa, 21 Juni 2011

Menggapai Derajat Siddiqin

بسم الله الرحمن الرحيم

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا (رواه البخاري)

Dari Abdullah bin Mas’ud ra, dari Nabi Muhammad SAW bahwasanya beliau bersabda. ‘Sesungguhnya sidiq itu membawa pada kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan pada surga. Dan seseorang beperilaku sidiq, hingga ia dikatakan sebagai seorang yang siddiq. Sementara kedustaan akan membawa pada keburukan, dan keburukan akan mengantarkan pada api neraka. Dan seseorang berperilaku dusta, hingga ia dikatakan sebagai pendusta. (HR. Bukhari)

Sekilas Tentang Hadits.
Hadits ini dengan jalur sanad merupakan hadits shahih yang diriwayatkan oleh seluruh A’immah Ashab Kutub Al-Sittah, kecuali imam Nasa’i :

- Imam Bukhari meriwayatkan dari jalur sanad Jarir bin Mansur, dari Abi Wa’il, dari Abdullah bin Mas’ud, dari Rasulullah SAW, dalam Shahihnya, Kitab Al-Adab, Bab Qoulullah Ta’ala Ya Ayyuhalladzina Amanu Ittaqullah Wakunu Ma’as Shadiqin, hadits no 6094.

- Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Birr Was Sillah Wal Adab, Bab Qabhul Kadzib Wa Husnus Shidq Wa Fadhluh, hadits no 2607.

- Imam Turmudzi dalam Sunannya, Kitab Al-Birr Was Sillah An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fis Sidqi Wal Kadzibi, hadits no. 1971, melalui jalur sanad A’masy, dari Syaqiq bin Salamah, dari Ibnu Mas’ud.

- Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Adab, bab Fi Attasydid Fil Kadzib, hadits no. 4989, melalui jalur sanad Al-A’masy, dari Abi Wa’il dari Ibnu Mas’ud.

- Imam Ibnu Majah dalam Muqaddimah di Sunannya, Bab Ijtinab Al-Bida’ Wal Jadl, hadits no 46, malalui jalur sanad Abu Ishaq, dari Abu Al-Ahwash, dari Abdullah bin Mas’ud.

- Imam Ahmad bin Hambal dalam Sunannya, pada Musnad Al-Muktisirn Minas Shahabah dalam Musnad Ibnu Mas’ud, hadits no 3631, 3719, & 4097.

Gambaran Umum Tentang Hadits

Hadits sederhana ini menggambarkan tentang adanya dua hakekat perberbedaan yang begitu jauh, sejauh perbedaan antara surga dan neraka. Hakekat pertama adalah mengenai assidq (kejujuran & kebenaran iman), yang digambarkan Rasullah saw sebagai pintu gerbang kebaikan yang akan mengantarkan seseorang ke surga. Sementara hakekat yang kedua adalah kedustaan (al-kadzb), yang merupakan pintu gerbang keburukan yang akan mengantarkan pelakunya ke dalam neraka.

Rasulullah SAW ketika menggambarkan kedua hal di atas, sekaligus mengaitkan juga dengan mashirah (kesudahan) dua sifat yang berbeda tadi, yaitu surga bagi yang shadiq serta neraka bagi yang kadzib. Faedahnya adalau untuk memberikan tadzkir yang medalam, serta tidak menjadikan dua hal tersebut sebagai masalah yang ringan. Karena secara tabi’at, manusia seringkali menganggap remeh keduanya. Sementara kesudahan dari kedua sifat di atas sangat jauh berbeda, sejauh perbedaan antara surga dan neraka.

