Selasa, 28 Desember 2010

Sedikit


Masih dari kultum bada’ sholat Dzuhur di masjid Asy-Syifa, hari berikutnya, dengan penceramah yang berbeda.

“Nabi Muhammad SAW adalah sebaik-baik suri tauladan bagi kita semua. Sebisa dan semaksimal mungkin, kita mencontoh tutur kata, perilaku dan perbuatan beliau dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak mudah, namun juga bukan hal yang mustahil, sebab nabi adalah manusia, kitapun manusia meskipun ada bedanya. Kita hanya perlu membuang ‘sedikit’ dari kebiasaan kita agar sesuai dengan kebiasaan nabi.” Untuk beberapa saat sang ustadz terdiam. Ia sengaja menggantung kalimatnya, memberi tekanan saat menyebut kata sedikit, untuk menarik perhatian jamaah.

Strategi sang ustadz memang tepat. Sebagian besar jamaah menjadi penasaran, termasuk akupun demikian. Bagaimana bisa sang ustadz bilang sedikit, lha wong kenyataannya banyak kebiasaan kita yang tidak sesuai dengan sunnah nabi. Masih banyak sekali sunnah-sunnah nabi yang belum diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Sedikit yang saya maksudkan adalah…” sang ustadz melanjutkan ceramahnya setelah berhasil mendapatkan perhatian jamaah yang mulai dihinggapi rasa kantuk.

“Pertama, beda kita dengan nabi adalah nabi sedikit tidur, sedangkan kita sedikit-sedikit tidur. Jika kita ingin mencontoh nabi, buanglah satu kata sedikit pada kebiasaan kita, dari sedikit-sedikit tidur menjadi sedikit tidur.”

Aku bukanlah satu-satunya yang mendengarkan ceramah sang ustadz siang itu, tapi aku salah satu yang ‘tersindir’ dengan kalimatnya. Walau sang ustadz tidak mengucapkan kalimat ini khusus untukku, tapi terasa bahwa kalimat ini tepat jika dialamatkan kepadaku.

Banyak riwayat menyebutkan bahwa nabi Muhammad SAW yang sudah dijamin Allah masuk surga, senantiasa menghidupkan malam-malamnya dengan ber-tahajjud. Bahkan nabi tidak berhenti sholat sampai kakinya bengkak-bengkak karena terlalu lama berdiri. Siang dan malam nabi pergunakan waktunya untuk beribadah dan berdakwah, hanya sedikit sekali waktu yang beliau gunakan untuk tidur dan beristirahat.

Berbeda dengan aku yang menghabiskan sebagian besar umurku dengan santai dan tidur. Berdalih bahwa setiap anggota badan memiliki hak untuk diistirahatkan, akhirnya dimanjakan dengan beristirahat, santai dan tidur melebihi kebutuhan. Sedikit-sedikit tidur. Siang tidur, malam apalagi. Astaghfirulloh!

Sesekali aku begadang, tapi bukan untuk memperpanjang zikir atau mengikuti pengajian, melainkan nonton TV dan bersenang-senang. Dan ketika orang-orang bangun di sepertiga malam, akupun terkadang demikian. Tapi bangunku tidaklah selalu kemudian mengambil wudhu dan sholat tahajjud. Bangunku tengah malam terkadang karena ingin ke kamar mandi untuk berkemih atau sekedar mematikan alarm dan kembali tidur lagi. Astaghfirulloh!

“Kemudian yang kedua, beda kita dengan nabi adalah nabi sedikit makan, sedangkan kita sedikit-sedikit makan. Jika kita ingin mencontoh nabi, buanglah satu kata sedikit pada kebiasaan kita, dari sedikit-sedikit makan menjadi sedikit makan.”

Kali ini aku merasa sang ustadz seperti mengenalku, tahu persis kebiasaanku. Ada banyak orang di dalam masjid siang itu, tapi rasanya kalimat itu sengaja ditujukan kepadaku.

