Selasa, 24 Agustus 2010

Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’


Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”

Beliau melanjutkan,

“Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya. Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama. Dan setiap kali meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakan dirinya. Ini semua adalah ujian dan cobaan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah sebagian kelompok, dan sebagian kelompok yang lain akan binasa. Begitu pula halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti kekuasaan, pemerintahan, dan harta benda. Allah ta’ala menceritakan ucapan Sulaiman tatkala melihat singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya (yang artinya), “Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah justru kufur.” (QS. An Naml : 40).”

Kembali beliau memaparkan,

“Maka pada hakekatnya berbagai kenikmatan itu adalah cobaan dan ujian dari Allah yang dengan hal itu akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima kasih dengan bukti kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat. Sebagaimana halnya berbagai bentuk musibah juga menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu artinya Allah menguji dengan berbagai bentuk kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji manusia dengan berbagai musibah yang menimpanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakan kedudukannya dan mencurahkan nikmat (dunia) kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan diriku.’ Dan apabila Rabbnya mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata, ‘Rabbku telah menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (QS. Al Fajr : 15-17). Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezkinya) dan Aku muliakan kedudukan (dunia)-nya serta Kucurahkan nikmat (duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di sisi-Ku. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan musibah kepadanya itu berarti Aku menghinakan dirinya.” (Al Fawa’id, hal. 149).

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Munafik, Orang Penuh Rekayasa

oleh Aa Gym

Tanda orang munafik ada tiga, apabila seseorang diberi amanat, ia khianat; apabila berbicara, ia dusta; apabila berjanji, ia tidak menepatinya; dan apabila berdebat, ia akan berbuat curang. (HR. Mutafaq’alaih)

Sesungguhnya orang munafik adalah orang yang penuh dengan kepalsuan, penuh dengan rekayasa dan lebih sibuk membangun topeng. Sedangkan seorang mukmin hidupnya asli, tidak ada rekayasa, karena semua kebohongan itu tidak diperlukan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Allah tidak memerlukan kepalsuan itu. Allah yang Maha Memiliki segalanya. Seorang mukmin seyogyanya bersih perbuatanya. Tidak terlalu banyak memikirkan pandangan orang lain, yang terpenting dalam pandangan Allah saja. Hidupnya apa adanya.

Orang munafik itu berbahaya, karena ia sesungguhnya orang musyrik hatinya, tapi lahiriahnya menampilkan orang beriman, seperti Abdullah bin Ubay. Orang munafik pun bisa dilihat dari perilakunya sehari-hari. Semua perbuatannya mencerminkan tidak ingin dekat dengan Allah, tidak memakai hati, melainkan agar dinilai orang lain. Sebisa mungkin orang munafik akan berusaha keras untuk benar-benar dengan akal-akalan melakukan apa pun di hadapan orang lain, seperti ingin berwibawa. Sehingga selama ia berbicara dan berbuat, fokusnya hanya untuk mengatur kewibawaannya, tidak melihat hati.

Orang munafik ketika berkata seringkali ditambah-tambah dengan kebohongan. Tidak sesuai antara keterangan dan kenyataannya. Bahkan beda antara mulut dan hatinya. Ia tidak bisa dipegang pembicaraannya. Dia berjanji bukan berniat akan ditepati, melainkan untuk keinginan sesuatu dari orang lain. Bagi yang berniat menepati janji, ketika berjanji berarti ia mengunci untuk ditagih yang membuatnya, sedangkan bagi orang munafik, janjinya untuk sekadar agar orang lain percaya atau senang padanya. Makanya ia mudah mengeluarkan janji-janjinya. Dalam hal amanah ia tidak mempedulikan amanah dari Allah, melainkan lebih mengutamakan gayanya daripada hakikat dari amanah yang dipikulnya.

Dalam aspek ibadah pun seorang munafik bisa terdeteksi. Dalam berdoa misalnya, mulut berdoa tapi hati tidak. Benarkah hatinya ingin mendekat kepada Allah? Allah mengetahui semua kebohongan itu, Allah tidak bisa di bohongi. Karena Allah mengetahui lubuk hati terdalam. Apakah ingin diketahui, dilihat, ataukah diperlakukan spesial.

Keinginan-keinginan tersebut semestinya lepas dari makhluk, barulah akan tenang hati ini. Kita tidak memerlukan pengakuan orang, yang penting Allah saja. Jangan sampai kita menggunakan nama Allah untuk komoditas agar terlihat shaleh. Sekilas mungkin orang akan terkecoh oleh kepalsuan, sedangkan Allah tidak bisa dikelabui, tetapi Allah Maha Mengetahui.

Sesungguhnya Dia mengetahui perkataan (yang kamu ucapkan) dengan terang-terangan dan Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan. (QS Al-Anbiya:110)

Sesungguhnya segala perbuatan yang kita lakukan akan dihisab semuanya. Berbahagialah bagi siapa pun yang terbebas dari kemusyrikan dan kemunafikan. Sehalus apa pun bersih hidupnya. Maka dibuat nyaman hatinya oleh Allah. Lepasnya hati dari selain Allah. Lillaahi ta’ala.

Apa yang menyebabkan orang cenderung munafik? Karena hati kita cenderung musyrik, menganggap ada sesuatu selain Allah SWT yang bisa memberi manfaat dan mudharat. Yang bersih hatinya ia akan terbebas dari sifat kemunafikan. Akhlak jelek karena hatinya busuk, dan hati busuk karena tauhidnya buruk. Akhlak jadi bagus, tauhidnya pun harus bagus.

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (QS An-Nisaa : 142)

Allah tidak bisa dibohongi dengan cara apa pun, karena Dia mengetahui lubuk hati yang dalam. Hati ini harus lepas dari makhluk.

Dengan demikian, dari paparan di atas, orang munafik itu paling dibenci Allah SWT. Apalagi bila ilmu agamanya makin banyak sedangkan ia masih munafik, tentu kebencian Allah juga akan lebih daripada yang lainnya.


Inti Do'a

Inti Do'a

oleh Aa Gym

Do’a adalah ibadah yang bisa mengantarkan kita kepada kedekatan dengan Allah SWT. Ketika do’a diijabah, semestinya membuat kita sadar itu merupakan karunia Allah. Jika belum diijabah, maka do’a menjadi perisai dari berputus asa. Maka yang terpenting dari sebuah doa bukan doa itu sendiri, tapi suasana hati kita yang benar-benar memurnikan tauhid, dan kita menyadari betapa lemahnya kita, tanpa pertolongan-Nya mustahil kita mampu menjalani hidup ini. Seorang yang berdoa dengan baik adalah ia yang berhasil menemukan posisi yang paling tepat bagi seorang hamba, sebagaimana hal-hal berikut:

  1. Merasa lemah tiada daya dan upaya, hanya Allah tempat satu-satunya memohon Yang Maha Perkasa, yang akan mengijabah hajatnya, tiada yang lain.
  2. Merasa diri miskin tidak mempunyai apa pun, termasuk tidak memiliki diri ini. Sedangkan Allah SWT pemilik semua kekayaan.
  3. Merasa sangat membutuhkan Allah, tidak ada lagi yang bisa menolong selain Allah. Tidak pernah hati ini bercabang mengharap-harap kepada selain Allah SWT. Saat berdoa hati kita merasa tidak tahu, bodoh, tidak mengerti dan hanya Allah satu-satunya yang Maha Tahu jalan keluar, ilmu, rejeki, dan pertolongan orang lain tidak ada yang bisa menjadi jalan, tanpa ijin-Nya. Selanjutnya, mestinya hal itu bukan hanya pada waktu berdoa saja, melainkan menjadi bagian dari sikap hidup kesehariannya.