Pada kedua sifat yang digambarkan Rasulullah SAW di atas, selalu diikuti dengan perilaku manusia terhadap kedua sifat tersebut, hingga manusia akan menjadi salah satu diantara keduanya; shadiq atau kadzib. Artinya, untuk dikatakan bahwa seseorang itu adalah shadiq misalnya, ia harus membuktikannya dengan perbuatannya sendiri, hingga ia dengan sendirinya akan mendapatkan “gelar” sifat tersebut. Sebaliknya, seseorang yang dikatakan sebagai pendusta, adalah hasil dari perilaku dan perbuatannya, yang akhirnya menjadikannya sebagai pendusta. Dalam kasus pertama, contoh yang paling kongkrit adalah Abu Bakar As-Shidiq. Karena Abu Bakar merupakan seorang sahabat Rasulullah SAW yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan para sahabat yang lain. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dalam syu’ab Iman dari Umar bin Khattab:

قَالَ عُمَرَ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، لَوْ وُزِنَ إِيْمَانُ أَبِيْ بَكْرٍ بِإِيْمَانِ أَهْلِ اْلأَرْضِ لَرَجَّحَ بِهِمْ
“Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat maka akan lebih berat keimanan Abu Bakar.” (Syu’abul Iman, bab al-Qaul fi ziyadatil Iman wa Naqshanih; I/69)

Bahkan Rasulullah SAW sendiri juga pernah memuji keislaman Abu Bakar, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayahnya; “Tiada aku mengajak seorang masuk Islam, tanpa ada hambatan, keraguan, tanpa mengemukakan pandangan dan alasan, hanya Abu Bakar lah. Ketika aku menyampaikan ajakan tersebut, dia langsung menerimanya tanpa ragu sedikitpun.”

Puncaknya adalah pada kejadian isra’ dan mi’raj, ketika seluruh manusia mendustai Rasulullah SAW. Namun Abu Bakar justru membenarkan kejadian tersebut. Al-Hakim meriwayatkan, “Pagi hari pada setelah peristiwa isra’ mi’raj kaum musyrikin mendatangi Abu Bakar seraya mengatakan, “Apakah kamu mempercayai sahabatmu (yaitu Rasulullah SAW) yang mengira bahwa ia telah melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis tadi malam?”. Abu Bakar balik bertanya, “Apa benar Muhammad mengatakan hal tersebut?”. Mereka menjawab, “benar”. Lalu Abu Bakar mengatakan, “Sungguh apa yang diakattannya itu benar. Dan aku akan membenarkannya pula, jika ia mengatakan lebih dari itu…” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak). Oleh karena itulah Abu Bakar mendapatkan julukan Assidiq. Gelar Assidiq ini merupakan pemberian dari Allah melalui lisan Rasulullah SAW, sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib. Dan jadilah sifat sidiq ini menjadi khas dimiliki oleh Abu Bakar, sebelum dimiliki oleh sahabat-sahabat yang lainnya. Dan hal ini menunjukkan bahwa sidiq merupakan sifat yang memiliki nilai tinggi di sisi Allah SWT.

Pengertian Assidq

Dari segi bahasa, sidiq berasal dari kata shadaqa yang memiliki beberapa arti yang satu sama lain saling melengkapi makna yang dikandungnya:

الصدق: من صدق – يصدق - صدقا

Lawan kata sidiq adalah kadzib (dusta). Diantara arti sidiq adalah: Benar, jujur/ dapat dipercaya, ikhlas, tulus, keutamaan, kebaikan, dan kesungguhan. Penulis melihat bahwa sidiq di sini lebih dekat dengan sebuah sikap pembenaran terhadap sesuatu yang datang dari Alah dan Rasulullah SAW yang berangkat dari rasa dan naluri keimanan yang mendalam. Contoh kisah Abu Bakar sebagai penguatnya. Karena beliau dapat membuktikan implementasi keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan membenarkan peristiwa isra’ dan mi’raj, diwaktu tiada orang yang mempercayai Rasulullah SAW. Artinya, sifat shidiq ini lebih dekat pada kebenaran implementasi keimanan seseorang dalam mengarungi kehidupan. Benarkah imannya, atau dustakah ia? Meskipun tidak salah juga ketika mengartikan shidq dengan kejujuran, sebagaimana lawan katanya yaitu al-kadzib dengan kedustaan.