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa nabi dan keluarganya selalu hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan nabi bukan menunjukan ketidakmampuan, tapi karena akhiratlah yang diutamakan. Kalau mau, nabi tinggal berdoa dan Allah pasti akan mengabulkan, memberikan harta yang berlimpah. Tapi nabi tak melakukan itu, tidak seperti kita yang selalu dan terlalu haus dan rakus dengan harta dan segala kenikmatan dunia. Meski seluruh air laut diminum, tak juga menghilangkan dahaga. Astaghfirulloh!

Ada satu hadist menyebutkan, “Kami, keluarga Muhammad SAW pernah selama satu bulan tidak menyalakan api (memasak), kami makan hanya kurma dan air." (HR. Bukhari, Muslim). Bahkan dalam riwayat lain menyebutkan, selain sering berpuasa nabi juga seringkali mengganjal perutnya dengan batu untuk menahan lapar.

Hal ini berbeda dengan aku yang sedikit-sedikit makan. Sebelum sang ustadz naik ke mimbar, sempat terlintas dalam benakku untuk memesan mie ayam dan es jeruk usai dari masjid nanti. Padahal lima jam sebelumnya, sebungkus nasi uduk lengkap dengan sayur bihun, telur dadar dan tempe goreng tandas aku habiskan. Juga segelas teh manis kuminum tanpa sisa. Dua jam berikutnya, sepotong brownies nan legit kembali mengisi perutku. Dan sekarang, sebelum rasa lapar itu benar-benar terasa, berbagai menu makanan dan minuman sudah mulai memenuhi pikiranku. Astaghfirulloh!

Bahkan, terkadang dengan alasan agar bisa khusyuk dalam sholat, aku memilih makan siang dulu baru kemudian sholat. Tapi kenyataanya, khusyuk tak didapat, malah ngantuk yang menyergap. Juga, ketika sedang berpuasa, waktu masihlah pagi, baru duha, tapi aku sudah mulai sibuk memikirkan dan menyiapkan menu untuk berbuka. Astaghfirulloh!

“Dan yang ketiga, beda kita dengan nabi adalah nabi sedikit marah, sedangkan kita sedikit-sedikit marah. Jika kita ingin mencontoh nabi, buanglah satu kata sedikit pada kebiasaan kita, dari sedikit-sedikit marah menjadi sedikit marah.”

Aku meyakinkan diri, melirik ke orang di sekelilingku. Dan hasilnya, aku termasuk salah satu dari mereka yang mengakui bahwa seperti itulah keadaanku.

Nabi adalah contoh sempurna dalam hal mengendalikan diri. Beliau adalah suami yang lemah lembut, penuh kasih sayang dan perhatian kepada istri dan keluarga. Beliau adalah seorang suami, ayah dan sahabat yang sangat penyabar. Tidak marah nabi kecuali ketika aturan Allah dilanggar. Itupun tidak seperti marahnya kita yang terkadang brutal, membabi buta hanya untuk alasan kecil saja.

Sedikit-sedikit marah, tak sepenuhnya salah jika sang ustadz berkata demikian. Apapun bisa menjadi alasan dan penyebab kemarahan. Kurang ini marah, lebih itu marah. Begini marah, begitu marah. Di sini marah, di sana marah. Astaghfirulloh!

Di rumah, masakan istri tak sesuai selera, marah. Nilai ulangan anak rendah, marah. Anak tetangga berisik, marah. Begitupun di tempat kerja. Bawahan salah, marah. Tugas terlambat dikumpulkan, marah. Rekan kerja ngajak bercanda, marah. Pokoknya hal-hal kecil yang wajar dan sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara sederhana, bisa menyulut kemarahan. Marah tak ubahnya seperti hobi, dan pemarah dijadikan profesi. Astaghfirulloh!

Hanya tiga yang disebutkan sang ustadz dalam ceramahnya, tapi ketiga-tiganya ada padaku. Astaghfirulloh!