Ada orang yang merasa berkedudukan di sisi Allah. Seakan-akan ia sudah shaleh, suci dan mulia, gara-gara dia memakai penampilan agamis. Maka akan menjadi hijab/penghalang bagi dirinya kepada Allah. Semestinya diri ini merasa kotor dan hina.

“maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. QS An-Najm:32

Masalah doa bukan hanya masalah redaksi doanya. Karena ada yang membaca sekali diijabah dan yang membaca ribuan kali tidak saja diijabah. Mengapa hal demikian terjadi, tentu di antaranya hatinya masih belum bulat, ia masih bersandar pada selain Allah SWT.

Memang doa itu bisa mengubah dari takdir satu ke takdir yang lain. Allah-lah yang memiliki takdir. Namun ada catatan pula di Lauhul Mahfudz, bahwa bila dia berdoa dengna sepenuh keyakinan, maka aka nada catatan takdirnya, demikian pun bila lalai dalam do’anya, akan nada catatan takdir lainnya. Tidak ada yang luput dan baru, karena ada di Lauhul Mahfudz jauh sejak kita dilahirkan ke dunia. Tetap ada rangkaian takdirnya dengan detail di lauhul mahfudz. Namun tugas kita adalah berusaha.

Dengan demikian, yang terpenting bagi kita bukan terkabulnya doa, tapi dengan doa itu kita benar-benar menjadi hamba Allah. Perintah Allah adalah untuk menjadi mengabdi, bersih tauhid. berjiwa bulat hanya kepada Allah. Perkara dikasih, itu bonus, agar makin tambah keimanan kita. Perkara ijabah Allah Maha Kuasa. “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada diri-Ku.” (Hadis Qudsi). Maka berbaik sangka kepada Allah dengan kepatuhan, itu syaratnya.

Jangan ragukan dengan ijabahnya dari Allah atas do’a-do’a kita. Hal itu sudah janji Allah. Pasti diijabah, walau waktu, cara, bentuknya bisa tidak sesuai dengan yang dimohonkan.

Doa tidak ada yang disia-siakan Dari sebuah hadis disebutkan Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya doa dan musibah itu berada diantara langit dan bumi saling bertempur dan doa itu dapat mengalahkan musibah sebelum musibah itu turun.” (diriwayatkan Imam Atthabrani dalam kitab al-Ausath (2498).

Mana yang dapat mengalahkan, apa doa yang menang sehingga bisa menghindarkan musibah. Dengan memeriksa dosa-dosa diri dan menguatkan ibadah, maka itu menjadikan energi doa semakin besar. Yang paling penting juga dari unsur ibadah doa ini adalah melahirkan ketulusan dan silaturahmi.

Bagaimana keikhlasan itu? Allah Yang Maha Menyaksikan mengetahui persis keadaan setiap hambanya, dari mulai latar belakang keluarga, ilmu, lingkungan, lahirnya, karena Allah Yang menentukan. Allah Mengetahui persis.

Sementara, di antara manusia, ada yang diketahuinya hanya persoalan-persoalan duniawi belaka. Tatkala membutuhkan keperluan duniawinya, tetap ia memintanya hanya kepada Allah walaupun hanya untuk urusan dunia. Ia pun berhasil menaikan keimanannya dengan berlanjut kepada keyakinan bahwa ia tidak ragu terhadap jaminan Allah. Ia sudah naik lagi setahap menjadi orientasinya mengejar pahala Allah. Karena itu, ia menyukai segala hal yang terkait dengan pahala. Selanjutnya, ia pun semakin menyadari bahwa ia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah dengan mencari ridho-Nya.

Inti dari doa adalah benar-benar bisa menjadikan diri kita jadi hamba sejati, agar ngepas, kita sebagai hamba, Allah sebagai Tuhan. Doa itu ruhul ibadah. Bila seseorang rajin berdoa hatinya menjadi kerut, terasa hamba yang tidak punya apa-apa, bodoh; memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa, satu-satunya yang bisa menolong, dan makin bulat makin lumpuh kepada Allah SWT, itulah saat-saat terbaik berdoa kepada Allah. Sebaliknya, jika hati tidak merasa makin mengkerut, la haula quwwata illa billah, maka tidak akan diperoleh tujuan dari ibadah doa itu sendiri.


Kamis, 19 Agustus 2010

Menyikapi Sebuah Musibah


Oleh Endang TS Amir


Dua hari yang lalu, ba’da Maghrib, sepulang dari bekerja, masih dengan tas yang melingkar di bahunya, suamiku berkata,”Mi, kena musibah!”

“Kenapa?” tanyaku penasaran
“Laptop hilang!” jawab suamiku
“Innaa Lillaahi…gimana ceritanya?”

Kemudian, mengalirlah dari mulut suamiku, kronologis kejadian. Ia mampir untuk shalat sekaligus berbuka di sebuah masjid di daerah warung buncit ketika menuju ke rumah. Ketika hendak shalat, disandarkan tasnya yang berisi laptop di dinding mesjid sebelah kiri di area shalat. Ia shalat dengan posisi sejajar dengan tasnya. Usai shalat, dilihatnya posisi tas sudah berubah dengan resleting yang telah terbuka, dan dilihatnya laptopnya sudah tidak ada.

“Jadi, gimana dong?” Tanya si sulung yang berusia 6 tahun, yang ikut antusias mendengar cerita Abinya.
“Ya, nggak gimana-gimana, khan sudah hilang!” jawab suamiku
“Insya Allah, Allah akan ganti dengan yang lebih baik.” Jawabku
“Jadi, nanti Abi dapet laptop yang lebih bagus lagi?” tanyanya kemudian

Belum sempat kami jawab, anak kami yang kedua bertanya,” Abi, laptop Abi nggak ada?”
“Nggak, diambil orang!” jawab Suamiku
“Kenapa diambil sama orang?” Tanya anakku lagi
“Mungkin orang yang ngambil, nggak punya laptop, atau nggak punya uang.”

Aku beranjak ke dapur untuk menyiapkan makanan. Abinya anak-anak masih “berdiskusi” dengan anak-anak tentang “musibah” yang baru saja dialaminya. Ku dengar suamiku berkata kepada anak-anak agar sebaiknya mendo’akan orang yang mengambil laptop itu agar diberi hidayah oleh Allah.

….

