Kamis, 26 Januari 2012

Berdzikir dan Berdoa


Mereka yang cerdas secara ruhani menyadari bahwa doa mempunyai makna yang sangat mendalam bagi dirinya. Dengan berdoa, berarti ada rasa optimisme yang mendalam di hati dan masih memiliki semangat untuk melihat ke depan. Ada sesuatu yang dituju dan diharapkan. Sehingga, dengan kandung­an optimisme tersebut mereka lebih bergairah untuk menyatakan dirinya secara aktual dan lebih bertanggung jawab dalam perjalanannya meniti ombak samudera kehidupan yang penuh dengan godaan dan tantangan.

Mengingat doa merupakan bagian dari zikir, dan ’’zikir adalah keyakinan yang mendalam bahwa aku selalu dilihat oleh Tuhanku", maka dalam berdoa tersebut, mereka merasakan dirinya sedang beraudiensi dengan Tuhannya. Ia menghadapkan seluruh wajah batinnya kepada Allah dengan bersungguh-sungguh penuh rasa rendah hati dan rasa cemas tetapi sekaligus penuh harap. Dia yakin bahwa Allah tidak pernah akan memalingkan wajah-Nya dari hamba- hamba yang memohon dengan penuh kesungguhan menyatakan suara batin-nya dengan optimis. Dia sangat yakin bahwa Allah tidak pernah akan mengingkari janjinya untuk mengabulkan hamba-Nya yang berdoa. Allah tidak pernah mengenal kata jemu atau bosan untuk mendengarkan hamba yang menjerit meminta petunjuk-Nya. Karl Jasper mengatakan bahwa ’’Tuhan adalah satu-satunya yang tak kenal lelah untuk mendengarkan doa manusia" (God is the only one who does not grow tired of listening to man).

Allah berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu." (al- Mu`min: 60)

"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah hati dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Janganlah kamu berbuat kerusakan di mukabumi sesudah (Allah) mem­perbaikinya. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (al-A`raaf: 55-56)

Doa bukanlah perbuatan jasmani, tetapi ia lebih merupakan sebuah ungkapan ruhani dan sebuah pernyataan batin yang menjerit dan mengharap, sambil menghadapkan batinnya kepada Yang Maha Pemurah.

Rudolf Otto dalam bukunya yang terkenal, Das Heilige, memberikan indikasi terhadap orang yang berdoa atau beragama, dalam dua terminologi yaitu tremendum dan facsinans. Orang berhadapan dengan Tuhan dengan suasana takut (tremendum), tetapi juga ada perasaan sangat tertarik ( facsinans). Perkataan Rudolf Otto belum tepat sepenuhnya. Sebab, apabila doa dilakukan oleh orang-orang yang lebih tinggi tingkatan ruhaninya, maka bukan lagi perasaan takut yang dominan. Tetapi, justru perasaan cinta yang menguasai dirinya ketika dia menyatakan harapannya kepada Allah.

Dikatakan perbuatan ruhani dan bukan jasmani, karena pada saat berdoa, seluruh qalbu kita bergetar dan berbinar cahaya yang melangit, menyelusup di antara seluruh benda duniawi untuk mendapatkan hakikat Ilahi. Ada se­macam penghayatan yang sangat mendalam untuk menyimak dan ingin me­mahami lebih jauh tentang makna ayat-ayat atau iianda kekuasaan Ilahi, se­hingga seluruh qalbunya bergetar,

"Apabila disebut nama Allah, gemetarlah hatinya; dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal." (al-Anfaal: 2 )

Kesadaran yang otentik telah membangkitkan mata batinnya. Maka, seluruh dhamir atau urat syaraf qalbunya memberikan reaksi batiniah sehingga bergetarlah jiwanya. Dia tenggelam menyelusup di antara renda-renda cintanya kepada Ilahi. Sehingga, tidak jarang di antara mereka yang tersungkur dan menangis lalu melupakan seluruh keceriaan dunia canda, dan tawa. Karena, jauh di lubuk hatinya ada semacam ketukan misteri dan bisikan-jiwa amat mulia yang menggapai-gapai untuk menyadarkan dirinya bahwa betapa singkat-nya kehidupan, betapa sedikitnya bekal, betapa besamya dosa yang belum ditebusnya dengan amal saleh dirinya, dan teringatlah dia akan firman Allah,

"Hendaklah mereka sedikit tertawa dan lebih banyak menangis sebagai balasan dari apa yang mereka kerjakan."