Para ulama sendiri, ketika diminta komentarnya mengenai makna dari Shidiq, mereka memiliki beragam gambaran, diantaranya adalah sebagai berikut :

• Shidiq adalah menyempurnakan amal untuk Allah.
• Shidiq adalah kesesuaian dzahir (amal) dengan bathin (iman). Karena orang yang dusta adalah mereka yang dzahirnya lebih baik dari bathinnya.
• Shidiq adalah ungkapan yang haq, kendatipun memiliki resiko yang membayahakan dirinya.
• Shidiq adalah perkataan yang haq pada orang yang ditakuti dan diharapkan.

Sidiq Merupakan Hakekat Kebaikan

Sidiq merupakan hakekat kebaikan yang memiliki dimensi yang luas, karena mencakup segenap aspek keislaman. Hal ini tergambar jelas dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah 177:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya (bersifat sidiq) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Dalam ayat ini digambarkan dimensi yang dicakupi oleh sidiq yaittu meliputi keiamanan, menginfakkan harta yang dicintai, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji, bersabar dalam kesulitan dst. Oleh karena itulah, dalam ayat lain, Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bersama-sama orang yang sidiq: (QS.9 : 119)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (sidiq). ”

Membaca Hadits-hadits Tentang Sidiq

Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihinnya menyebutkan enam hadits dalam bab sidiq. Dari keenam hadits tersebut dapat disimpulkan hal-hal bwerikut:

1. Bahwa sidiq itu menuntun seseorang menuju kebaikan, dan kebaikan akan membawanya ke surga. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits berikut:

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ… (متفق عليه)
“Dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah SAW bersabda; ‘Sesungguhnya sidiq itu menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan membawanya ke dalam surga…’

2. Sementara itu lawan dari sidiq, yaitu kadzib meruapakan sumber dari keburukan:

وإن الكذب يهدي إلى الفجور، وإن الفجور يهدي إلى النار… (متفق عليه)
“Dan sesungguhnya kedustaan itu membawa kepada keburukan, dan keburukan itu membawa kepada api neraka.”

3. Sidiq merupakan ketenangan. Hal ini tergambar dari hadits Rasulullah SAW:

عَنْ أَبِي الْحَوْرَاءِ السَّعْديِّ قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حَفِظْتُ مِنْهُ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ (رواه الترمذي)
Dari Abu Haura' As-Sa'dy, aku berkata kepada Hasan bin Ali ra, apa yang kamu hafal dari hadits Rasulullah SAW? Beliau berkata, aku hafal hadits dari Rasulullah SAW: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kebenaran membawa pada ketengangan dan dusta itu membawa pada keragu-raguan.” (HR. Tirmidzi)

4. Sidiq merupakan perintah Rasulullah SAW. Hal ini dikatakan oleh Abu Sufyan ketika bertemu dengan raja Hirakleus:

عَنْ أَبِيْ سُفْيَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ هِرْقَلٌ فَمَاذَا يَأْمُرُكُمْ؟ قَالَ أَبُوْ سُفْيَانٌ، قُلْتُ يَقُوْلُ اعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَاتْرُكُوْا مَا يَقُوْلُ آبَاؤُكُمْ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَّةِ (متفق عليه)
“Apa yang dia perintahkan pada kalian?, Abu Sufyan menjawab, “Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan semua ajaran nenek moyang, mendirikan shalat, bersikap sidiq (jujur/ benar), sopan santun dan menyambung tali persaudaraan.”

5. Dengan sidiq seseorang akan mendapatkan pahala sesuatu yang dicita-citakannya, meskipun ia belum atau tidak dapat melakukan sesuatu yang menjadi cita-citanya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَنْ سَأَلَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ، وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ (رواه مسلم)
“Barang siapa yang meminta kesyahidan kepada Allah SWT dengan sidiq (sebenar-benarnya), maka Allah akan menempatkannya pada posisi syuhada’, meskipun ia meninggal di atas ranjangnya.”