Para ulama mendefinisikan musibah sebagai “segala apa yang tidak disukai yang terjadi pada manusia”. Musibah, sekecil apapun tidak akan terjadi kecuali dengan izin Allah. Karena Allah berfirman dalam Q.S At-Taghabun : 11, “Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Karenanya, musibah apapun yang menimpa kita, harus disikapi dengan cara yang benar. Musibah, apapun bentuknya, adalah bagian dari ketetapanNya. Yang harus kita lakukan adalah tetap berprasangka baik kepada Allah dan yakin bahwa Allah Swt TIDAK AKAN PERNAH berkehendak buruk kepada hamba-hambaNya.

Islam mensyariatkan kepada umatnya apabila tertimpa musibah, baik besar maupun kecil untuk ber-istirjaa’- pernyataan kembali kepada Allah, yaitu mengucapkan “Innaa Lillaahi wa Innaa illaihi raaji’uun” yang artinya “Sesungguhnya kami milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kami kembali.”

Kalimat ini, memiliki makna teologis yang mendalam. Kalimat ini menyiratkan ketauhidan, bahwa kita milik Allah dan segala sesuatu adalah milikNya. Karenanya, sesungguhnya kita tidak akan pernah kehilangan, karena kita tidak pernah memiliki. Jadi, sebuah kehilangan, bukanlah kehilangan, tapi kembali kepada Sang Pemilik. Jika Sang Pemilik masih berkehendak, sesuatu yang hilang itu “diamanahkan” kepada kita, bagaimanapun caranya Insya Allah akan kembali. Jika tidak, Insya Allah ada banyak hikmah dibalik segala bentuk kehilangan.

Hikmah yang paling besar adalah peluang terhapusnya dosa asbab musibah yang menimpa kita, jika diterima dengan ikhlas dan sabar. Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang muslim ditimpa suatu rasa sakit dengan duri atau apa saja, kecuali Allah menggugurkan dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daun.” (HR. Bukhari)

Maka, kata syeikh Islam Ibnu Taimmiyah, bencana-bencana yang menimpa manusia adalah kenikmatan, karena terhapusnya dosa dan kesalahan asbab musibah yang menimpa adalah kenikmatan yang besar. Dan Allahpun berfirman,”…Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila tertimpa musibah, mereka berkata “Innaa Lillaahi wa Innaa illaihi raaji’uun” (Sesungguhnya kami milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S Al-Baqoroh : 155-157).

Jadi ada 3 hal yang dijanjikan Allah kepada hamba-hambaNya, bilamana tertimpa musibah kemudian bersabar; Allah akan memberi Ampunan, Rahmat dan PetunjukNya.

Di malam harinya, kulihat suamiku di pembaringan menatap langit-langit.
“Lagi mikir apa Abi?” tanyaku
“Mencari hikmah dari peristiwa tadi. Apakah ini teguran atas banyaknya kelalaian, apa pengingat atas kurangnya ibadah, atau petunjuk untuk sesuatu yang lebih baik.”
“Jika pikiran kita tertuju kepada materi, maka pola pikir kita sama dengan Ali (nama anak sulung kami), bahwa Allah akan memberi ganti yang lebih baik berupa laptop yang lebih bagus. Padahal kesempatan menuai pahala dari musibah ini, sesungguhnya merupakan pengganti yang lebih baik-karena pahala adalah investasi ukhrawi-“ lanjut suamiku.

Aku jadi ingat sebuah hadist dari Rasulullah,”Sungguh menakjubkan keadaan orang mukmin, karena semua keadaan baik baginya, dan itu tidak terjadi pada siapapun kecuali orang mukmin. Jika ia mendapat kelapangan dia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika dia ditimpa kesulitan dia bersabar, maka itupun baik baginya.” (HR. Muslim)

Mudah-mudahan, di bulan yang penuh berkah ini, Allah cucurkan RahmatNya kepada kita semua. Mudah-mudahn Allah menjadikan kita sebagai mukminin dan mukminat yang senantiasa berada dalam dua keadaan, yaitu bersyukur dalam kelapangan dan bersabar dalam kesulitan. Aamiin.

Wallahu’alam.

Kamis, 12 Agustus 2010

KUNCI menjadi WANITA SHOLEHAH yang SUKSES


Sahabat Hikmah....

Ada seorang wanita sukses dan sholehah bernama Salma.

Dia mempunyai keluarga yang sangat berbahagia dengan suami dan 4 orang anaknya.

Dia cantik berhiaskan jilbabnya, rajin beribadah dan berakhlak mulia.

Dia juga seorang pengusaha garmenn yg berhasil.

Dari keberhasilannya dia sudah membangun mesjid.

Dan panti asuhan dengan 150 anak yatim.

Dia tidak pernah terlihat sedih, bahkan ketika anak bungsunya meninggal.

Ada seorang temannya bernama Zahrah yg selalu memperhatikannya dan bertanya kepadanya :

"Jeng, saya sangat kagum pada Kamu."

"Kamu itu sangat rajin ibadah, dari sholat wajib, baca Quran, puasa sunnah, sholat malam, sholat dhuha, selalu tersenyum ramah dan baik kepada setiap orang."

"Kamu juga mempunyai keluarga yang berbahagia, sabar memberi pelayanan kepada suami dan membimbing serta menyayangi anak-anakmu."

"Kamu juga seorang pengusaha yang sukses, bisa membangun mesjid dan mempunyai panti asuhan dengan biaya dari usahamu."

"Jeng....saya ingin seperti kamu, memakai jilbab, rajin ibadah, berakhlak mulia, punya keluarga yang sangat bahagia, dan sukses dalam usaha...."

"Bahkan waktu perusahaanmu dibobol maling dan anak bungsu kesayangan kamu meninggal...saya lihat kamu sangat tenang sekali."

"Kalau boleh tahu apa KUNCI dari semua itu Jeng?

Salma tersenyum mendengar penuturan dan pertanyaan Zahrah, kemudian menjawab :

"Zahrah sahabatku..... sebenarnya setiap manusia yang memahami dan mengakui ALLAH sebagai Tuhan harusnya bisa seperti itu..."

"Hanya kebanyakan manusia tidak memahami dan mengakui ALLAH sebagai Tuhan."

"Maksudnya Jeng?"

"Mereka tahu Allah adalah Tuhan Sang PENCIPTA, tapi kadang tidak memahami bahwa karena SEMUANYA adalah CIPTAAN Allah dan atas KUASANYA berarti SEMUANYA adalah MILIK Allah dan mereka tidak mengakuinya."

"Saya memakai jilbab...karena rambut saya BUKAN MILIK SAYA SENDIRI, tetapi MILIK Allah...dan Allah memerintahkan untuk menutupnya di depan orang yang bukan mahram."

"Saya sholat, puasa, haji, berusaha berbuat baik kepada semua orang...karena DIRI SAYA BUKAN MILIK DIRI SAYA SENDIRI...Sehingga saya bebas semau saya...tapi DIRI SAYA MILIK ALLAH...saya harus mengikuti semua aturan-aturan-Nya."