Ucapan lidah di dalam berdoa bukanlah hakikat dari doa itu sendiri, karena doa merupakan esensi jiwa yang harus diucapkan dengan qalbu atau nurani yang paling mendalam, "Sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan hati dan rasa takut tanpa mengeraskan suara di waktu pagi dan petang. Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. " (al-A`raaf: 205)

Ayat ini mengingatkan agar pada saat berzikir, ada kesadaran diri bahwa ia sedang berhadapan dengan Yang Maha Mendengar. Sehingga, "tidak perlu dengan suara yang keras", karena suara yang keras memakai loudspeaker sambil melantunkan doa dan zikir kepada Allah menyebabkan terhalangnya cahaya qalbu yang ingin melangit karena masih dihalangi oleh yang duniawi atau jasad.

Mana mungkin kita bisa menghadap dengan sopan santun penuh hikmat, apabila mulut kita masih bicara dengan suara keras, padahal tepat di seluruh pori-pori tubuh dan lubuk hati, tampak Allah memandang dengan sangat tajam menusuk qalbu,

"Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tahannya dengan suara yang lembut." (Maryam: 3)

* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press

Mereka Memiliki Kualitas Sabar


Janganlah diartikan bahwa sabar adalah sebuah kondisi fatalisme, seakan- akan tidak mau berbuat apa-apa kecuali berdiam diri menyerah dan berputus asa. Sabar berarti terpatrinya sebuah harapan yang kuat untuk menggapai cita- cita (dalam bahasa Arab, asa dapat diartikan sebagai cita-cita atau harapan, sehingga orang yang putus asa berarti orang yang kehilangan harapan atau terputusnya cita-cita. Dalam kandungan kualitas sabar, terdapat sikap yang istiqamah (4 C: commitment, consistence, consequences, continous). Sabar berarti tidak bergeser dari jalan yang mereka tempuh. Sabar berkaitan pula dengan masa depan sebagaimana firmari-Nya,


"Bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar’’ (al- Mu’min: 55)

Janji Allah memberikan nuansa "waktu dan masa depan". Sehingga, sabar merupakan fungsi jiwa yang berkaitan sebanding dengan harapan waktu dan proses berikhtiar untuk menjadi nyata.

Sabar = f H ( W,I)



Sabar yang berarti menetapkan harapan (tujuan, perjumpaan, dan berjalan menggapai ridha Allah), hanya dapat terwujud apabila mampu "menenggang atau bertoleransi dengan waktu”. Bila Anda menanam benih padi, tentu saja tidak otomatis padi tersebut tumbuh. Melainkan harus dipelihara, dipupuk, dan dibersihkan dari segala hama yang mengancam. Kesabaran menanam benih, memelihara, lalu memetik dan menjualnya merupakan rangkaian usaha yang dalam manajemen dikenal sebagai profesional.

Kesabaran seorang petani tampak dari sikapnya. Sambil menunggu (faktor waktu) mereka terus bergiat, memelihara, dan bersiaga menghadapi segala macam tantangan, hama, cuaca, dan penderitaan serta rasa cemas. Ketika banjir melanda dan merusak tanamannya, itu tidak membuat mereka surut. Tetapi, selalu saja ada jalan keluar (creative) untuk memperbaikinya bahkan mencari alternatif-alternatif yang terbaik (ikhtiar).

Sabar berarti memiliki ketabahan dan daya yang sangat kuat untuk menerima beban, ujian, atau tantangan tanpa sedikit pun mengubah harapan untuk menuai hasil yang ditanamnya.

Rasulullah saw. bersabda,

"Bila Allah ingin memberikan kebaikan pada seseorang, maka Dia akan mengujinya.” (HR Bukhari)

"Sesungguhnya besarnya suatu pahala itu sesuai dengan besamya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka. Barangsiapa ridha, maka ia mendapatkan keridhaan-Nya; dan barangsiapa yang murka (tidak tahan uji), maka ia akan mendapatkan kemurkaan-Ny a.”(HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah memuji orang mukmin yang sabar,

"Sungguh menakjubkan orang mukmin itu, jika ditimpa ujian dia bersabar."
(HR Bukhari)

Mereka yang sabar akan menerima ujian sebagai tantangan. Baginya hal tersebut adalah sesuatu yang biasa atau memang demikianlah seharusnya. Dengan hati yang lapang dan antusias, ia merasakan penderitaan dengan senyuman. Kepedihan hanyalah sebuah selingan dari sebuah perjalanan. Bukankah tidak selamanya jalan yang ditempuh itu tnulus dan indah. Terkadang harus mendaki dan penuh tantangan atau ujian Itulah sebabnya, Allah memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang tabah dalam perjalanan,

"Orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan."
(al-Baqarah: 177)

"(Yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka. Orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka.”
(al-Hajj: 35)

"Sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar.” (an-Nahl: 110)

"Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu."(Muhammad: 31)

Dalam wacana pengembangan diri, sabar dapat disetarakan dengan kecerdasan emosional (emotional intelligence), yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dalam menghadapi berbagai tekanan (stressor).


* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press