6. Sidiq akan mengantarkan seseorang pada keberkahan dari Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengemukakan:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْبَيْعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبا مَحَقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا (متفق عليه)
“Penjual dan pembeli keduanya bebas belum terikat selagi mereka belum berpisah. Maka jika benar dan jelas kedua, diberkahi jual beli itu. Tetapi jika menyembunyikan dan berdusta maka terhapuspah berkah jual beli tersebut.”

Siddiqin dan Saddiqat akan mendapatkan ampunan dan pahala yang besar

Dalam al-Qur’an dengan sangat jelas Allah memuji orang yang sidiq, baik dari kaum mu’minin maupun mu’minah. Bahkan Allah menjanjikan kepada mereka mendapatkan ampunan dan pahala yang besar. Dalam surat al-Ahzab (QS. 33: 35) Allah mengatakan:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Derajat Siddiqin bersama Para Nabi, Syuhada’ dan Shalihin

Selain mendapatkan ampunan dan pahala yang besar, para siddiqin juga akan menempati posisi yang tinggi di sisi Allah kelak di akhirat. Mereka akan disatukan bersama para nabi dan orang-orang yang mati syahid, serta para shalihin. Allah berfirman: (QS. 4: 69)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

Posisi apakah yang paling mulia di akhirat kelak selain posisi para nabi dan syuhada’ serta orang-orang shaleh?. Hal ini menunjukkan betapa sidiq merupakan sifat yang sangat disukai Allah SWT. Jika tidak, tentu Allah tidak akan menjanjikan sesuatu yang sangat tinggi kepada mereka.

Sidiq Merupakan Sifat Para Nabi

Dalam al-Qur’an setidaknya Allah menyebutkan tiga nabi yang memiliki sifat siddiq ini. Yang pertama adalah Nabiullah Ibrahim as. Allah memujinya karena memiliki sifat ini: (QS. 19: 41)

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا
“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.”

Kemudian yang kedua adalah Nabiullah Idris as. Allah juga memujinya dalam al-Qur’an karena memiliki sifat sidiq. Allah berfirman: (QS. 19: 56)

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.”

Adapun yang ketiga adalah Nabiullah Yusuf as. Beliau membuktikan kebenaran keimanannya kepada Allah dengan menolak ajakan Zulaikha untuk berbuat zina, meskipun disertai dengan ancaman: Allah berfirman (QS. 12: 51):

قَالَ مَا خَطْبُكُنَّ إِذْ رَاوَدْتُنَّ يُوسُفَ عَنْ نَفْسِهِ قُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ مِنْ سُوءٍ قَالَتِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ اْلأَنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ
أَنَا رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
“Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" Mereka berkata: Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan daripadanya. Berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar."

Ciri-ciri Orang yang Sidiq

Orang yang sidiq memiliki beberapa ciri, diantara ciri-ciri mereka yang Allah gambarkan dalam al-Qur’an adalah:

1. Teguh dan tegar terhadap apa yang dicita-citakan (diyakininya). Allah SWT mencontohkan dalam al-Qur’an, orang-orang yang sidiq terhadap apa yang mereka janjikan (bai’atkan) kepada Allah: (QS. 33: 23)
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلاً
“Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati (membenarkan) apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya)”

2. Tidak ragu untuk berjihad dengan harta dan jiwa. Allah berfirman dalam al-Qur’an (QS. 49: 15)

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.”