"Saya bersabar melayani suami saya dan mendidik dan menyayangi anak-anak saya walaupun saya sibuk dengan usaha saya...karena suami dan anak saya BUKAN MILIK SAYA...tetapi MILIK Allah yg diamanahkan kepada saya."

"Saya mempunyai usaha yang berhasil...bukan karena saya hebat...tetapi karena Allah telah membukakan pintu rizki untuk saya dan untuk karyawan-karyawan saya... dan itupun semuanya MILIK Allah..saya hanya diberi amanah saja."

"Dan saya mempunyai anak bungsu yang sangat saya sayangi...itupun MILIK Allah...saya tidak berhak menahannya waktu diambil oleh-Nya...karena itu BUKAN MILIK SAYA....dan Allah masih memberikan 3 anak yang lain serta PINJAMAN-PINJAMAN-NYA YANG LAIN....YANG SANGAT BANYAK..."

Zahrah termenung.....dan tak berasa butiran-butiran air matanya jatuh dan menangis sambil memeluk Salma.....

" Selama ini saya tahu Allah sebagai Tuhanku...tetapi saya tidak paham bahwa SEMUANYA ADALAH MILIKNYA......Kita tidak mempunyai apapun di dunia ini....dan saya sering TIDAK MENGAKUI bahwa Allah adalah PEMILIK SEGALANYA."

" Benar Zahrah .......dan kita berkewajiban mensyukuri semua nikmat PINJAMAN dari ALLAH. Allah berfirman dalam QS Ibrahim ayat 7 :

Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan : "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."

Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Raaji'un

"Sesungguhnya kita adalah milik Allah.....dan kita semuanya akan kembali kepadanya."



O.F.A

Mewaspadai Riya


Ramadan ini adalah latihan kita tidak hanya menahan lapar dan haus, itu merupakan standar keumuman yang lainnya. Apakah Allah SWT hanya mengawasi yang masuk ke mulut? Tentunya lintasan hati pun akan diawasi pula. Di bulan mulia ini, saat yang tepat kita lebih sungguh-sungguh mengawasi gerak-gerik hati kita, termasuk mewaspadai penyakit riya atau pamer.

Penyakit riya/pamer itu seperti semut hitam yang berjalan di atas batu hitam di dalam gelapnya hutan di kegelapan malam. Apabila tidak berhati-hati, kita akan melakukan perbuatan riya. Riya termasuk perbuatan syirik Ashghor (syirik kecil). Adakah orang yang ingin meminum susu murni, tapi dicampur dengan darah? pasti tidak ada yang mau. Seperti itulah penyakit hati bernama riya, hal yang dapat mencemari kemurnian.

Allah yang menciptakan dan mengurus kita, kita tinggal di bumi milik Allah, segala sesuatu yang kita butuhkan ada dalam genggaman Allah. Segala yang kita cemaskan, semuanya ada dalam genggaman kekuasaan Allah.

Mau apa mencari muka, pengakuan, penghargaan, di hadapan manusia, sedangkan manusia itu sendiri menumpang di bumi Allah, tidak memiliki apa-apa, dan apa yang diinginkannya pun tetap dari Allah. Jadi sejenis pengkhianatan, jika kita berharap pada selain Allah, padahal Allah yang memiliki, mencukupi, menjamin, segala hal dalam hidup kita. Tetapi kenapa hati kita berpaling dan berharap kepada makhluknya yang tidak bisa berbuat apa-apa?

Ada orang yang berbuat baik, namun berbeda dalam rasa dan hasilnya. Secara sederhana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: Ada orang berbuat baik karena ingin kelihatan baik; dan ada pula orang yang berbuat baik, karena memang harus baik karena Allah menyukai orang yang baik. Hal tersebut menjadi berbeda, kalau bagi orang yang pertama, yang bekerja adalah pikirannya. Ia terus berpikir mencari cara, bersiasat, supaya orang mengakuinya baik. Selama bebuat baik itu, bukan hati yang menjadi dasarnya, melainkan otak. Semuanya penuh rekayasa, padahal Allah tahu persis apa yang ada dalam hatinya, tidak bisa dibohongi. Orang yang riya ini selalu ada niat lain dalam setiap kebaikannya.

Sedangkan orang kedua berbeda. Jika bertemu dengan orang kedua ini, nyaman rasanya. Orang kedua ini dalam berbuat baik, yang sibuk itu bukanlah pikirannya, melainkan hatinya. Tidak ada di dalam pikirannya ingin dibalas. Nah, orang seperti inilah orang baik asli. Keikhlasannya melakukan kebaikan membuatnya nyaman dan orang lain pun dibuat nyaman bersamanya. Karena Allah lah yang membuatnya nyaman. Boleh jadi itu adalah hadiah dari Allah karena berusaha ikhlas. Sedangkan yang rekayasa Allah membuatnya tidak nyaman.Karena hati hanya penuh dengan kepalsuan rekayasa belaka.

Ada yang belajar ingin dekat dengan Allah, ia ingin mengetahui apa yang disukai oleh Allah. Walaupun nampak seperti kebenaran tapi jika itu palsu, hanya omongan belaka, Allah pasti tahu persis niatnya. Jadi tidak bisa bohong. Allah tidak membutuhkan banyak omongan yang palsu. Asli dari hati. Tidak perlu menceritakan kepada orang lain bahwa kita ingin dekat Allah. (Lihat QS Al Arof 29)

Dari segi mana pun keikhlasan itu menjadi kehidupan kita yang prioritas. Mau apa hati kita sibuk bergantung kepada selain Allah?

Ketika ditanya oleh sahabatnya, Rasul SAW berkata, “Iman itu ikhlas. Orang yang beriman itu adalah orang yang ikhlas. Makin kurang iman maka makin kurang ikhlas. Makin kurang ikhlas makin kurang iman. Walaupun sehebat apa pun mengatakan saya beriman, tapi bila ia amalnya tidak ikhlas, berarti ia punya tuhan-tuhan lain, sehingga amal-amalnya ditujukan kepada selain Allah.

Dalam berbicara, janganlah berlebihan. Tidak usah merekayasa nada yang tidak proporsional. Tidak perlu dengan gaya yang teatrikal. Kata kuncinya adalah proporsional. Semuanya alamiah. Tidak usah menjadi seorang pembicara yang ingin dikagumi. Cukup saja diterima oleh Allah. Allah SWT yang menguasai hati manusia. Bila ada yang mengagumi dan memuji itu ujian rejeki dari Allah. Haruslah tahu diri.

Orang yang riya dan ujub akan terasa oleh hati. Bagaikan teko, teko pasti selalu mengeluarkan isi yang ada di dalamnya. Berhati-hatilah dengan riya dan ujub, banyaklah bertaubat, banyak bertafakur. Periksa terus hati kita, jangan sampai ternodai oleh dosa riya ini. Karena setiap hari kita akan bisa terkontaminasi dengan riaya.

Rasulullah saw bersabda, Allah berfirman: Aku sekutu yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melaukan suatu amal, dan di dalamnya dia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, niscaya aku dan sekutunya akan Aku tinggalkan.