3. Memiliki keimanan kepada Allah, Rasulullah SAW, berinfaq, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji dan sabar. (QS. 2: 177)

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

4. Memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam. Allah mengatakan dalam al-Qur’an, (QS. 3: 101)

وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“…barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus…”


Cara Mencapai Sifat Sidiq

Setelah kita melihat urgensitas sifat sidiq ini, maka setidaknya muncul dalam hati kita keinginan untuk melengkapi diri dengan sifat ini. Karena sifat ini benar-benar merupakan intisari dari kebaikan. Dan sifat ini pulalah yang dimiliki oleh sahabat yang paling dicintai Rasulullah SAW yaitu Abu Bakar Asidiq. Penulis melihat ada beberapa cara yang semoga dapat membantu menumbuhkan sifat ini:

1. Senantiasa memperbaharui keimanan dan keyakinan kita (baca; ketsiqahan) kepada Allah SWT. Karena pondasi dari sifat sidiq ini adalah kuatnya keyakinan kepada Allah.

2. Melatih diri untuk bersikap jujur diamana saja dan kapan saja serta kepada siapa saja. Karena kejujuran merupakan karakter mendasar sifat sidiq.

3. Melatih diri untuk senantiasa membenarkan sesuatu yang datang dari Allah (Al-Qur’an dan sunnah) , meskipun hal tersebut terkesan bertentangan dengan rasio. Karena kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. Sementara ijtihad manusia masih sangat memungkinkan adanya kesalahan.

4. Senantiasa melatih diri untuk komitmen dengan Islam dalam segala aspeknya; aqidah, ibadah, akhlaq dan syari’ah. Karena salah satu ciri siddiqin adalah memiliki komitmen yang tinggi terhadap Islam:

وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“…barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus…”

5. Sering mentadaburi ayat-ayat Allah, hadits-hadits Rasulullah SAW mengenai sifat sidiq. Karena mentadaburi ayat dan hadits juga merupakan cara tersendiri yang sangat membekas dalam jiwa manusia.

6. Senantiasa membuka-buka lembaran-lembaran sejarah kehidupan salafu shaleh, terutama pada sikap-sikap mereka yang menunjukkan kesiddiqannya.

7. Memperbanyak dzikir dan amalan-amalan sunnah. Karena dengan hal-hal tersebut akan menjadikan hati tenang dan tentram. Hati yang seperti ini akan mudah dihiasi sifat sidiq.

Yang kita hawatirkan adalah munculnya sifat kadzib, sebagai lawan dari sidiq dalam jiwa kita. Karena tabiat hati, jika tidak dihiasi dengan sifat yang positif, maka ia akan terisi dengan sifat negatifnya. Oleh karena itulah, marilah kita menjaga hati kita dengan menjauhi sifat munafiq dan kedustaan, yang dapat menjauhkan kita dari sifat sidiq. Untuk kemudian berusaha setahap demi setahap untuk menumbuhkan sifat sidiq, agar kita dapat bersama-sama dengan para nabi, syuhada’ dan shalihin di akhirat kelak. Amiin.

Wallahu A’lam.
By. Rikza Maulan, Lc. M.Ag.

Senin, 20 Juni 2011

Like Us, They Have Feelings Too!


Tidak gampang meyakinkan kebenaran kepada orang-orang selain Islam. Kita yang dibesarkan dalam keluarga Islam terkadang harus menyadari hal ini. Makanya, berat sekali tugas seorang da’i, yang mengajarkan tentang misi kebenaran Islam.

Jika pada zaman sekarang saja, kita sudah bisa rasakan betapa beratnya tugas mulia mengajarkan Islam ini. Apalagi pada zamannya Rasulullah SAW yang mendapatkan tantangan serta perlawanan begitu sengit!

Tugas kita hanya menyampaikan. Selebihnya, kita serahkan kepada Allah SWT Yang Maha Membuka hati hambaNya. Persoalan hidayah, kita serahkan kepadaNya. Hanya saja, tidak ada salahnya kita berkewajiban untuk membantu ‘menjemput’ hidayah ini. Guna melakukan semua tugas itu, saya berpendapat, tidak perlu harus menjadi seorang da’I besar sekelas Hamka, ataupun kiyai sekaliber KH Ahmad Dahlan. Apalagi imam masjid terkenal di Al Azhar-Cairo sana!

Sejumlah kiat yang saya lakukan adalah berdiskusi informal. Ketika berjalan bersama. Dalam kendaraan, dan lain-lain kesempatan. Lewat diskusi tidak resmi ini, kita akan berinteraksi. Cuman, guna melakukan hal yang satu ini, tidak bisa sembarangan. Perlu strategi. Ini dilakukan agar jangan sampai yang diajak diskusi merasa tersakiti, tersinggung, apalagi kemudian berubah menjadi musuh! Apabila yang terakhir ini terjadi, jangankan simpati, didekati saja tidak bakalan oleh orang-orang yang semula adalah teman, sahabat atau rekan kerja kita.

Saya senang mulai diskusi dengan mengangkat tema-tema umum. Misalnya, menyejajarkan pembicaraan tentang agama setingkat dengan diskusi tentang ilmu pengetahuan lainnya. Kalau kita bisa berbicara dan tarik-menarik pendapat tentang berbagai teori fisika atau kimia, kenapa prinsip yang sama tidak dilakukan dengan agama? Mengapa kita meski bias?

Langkah kedua, saya masuk ke pandangan umum soal kebenaran yang diajarkan oleh agama. Tanpa menyebutkan spesifik agama tertentu. Ini semua, sekali lagi dilakukan, agar yang diajak diskusi tidak merasa disudutkan, seolah-olah agamanya yang diserang. Apalagi bagi kami yang berada di negara Arab seperti Qatar temapt saya tinggal saat ini.

Yang perlu diperhatikan di sini adalah, reaksi lawan bicara kita. Harus kita perhatikan apakah dia tertarik atau tidak dengan pokok pembicaraan. Jika tidak, maka percuma. Lebih baik drop saja atau switch topic pembicaraan ke arah lain yang lebih diminati olehnya.

Kalaupun dia menanggapi sejumlah subtopic pembicaraan, jangan terlalu tergesa-gesa. Pemahaman butuh waktu. Harus pula bertahap. Saya mengalami hal ini agak sulit. Apalagi bagi orang yang tidak percaya kepada Tuhan (komunis). Terus terang alot!

Lain dari semua itu, yang tidak kalah pentingnya adalah sikap kita. Tunjukkan bahwa kita bersikap sebagaimana Islam mengajarkan kita. Dalam hal kasih sayang misalnya. Kita tunjukkan bahwa kita mampu bersikap adil, tanpa memandang latar belakang agama, suku, budaya, jenis kelamin, rupawan tidaknya, apalagi kekayaan. Jika kita atasan, perlakukan bawahan dengan bijak dan tidak ada pilih kasih. Siapa yang salah ditindak. Sebaliknya, yang benar harus dibela. Inilah basic ajaran yang amat penting. Perlakukan mereka sebagaimana kita sendiri. Karena, mereka juga manusia seperti kita, yang memiliki pikiran dan perasaan. Memiliki kepekaan juga rasa sakit.

Berdakwah tidak harus di atas mimbar kuliah ataupun di dalam masjid atau di rumah-rumah pengajian rutin. Berdakwah yang nyata bisa dikerjakan dengan praktis, lewat komunikasi dan aplikasi sehari-hari. Di rumah, pasar, jalanan hingga tempat kerja.

Saya percaya, jika ini yang kita kerjakan, dalam skala akbar, Islam tidak sekedar agama yang digembar-gemborkan besar serta pernah jaya pada zamannya. Sebaliknya, tanpa ba-bi-bu di sana sini, semua umat akan melihat dan merasakan, bahwa agama ini benar-benar memberikan rahmat bagi semua alam! Wallahu a’lam!