Rabu, 11 Agustus 2010

Ramadhan, Bulan Introspeksi Diri


Ramadhan, Bulan Introspeksi Diri

Segala pujian secara sempurna hanya milik Allah, Zat yang Maha Menguasai alam Semesta, Zat yang Maha Menguasai terang dan gelap, Zat yang Menguasai tiap-tiap saat, sungguh tiada satu detikpun kecuali milik Allah. Saudara-saudaraku sebuah terasi ada harga kalau jelas ciri dan baunya yang khas. Kita membuat terasi tetapi tidak memiliki ciri dan bau yang khas terasi, maka sungguh si terasi ini tidak akan ada harganya, walaupun ia diberi terasi. Begitu juga kita umat Islam, kenapa saat ini kita kurang dihargai?

Jawabannya, bisa jadi karena kita mengaku sebagai umat Islam tetapi tidak tampak ciri kita sebagai ummat Islam. Ciri akan selalu disertai dengan harga, karena kita tidak punya ciri maka jangan harap akan punya harga. Oleh karena itu, bulan Ramadhan yang saat ini kita jelang, marilah kita bersungguh-sungguh menampilkan ciri keislaman kita. Tentu saja ciri keislaman tidak identik dengan atribut penampilan yang luar, yang tidak terlalu pokok.

Berikut ini adalah beberapa ciri yang dianjurkan untuk kita lakukan di bulan Ramadhan.

Selama bulan Ramadhan ini hendaklah yang pertama umat Islam miliki adalah ciri keteladanan, "uswatun hasanah", keteladanan dalam kebaikan. Pancasila P4 gagal total di Indonesia walau telah menghabiskan biaya beratus milyar, begitu banyak waktu, begitu banyak tenaga, begitu banyak pikiran, diantara kunci penyebab kegagalannya adalah karena tidak ada keteladanan.

Masyarakat sulit mencontoh, siapa yang berjiwa P4 sebenarnya. Jadi andaikata kita bertanya mengapa keadaan rumah tangga, kantor, atau masyarakat belum sesuai dengan harapan. Pertanyaan pertama harus dilakukan pada diri kita sendiri, contoh apakah yang sudah kita perlihatkan sebagai seorang muslim. Sepatutnya sebagai seorang ayah atau ibu harus bertanya, "Saya memberi contoh apa kepada anak-anak ?"

Jangan terlebih dahulu menyalahkan anak. Bagaimana mungkin mengharapkan anak santun lembut sedangkan di rumah ibu bapak bersikap keras dan kasar? Bagaimana mungkin kita mengharapkan anak menjadi arif kalau kita sendiri di rumah seperti diktator? Bagaimana bisa mengharapkan anak rajin ke mesjid, sedangkan orangtuanya jarang beribadah?

Andaikata kita sebagai guru kita harus bertanya pada diri kita sendiri, contoh apa yang sudah kita berikan kepada murid-murid. Bagaimana murid tidak merokok kalau gurunya sendiri masih merokok? Bagaimana mungkin murid akan menemukan kemuliaan akhlak kalau sikap guru tidak indah? Bagaimana mungkin akan menjadi orang berprestasi, kalau gurunya tidak semangat dan hanya memberikan dengan apa adanya?

Andai kata kita sebagai pemimpin, pertanyaannya adalah suri tauladan apa yang saya tampilkan kepada anggota karyawan atau bawahan? Bagaimana mungkin karyawan akan disiplin kalau pemimpinnya tidak disiplin? Bagaimana karyawan akan hemat jika pemimpinnya bermewah-mewahan? Bagaimana mungkin karyawan akan memelihara dirinya kalau pemimpinnya arogan?

Rekan-rekan sekalian tidak hanya sebagai pribadi tetapi juga sebagai keluarga. Sebagai haji, contoh apa yang sudah kita peragakan dalam masyarakat? Sebagai ustadz memberi contoh apa kepada masyarakat. Ustadz dianggap ulama tetapi contoh apa yang sudah ditunjukkan kepada masyarakat? Sebagai aktifis masjid, memberi contoh apa?

Kegigihan untuk jujur kepada diri sendiri, ini yang akan membuat kita menemukan kekurangan yang bisa dijadikan program perbaikan pada diri sendiri. Dan kegigihan kita memperbaiki diri adalah upaya sebenarnya memperbaiki orang lain. Apa artinya memperbaiki orang lain sedangkan diri kita sendiri semakin terpuruk dalam keburukan. Suri tauladan adalah langkah strategis yang dicontohkan oleh Rasullullah SAW. di dalam membangun kemuliaan Islam. Ciri khas seorang muslim yang baik ,pribadinya harus selalu menjadi figur suri tauladan.Tauladan bagi kebaikan dalam skala apapun, dimanapun dan kapanpun.

Ramadhan harus menjadi bulan kebersihan. Karena sesungguhnya Allah mencintai kebersihan, "innallaha yuhibbu tawabi, wayuhibbu mutakabiriin", sesungguhnya Allah mencintai orang yang taubat dan orang yang bersih. Kita harus berjuang sangat keras untuk mengevaluasi gaya hidup bersih kita. Pakaian yang kotor tidak akan nyaman, gigi kotor tidak mungkin bisa nyaman, apapun yang kotor tidak akan membuat kita nyaman dan hidup kita indah.

Hakekatnya kotoran itu identik dengan kerendahan diri, namanya juga kotoran begitu pula kalau kita merasa tidak nyaman, terhina, rendah, bisa jadi karena kita belum bisa mencintai kebersihan, padahal bersih adalah prasyarat dari keindahan. Indah adalah sesuatu yang dicintai Allah SWT. Shalat saja diawali dengan bersih. Tanpa wudlu shalat tidak akan sah, wudlu itu bukan hanya membersihkan tetapi juga mensucikan.

Tidak akan diterima shalat, seperti Firman Allah dalam ayat AlQur\'an "Qad aflaha manzakkahaa. Waqod khaabaman dassaha" (QS: Asy-Syams 910). "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan jiwanya, dan sesungguhnya kerugian besar orang yang mengotorkannya." Sungguh yang bersih itulah yang akan membuat sukses, bahagia.

Oleh karena itu, Ramadhan ini adalah bulan bersih. Sekuat-kuatnya kita bersihkan dari yang lahir sampai yang batin. Pastikan Ramadhan ini kamar kita bersih, rumah kita bersih, kamar mandi bersih dari sampah, bersih dari barang-barang yang akan membuat ria, bersih dari barang milik orang lain, bersih dari barang yang tidak berguna. Karena kalau rumah sudah kotor dari banyak barang yang haram, barang yang ria, barang yg sia-sia, maka rumah itu tidak akan menyenangkan tidak akan barokah.

Begitu pula dengan harta kita mulai sekarang harus bersih, jangan sekali-kali tercemari oleh hak-hak yang tidak halal bagi kita. Harta yang bersih akan penuh barokah harta yang haram akan penuh fitnah, demikian pula aktivitas bekerja kita bersih pula dari kelicikan. Kita nikmati kejujuran, pandangan harus bersih sekuat-kuatnya jaga dari apa yang diharamkan oleh Allah agar bening dan nikmat hati ini.

Kata-kata kita pun harus bersih dari kekejian, bersih dari kata-kata yang jorok, bersih dari kata-kata mencela, menghina orang lain, bersih dari fitnah, pilihlah dari khazanah kata-kata yang ada, kata-kata terbaik. Tubuh kita pun harus bersih, pakaian harus bersih, mandi yang bersih, rambut yang bersih. Begitu pula dengan hati kita harus jaga hati ini, hindari buruk sangka sekuat-kuatnya dan berbaik sangka pada orang yang beriman. Perangilah kedengkian jangan sampai selama Ramadhan ini dilanda dengan kedengkian, kedendaman yang tidak diharapkan oleh Allah. Upayakanlah semuanya bersih lahir batin, harta benda bersih, pikiran bersih. Insya Allah akan menambah keberkahan Ramadhan ini.

Bulan Ramadhan ini adalah bulan kualitas. Karena ramadhan adalah bulan yang berkualitas diantara bulan-bulan yang lain. Hari-harinya adalah hari-hari berkualitas, berharga tinggi dihadapan Allah, jam demi jam maupun detik demi detik berharga sangat tinggi dihadapan Allah oleh karena itu tidak patut kita melakukan apapun kecuali yang sangat berharga. Jangan pernah kita berbicara kecuali dengan kata-kata yang berharga.

Jangan melihat kecuali yang berharga. Jangan mendengar kecuali suara-suara yang berharga. Jangan berpikir kecuali memikirkan yang berharga. Jangan pula melangkah kecuali kaki ini dilangkahkan ke tempat-tempat yang berharga dalam pandangan Allah. Cobalah lakukan segalanya dengan niat berharga hanya karena Allah semata. Sungguh bila kita mengisi Ramadhan ini dengan aneka amal ibadah seperti yang diuraikan di atas. Insya Allah dengan karunia Allah, di akhir Ramadhan tahun ini kita akan sebagai seekor kupu-kupu yang keluar dari kepompong dengan sangat indahnya, kepompong Ramadhan, Subhanallah.

Senin, 09 Agustus 2010

Belajar Dari Wajah



Menarik sekali jikalau kita terus menerus belajar tentang fenomena apapun yang terjadi dalam hiruk-pikuk kehidupan ini. Tidak ada salahnya kalau kita buat semacam target. Misalnya : hari ini kita belajar tentang wajah. Wajah? Ya, wajah. Karena masalah wajah bukan hanya masalah bentuknya, tapi yang utama adalah pancaran yang tersemburat dari si pemilik wajah tersebut.


Ketika pagi menyingsing, misalnya, tekadkan dalam diri : "Saya ingin tahu wajah yang paling menenteramkan hati itu seperti apa? Wajah yang paling menggelisahkan itu seperti bagaimana?" karena pastilah hari ini kita akan banyak bertemu dengan wajah orang per orang. Ya, karena setiap orang pastilah punya wajah. Wajah irtri, suami, anak, tetangga, teman sekantor, orang di perjalanan, dan lain sebagainya. Nah, ketika kita berjumpa dengan siapapun hari ini, marilah kita belajar ilmu tentang wajah.


Subhanallaah, pastilah kita akan bertemu dengan beraneka macam bentuk wajah. Dan, tiap wajah ternyata dampaknya berbeda-beda kepada kita. Ada yang menenteramkan, ada yang menyejukkan, ada yang menggelikan, ada yang menggelisahkan, dan ada pula yang menakutkan. Lho, kok menakutkan? Kenapa? Apa yang menakutkan karena bentuk hidungnya? Tentu saja tidak! Sebab ada yang hidungnya mungil tapi menenteramkan. Ada yang sorot matanya tajam menghunjam, tapi menyejukkan. Ada yang kulitnya hitam, tapi penuh wibawa.


Pernah suatu ketika berjumpa dengan seorang ulama dari Afrika di Masjidil Haram, subhanallaah, walaupun kulitnya tidak putih, tidak kuning, tetapi ketika memandang wajahnya... sejuk sekali! Senyumnya begitu tulus meresap ke relung qolbu yang paling dalam. Sungguh bagai disiram air sejuk menyegarkan di pagi hari. Ada pula seorang ulama yang tubuhnya mungil, dan diberi karunia kelumpuhan sejak kecil. Namanya Syekh Ahmad Yassin, pemimpin spiritual gerakan Intifadah, Palestina. Ia tidak punya daya, duduknya saja di atas kursi roda. Hanya kepalanya saja yang bergerak. Tapi, saat menatap wajahnya, terpancar kesejukan yang luar biasa. Padahal, beliau jauh dari ketampanan wajah sebagaimana yang dianggap rupawan dalam versi manusia. Tapi, ternyata dibalik kelumpuhannya itu beliau memendam ketenteraman batin yang begitu dahsyat, tergambar saat kita memandang sejuknya pancaran rona wajahnya.


Nah, saudaraku, kalau hari ini kita berhasil menemukan struktur wajah seseorang yang menenteramkan, maka caru tahulah kenapa dia sampai memiliki wajah yang menenteramkan seperti itu. Tentulah, benar-benar kita akan menaruh hormat. Betapa senyumannya yang tulus; pancaran wajahnya, nampak ingin sekali ia membahagiakan siapapun yang menatapnya. Dan sebaliknya, bagaimana kalau kita menatap wajah lain dengan sifat yang berlawanan; (maaf, bukan bermaksud meremehkan) ada pula yang wajahnya bengis, struktur katanya ketus, sorot matanya kejam, senyumannya sinis, dan sikapnya pun tidak ramah. Begitulah, wajah-wajah dari saudara-saudara kita yang lain, yang belum mendapat ilmu; bengis dan ketus. Dan ini pun perlu kita pelajari.


Ambillah kelebihan dari wajah yang menenteramkan, yang menyejukkan tadi menjadi bagian dari wajah kita, dan buang jauh-jauh raut wajah yang tidak ramah, tidak menenteramkan, dan yang tidak menyejukkan.


Tidak ada salahnya jika kita evalusi diri di depan cermin. Tanyalah; raut seperti apakah yang ada di wajah kita ini? Memang ada diantara hamba-hamba Allah yang bibirnya di desain agak berat ke bawah. Kadang-kadang menyangkanya dia kurang senyum, sinis, atau kurang ramah. Subhanallaah, bentuk seperti ini pun karunia Allah yang patut disyukuri dan bisa jadi ladang amal bagi siapapun yang memilikinya untuk berusaha senyum ramah lebih maksimal lagi.


Sedangkan bagi wajah yang untuk seulas senyum itu sudah ada, maka tinggal meningkatkan lagi kualitas senyum tersebut, yaitu untuk lebih ikhlas lagi. Karena senyum di wajah, bukan hanya persoalan menyangkut ujung bibir saja, tapi yang utama adalah, ingin tidak kita membahagiakan orang lain? Ingin tidak kita membuat di sekitar kita tercahayai? Nabi Muhammad SAW, memberikan perhatian yang luar biasa kepada setiap orang yang bertemu dengan beliau sehingga orang itu merasa puas. Kenapa puas? Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW – bila ada orang yang menyapanya – menganggap orang tersebut adalah orang yang paling utama di hadapan beliau. Sesuai kadar kemampuannya.