Doha, 15 June 2011

Oleh Syaifoel Hardy

Wajah Bercahaya


Tak biasanya sepulang menunaikan shalat maghrib di masjid bersama ayah dan kakaknya, putri kecilku menguak pintu tanpa mengucap salam. Tangisnya terdengar sejak masih di halaman. Ia langsung menghambur dan memeluk saya sambil mengadukan sesuatu. Sayangnya, apa yang ia sampaikan di sela tangisnya itu tak dapat saya dengar dengan jelas.

Air matanya menetes menembus kain mukena yang masih membalut tubuh saya yang baru saja usai mengajari putri bungsu menghapalkan sebuah doa. Bahunya naik turun seirama tangisnya. Saya elus-elus ia, berharap dapat menenangkan hatinya agar tangis itu segera reda.

Tak lama kemudian pangeran kecilku masuk sambil mengucap salam. Raut mukanya terlihat ikut prihatin dengan kesedihan yang dialami adiknya. Tanpa diminta ia langsung menjelaskan apa yang menyebabkan adiknya bersedih.

Ternyata usai shalat maghrib tadi, mereka mampir ke sebuah mini market. Ayahnya hendak membeli suatu keperluan. Saat itulah si putri kecil merengek meminta ayahnya membelikan suatu produk kecantikan yang disinyalir dapat membuat wajah seorang wanita bercahaya dan tampak lebih muda. Ia ingin menghadiahkannya pada saya. Namun, sang ayah tak mengabulkan keinginannya itu.

Geli bercampur haru mendengar tuturan pangeran kecil tentang penyebab tangis si putri nan penuh perhatian ini. Rupanya, ia terjerat iklan yang sering tayang saat kami menyimak berita televisi. Tetapi terlepas dari bicara tentang perangkap iklan, saya merasakan niat mulia si putri yang baru berusia 4,5 tahun itu. Betapa besar perhatiannya hingga mencari-cari produk kecantikan tersebut. Padahal anak seusia ia biasanya sibuk memilih mainan, makanan atau minuman kesukaan saat menyertai orangtua berbelanja, iya kan?

Tangisnya mulai mereda, sepertinya ia merasa lega ada yang membantu menyampaikan kesedihan hatinya. Sejenak saya lepaskan pelukannya, sekedar ingin menatap bola matanya. Sebuah senyuman saya sunggingkan disertai ucapan terimakasih atas perhatiannya itu lalu kembali saya dekap ia dengan sepenuh rasa sayang di hati.

Sesaat kemudian saya lirik suami, memberi tanda padanya agar menjelaskan mengapa keinginan gadis kecil itu tak dipenuhinya. Spontanitas ingin membela anak terasa lebih merajai hati saat itu, padahal belum mengetahui jawaban sang ayah yang menyebabkan perasaan si putri terluka (mungkinkah ini yang dinamakan bagian dari naluri seorang ibu?).

Setelah berdehem beberapa kali, suamiku menceritakan alasannya bahwa ia tak membawa dompet, hanya berbekal uang yang ada di saku baju kokonya saat mendadak mampir ke toko tersebut. Belum usai ia bertutur, si putri kecil kembali meradang, “tapi aku kan ingin beli barang itu,... biar wajah bunda bercahaya kalo pake itu, huhuhhu...” tangisnya pecah kembali.

Sama halnya dengan saya, suamiku tersenyum menanggapi protes si putri kecil, beberapa detik kemudian sambil menatap saya, ia berkata, “Bunda itu akan terlihat bercahaya cukup dengan air wudhu'.”

Sejenak saya tertegun, tak menyangka suamiku akan berkata demikian, meskipun dalam hati saya setuju dengan apa yang ia ucapkan, namun naluri ingin membela anak muncul kembali. Tanpa berpikir panjang, segera saya katakan, “ya itu memang benar, tapi...merawat wajah dengan produk-produk itu pun tak ada salahnya bukan?” Ia tak menjawab pertanyaan saya, hanya ada seulas senyum yang terkembang lalu pamit dan bergegas mengajak anak-anak keluar karena adzan isya telah berkumandang. Saya pun bersiap-siap mengajak putri bungsu untuk shalat berjamaah di rumah.