Walhasil, ketika Nabi SAW berbincang dengan siapapun, maka orang yang diajak berbincang ini senantiasa menjadi curahan perhatian. Tak heran bila cara memandang, cara bersikap, ternyata menjadi atribut kemuliaan yang beliau contohkan. Dan itu ternyata berpengaruh besar terhadap sikap dan perasaan orang yang diajak bicara.


Adapun kemuramdurjaan, ketidakenakkan, kegelisahan itu muncul ternyata diantara akibta kita belum menganggap orang yang ada dihadapan kita orang yang paling utama. Makanya, terkadang kita melihat seseorang itu hanya separuh mata, berbicara hanya separuh perhatian. Misalnya, ketika ada seseorang yang datang menghampiri, kita sapa orang itu sambil baca koran. Padahal, kalau kita sudah tidak mengutamakan orang lain, maka curahan kata-kata, cara memandang, cara bersikap, itu tidak akan punya daya sentuh. Tidak punya daya pancar yang kuat.


Orang karena itu, marilah kita berlatih diri meneliti wajah, tentu saja bukan maksud untuk meremehkan. Tapi, mengambil tauladan wajah yang baik, menghindari yang tidak baiknya, dan cari kuncinya kenapa sampai seperti itu? Lalu praktekkan dalam perilaku kita sehari-hari. Selain itu belajarlah untuk mengutamakan orang lain!


Mudah-mudahan kita dapat mengutamakan orang lain di hadapan kita, walaupun hanya beberapa menit, walaupun hanya beberapa detik, subhanallaah.***

Etika Berwirausaha


"… Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan janganla kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya." (QS. al-Maidah [5]: 2).

Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT suka kepada hamba yang berkarya dan terampil. Barang siapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka dia serupa dengan seorang mujahid fisabilillah." (HR Imam Ahmad).

Rasul adalah seorang entrepreunership atau wirausahawan. Mulai usia 8 tahun 2 bulan sudah mulai menggembalakan kambing. Pada usia 12 tahun berdagang sebagai kafilah ke negeri Syiria dan pada usia 25 tahun Rasul menikahi Khadijah dengan mahar 20 ekor unta muda. Ini menunjukan bahwa Rasul merupakan seorang wirausahawan yang sukses.

Jiwa wirausaha harus benar-benar ditanamkan dari kecil, karena kalau tidak maka potensi apa pun tidak bisa dibuat menjadi manfaat. Prinsip dari wirausahawan adalah memanfaatkan segala macam benda menjadi bermanfaat. Tidak ada kegagalan dalam berusaha, yang gagal yaitu yang tidak pernah mencoba berusaha.

Gagal merupakan informasi menuju sukses, keuntungan bukan hanya untung untuk diri sendiri tapi juga untuk orang lain. Kredibilitas diri kita adalah modal utama dalam berwirausaha, dengan menahan diri untuk tidak menikmati kebahagiaan orang lain sebagai keberuntungan kita. Jual beli bukan hanya transaksi uang dan barang, tapi jual beli harus dijadikan amal saleh yaitu dengan niat dan cara yang benar.

Uang yang tidak berkah tidak dapat memberi ketenangan, walau sebanyak apa pun akan tetap kurang dan membuat kita hina. Berjualan dengan akhlak yang mulia, pembeli tidak hanya mendapatkan barang tapi juga melihat kemuliaan akhlak seorang penjual.


Sumber : Cybrmq

Lidah adalah Amanah


Kualitas diri seseorang bisa diukur dari kemampuannya menjaga lidah. Orang-orang beriman tentu akan berhati-hati dalam menggunakan lidahnya. "Wahai orang-orang beriman takutlah kalian pada Allah dan berkatalah dengan kata-kata yang benar." (QS Al-Ahzab:70).

Sementara itu, Rasulullah saw bersabda, "Siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam". (HR Bukhari-Muslim).


Rasulullah adalah figur teladan yang sangat menjaga kata-katanya. Beliau berbicara, beruap, berdialog, juga berkhutbah di hadapan jamaah dengan akhlak. Demikian tinggi akhlak beliau hingga disebutkan bahwa kualitas akhlak beliau adalah Al-Quran. Mulut manusia itu seperti moncong teko. Moncong teko hanya mengeluarkan isi teko. Kalau ingin tahu isi teko, cukup lihat dari apa yang keluar dari moncong itu. Begitu pun jika kita ingin mengetahui kualitas diri seseorang, lihat saja dari apa yang sering dikeluarkan oleh mulutnya.


Nabi Muhammad saw termasuk orang yang sangat jarang berbicara. Namun, sekalinya berbicara, isi pembicaraannya bisa dipastikan kebenarannya. Bobot ucapan Rasulullah sangat tinggi, seolah tiap kata yang terucap adalah butir-butir mutiara yang cemerlang. Indah, berharga, bermutu, dan monumental. Ucapan Rasulullah saw menembus hati, menggugah kesadaran, menghujam dalam jiwa, dan mengubah perilaku orang (atas izin Allah). Bukan saja karena lisan Rasulullah dibimbing Allah dan posisinya sebagai penyampai wahyu, di mana ucapan-ucapan darinya menjadi dasar hukum. Lebih dari itu, Rasulullah sejak kecil sudah dikenal sebagai Al-Amin, tidak pernah berkata dusta walau sekali saja. Investasi moral ini tentu sangat mempengaruhi kualitas ucapannya.

Dalam sebuah kitab ada keterangan menarik. Disebutkan ada empat jenis manusia diukur dari kualitas pembicaraannya.

Pertama, orang yang berkualitas tinggi. Kalau dia berbicara, isinya sarat dengan hikmah, ide, gagasan, solusi, ilmu, dzikir, dan sebagainya. Orang seperti ini pembicaraannya bermanfaat bagi dirinya sendiri, juga bagi orang lain yang mendengarkan. Jika dia diajak berbicara sekalipun ngobrol, ujungnya adalah manfaat.


Ketika disodorkan padanya keluhan tentang krisis, dengan tangkas dia menjawab, "Krisis adalah peluang bagi kita untuk mengevaluasi kekurangan yang ada. Dengan krisis, siapa tahu kita akan lebih kreatif? Kita bisa mencari celah-celah peluang inovasi. Pokoknya jangan putus asa, semangat terus!" Siapa saja yang biasa berbicara tentang solusi, gagasan, hikmah, dan hal-hal serupa itu, insya Allah dia adalah manusia yang berkualitas.

Kedua, orang yang biasa-biasa saja. Ciri orang seperti ini adalah selalu sibuk menceritakan peristiwa. Melihat ada kereta api terguling, dia berkomentar ribut sekali. Seolah dirinya yang kelindes kereta. Ketika bertemu seorang artis, terus dicerita-ceritakan tiada henti. Pokoknya ada apa saja dikomentari. Dia seperti juru bicara yang wajib berkomentar kapan pun ada peristiwa. Tidak peduli peristiwa layak dia komentari atau tidak.

Ini tipe manusia tukang cerita peristiwa. Prinsip yang dia pegang: "Pokoknya bunyi!" Tidak ada masalah dengan peristiwa. Jika melalui itu semua kita bisa memungut hikmah yang sebaik-baiknya, insya Allah peristiwa bermanfaat. Namun, jika dari peristiwa-peristiwa itu tidak ada yang dituju kecuali menunggu sampai mulut lelah sendiri, ini tentu kesia-siaan.

Ketiga, orang rendahan. Cirinya kalau berbicara isinya hanya mengeluh, mencela, atau menghina. Apa saja bisa jadi bahan keluhan. "Aduuuh ini pinggang, kenapa jadi sakit begini. Hari ini kayak-nya banyak masalah, nih!" Ketika kepadanya disodorkan makanan, jurus keluhannya segera berhamburan. "Makanan kok dingin begini? Coba kalau ada sambel, tentu lebih nikmat. Aduuuh, kerupuk ini, kenapa kecil-kecil begini?" Terus saja makanan dikeluhkan, walau kenyataannya semua akhirnya habis juga.


Mengeluh dan mencela, itu hari-hari orang rendahan. Seolah tiada hari berlalu tanpa keluh-kesah. Ketika turun hujan, hujan segera dicaci. "Ohh, hujan melulu, di mana-mana becek. Jemuran nggak kering-kering." Ketika di jalanan macet, mengeluh. Ketika ada lampu merah, mengeluh. Ketika ada polisi, mengeluh. Ketika ada orang meminta-minta, mengeluh. Dan seterusnya. Seolah tiada hari berlalu tanpa keluh-kesah. Alangkah menderita hidup orang yang dipenjara oleh keluh-kesah. Dia tidak bisa membedakan mana nikmat dan mana musibah. Seluruh lembar hidupnya dimaknai sebagai kesusahan, sehingga layak dikeluhkan.

Keempat, orang yang dangkal. Adalah mereka yang semua pembicaraannya tidak keluar dari menyebut-nyebut kehebatan dirinya, jasa-jasanya, kebaikan-kebaikannya. Padahal hidup ini adalah pengabdian untuk Allah. Mengapa harus kita membanggakan apa yang Allah titipkan pada kita?


Ada orang pakai cincin segera berkomentar, "Oh, itu sih mirip cincin saya." Ada orang beli mobil baru, "Nah, ini seperti yang di garasi saya itu." Ada kucing berbulu tebal melompat, "Kucing ini gondrong. Oh yaa, kucing gondrong itu mirip singa. Hai, tau nggak? Saya sudah pernah ke Singapura, lho. Hebat sekali kota Singapura. Hanya orang yang hebat saja bisa pergi ke sana." Orang-orang dangkal ini akan terus berbicara tiada henti. Tak lupa dia selalu menyelipkan kata-kata kesombongan dan membanggakan diri.

Orang-orang dangkal tiada bosan mengekspose diri, menyebut jasa, kebaikan, dan prestasinya. Dia selalu ingin tampak menonjol dan mendominasi. Jika ada orang lain yang secara wajar tampak lebih baik, hatinya teriris-iris, tidak rela, dan sangat berharap orang itu akan segera celaka. Inilah ilmu gelas kosong. Gelas kosong, maunya diisi terus. Orang yang kosong dari harga diri, inginnya minta dihargai terus. Kita harus berhati-hati dalam berbicara. Harus kita sadari bahwa berbicara itu dibatasi oleh etika-etika. Hendaklah kita ada di atas rel yang benar. Jangan sampai kita jatuh dalam apa-apa yang Allah larang.

Dalam berbicara kita jangan bergunjing (ghibah). Bergunjing adalah perbuatan yang ringan, bahkan bagi sebagian orang mungkin dianggap mengasyikkan. Namun, jika dilakukan dengan sengaja, apalagi dengan kesadaran penuh dan tekad menggebu, bergunjing bisa menjadi dosa besar.


"Dan janganlah kalian ber-ghibah (bergunjing) sebagian kalian terhadap sebagian yang lain. Apakah suka salah-seorang dari kalian makan daging bangkai saudaranya? Maka, kalian tentu akan sangat jijik kepadanya. Dan takutlah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat." (QS Al-Hujurat:12).

Kita tidak bisa memaksa orang lain berbuat sesuai keinginan kita. Tapi kita bisa memaksa diri kita untuk melakukan yang terbaik menyikapi sikap orang lain. Banyak bicara tidak selalu buruk, yang buruk adalah banyak berbicara kebatilan. Boleh-boleh saja kita produktif berbicara, tapi harus proporsional. Jika kita berbicara hal yang benar dan memang harus banyak, tentu kita lakukan hal itu. Pembicaraan seringkali bergeser dari rel kebaikan ketika kita tidak proporsional.


Semua orang harus menjaga lidahnya. Tidak peduli apakah itu orang-orang yang dianggap ahli agama. Orang-orang yang pandai membaca Al-Quran atau hadis, tidak otomatis pembicaraannya telah terjaga. Di sini tetap dibutuhkan proses belajar, berlatih, dan terus berjuang agar mutu kata-kata kita semakin meningkat.

Alangkah ironi jika orang-orang yang ahli agama, namun tidak menjaga lisan. Dia banyak menasihati umat dengan perilaku-perilaku yang baik, tapi saat yang sama dia tidak melakukan hal itu. Jika orang-orang preman berkata kasar, jorok, dan tak mengenai tata krama, orang masih maklum. Namun, jika orang-orang alim yang melakukannya, tentu ini adalah bencana serius.

Satu langkah konkret untuk memulai upaya menjaga lisan adalah dengan mulai mengurangi jumlah kata-kata. Makin sedikit bicara, makin tipis peluang kesalahan. Sebaliknya makin banyak bicara, peluang tergelincir lidah semakin lebar. Jika lidah kita telah meluncur tanpa kendali, kehormatan kita seketika akan runtuh. Berbahagialah bagi siapa yang bisa berkata dengan akhlak tinggi. Selalu berkata baik. Jika tidak, cukup diam saja!

Saudaraku, sadarilah bahwa lidah ini adalah amanah. Tiap-tiap kata yang terucap darinya kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jadikan ucapan-ucapan kita adalah modal untuk mengundang keridhaan Allah. Jangan jadikan kata-kata itu sebagai sebab datangnya murka dan kebencian-Nya.

Semoga Allah SWT membimbing lisan kita untuk berucap mengikuti keteladanan Rasulullah saw. Ucapan itu keluar dari lisan bagai untaian mutiara yang sarat dengan kebenaran, berharga, bermutu, dan membawa maslahat bagi siapa pun yang mendengarkannya.

Amin. Wallahu a`lam bishshawab.


Sumber : Cybermq