Usai shalat isya, pembicaraan mengenai wajah bercahaya itu kembali melintas. Wudhu'... wudhu'...wudhu'... kata itu serasa menggema di hati dan memenuhi kepala. Saya rasa sewaktu belajar tata cara berwudhu' saat masa kecil, guru agama pernah mengajarkan keutamaan wudhu' ini, akan tetapi saya tak ingat persisnya. Segera saya beranjak untuk mencari tahu lagi tentang hal tersebut, perlahan saya baca beberapa sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam...

Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat nanti dalam keadaan dahi, kedua tangan dan kaki mereka bercahaya, karena bekas wudhu’.” (HR. Al Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246)

Dapat dipastikan tak ada satu produk kecantikan pun yang mampu menandingi cahaya yang terpancar dari wajah orang-orang yang terjaga wudhu'nya. Karena cahaya dari air wudhu tak hanya dirasakan di dunia tapi di hari kiamat pun mereka akan mudah dikenali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, “Bagaimana engkau mengenali umatmu setelah sepeninggalmu, wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tahukah kalian bila seseorang memilki kuda yang berwarna putih pada dahi dan kakinya diantara kuda-kuda yang yang berwarna hitam yang tidak ada warna selainnya, bukankah dia akan mengenali kudanya? Para shahabat menjawab: “Tentu wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata: “Mereka (umatku) nanti akan datang dalam keadaan bercahaya pada dahi dan kedua tangan dan kaki, karena bekas wudhu’ mereka.” (HR. Mslim no. 249)

Tak hanya partikel-partikel debu maupun noda polusi yang dapat dikikis dari wajah, wudhu' pun dapat melakukan sesuatu yang tak dapat dilakukan oleh produk kecantikan manapun untuk dapat membasuh hal yang tak pernah luput dari manusia seperti ditegaskan dalam hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dari sahabat Anas bin Malik: “Setiap anak cucu Adam pasti selalu melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik mereka yang melakukan kesalahan adalah yang selalu bertaubat kepada-Nya.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Ad Darimi)

Allah subhanahu wata’ala dengan rahmat-Nya yang amat luas, memberikan solusi yang mudah bagi kita untuk membersihkan diri dari noda-noda dosa, diantaranya dengan wudhu’. Hingga ketika seseorang selesai dari wudhu’ maka ia akan bersih dari noda-noda dosa tersebut.

Dari shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu’ kemudian mencuci wajahnya, maka akan keluar dari wajahnya tersebut setiap dosa pandangan yang dilakukan kedua matanya bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua tangannya, maka akan keluar setiap dosa yang dilakukan kedua tangannya tersebut bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua kaki, maka akan keluar setiap dosa yang disebabkan langkah kedua kakinya bersama air wudhu’ atau bersama tetesan akhir air wudhu’, hingga ia selesai dari wudhu’nya dalam keadaan suci dan bersih dari dosa-dosa.” (HR Muslim no. 244).

Selain itu, dengan selalu menjaga wudhu' seseorang akan memperoleh kebahagiaan yang tak bisa diberikan produk kecantikan manapun, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajatnya? Para shahabat berkata: “Tentu, wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ walaupun dalam kondisi sulit, memperbanyak jalan ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat, maka itulah yang disebut dengan ar ribath.” (HR. Muslim no. 251)

Siapa yang tak menginginkan wajah bercahaya yang mudah dikenali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Siapa yang tak ingin dosa-dosanya dihapus dan derajatnya dinaikan Allah subhanahu wata'ala? Saya yakin, semua umat Islam pasti menginginkannya, bukan?

Subhanallah! Kilauan mutiara hikmah dari kejadian usai shalat maghrib itu kini ada di hadapan mata...

by. Ineu