Sebelum mengakhiri ceramahnya, sang ustadz kembali menegaskan. “Kita harus berusaha semaksimal mungkin meniru, mencontoh semua yang ada pada nabi. Mulailah berusaha untuk menghapus satu kata sedikit pada kebiasaan kita. Yang biasanya sedikit-sedikit tidur, sedikit-sedikit makan, dan sedikit-sedikit marah dihapus satu kata sedikitnya menjadi sedikit tidur, sedikit makan dan sedikit marah.”

Bagaimana dengan anda? Masihkah dua kata sedikit (sedikit-sedikit) melekat pada kebiasaan Anda? Mari kita berusaha menghapusnya satu agar hidup kita selamat dunia hingga akhirat. Insya Allah.

Oleh Abi Sabila


Jangan Pernah Meragukan-NYA


Jika kita meragukan manusia dalam kemampuannya untuk bersikap adil, itu wajar. Karena sebaik atau sepandai apapun manusia, terkadang penilaiannya tidak tepat atau tidak konsisten. Tapi, jangan pernah meragukan keadilanNYa, karena Allah benar-benar Maha Adil. Jikapun dengan kasat mata kita saksikan ketimpangan-ketimpangan, jangan pernah ragukan Keadilan-NYA dalam menetapkan sesuatu. Sungguh, ilmu kita sangat sedikit untuk dapat memahami-NYA. Jangan pernah sekalipun meragukan segala sifat dan nama baik yang disandangNYA.

Kita sering mempertanyakan hal-hal sebagai berikut , kenapa ada sebagian orang yang begitu mengharap dan mendambakan momongan, tidak jua diberi. Sementara, sebagian orang yang tidak mengharap, bahkan tidak menginginkannya, justru Allah titipkan benih di rahimnya. Kemudian mereka mempertanyakan keadilan Allah. Sesungguhnya, ketika memberi atau tidak memberi, Allah menunjukkan sifat Maha Kuasa-NYa. Sesungguhnya, ketika memberi atau tidak memberi, Allah tetap menunjukkan sifat Keadilan-Nya.

Apa arti adil atau konsep adil bagi kita? Adil bukan berarti sama rata. Adil bukan berarti seimbang. Adil bukan berarti setiap orang harus diperlakukan sama persis. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya secara proposional.

Sebagai contoh, kita memiliki 2 orang anak. Yang pertama sudah SMP yang kedua masih TK. Ketika memberi uang jajan, kita beri sang kakak dan sang adik sama banyak, misalnya Rp 2000,-. Sementara sang kakak sekolah naik angkot pulang pergi dan tiba di rumah menjelang sore. Sang adik sudah diantar ibunya, pulangpun sebelum dzuhur. Adilkah kita kepada kedua anak kita dalam memberi uang jajan?

Sungguh, segala sesuatu telah Allah tetapkan sesuai takaranNYa, dan Allah tidak akan pernah salah dalam menakar. Setiap kita diuji ,sesuai dengan batas kemampuan kita, dan hanya Allah yang Maha Tahu batas kemampuan kita dibanding kita sendiri. Anak adalah amanah sekaligus ujian bagi kedua orang tuanya. Kita ingin, dan merasa mampu. Tapi, bagaimana menurut Allah?

Di sisi lain, ada yang sudah punya anak banyak, sudah komplit pula, lagi-lagi diberi keturunan. Kemudian dengan susah payah berusaha digugurkan, karena merasa tidak ingin dan merasa tidak mampu. Siapa yang lebih dapat menilai mampu atau tidaknya kita selain Allah? Jika Allah memberi, itu tandanya kita mampu. Masalah rezeki? Insya Allah sudah Allah sediakan. Allah berfirman; “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepada kamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang sangat besar.” [Al-Israa : 31]

…………

Saya memiliki kerabat. Orangnya sangat baik. Dermawan dan ringan tangan. Kemudian saya saksikan, kesulitan-kesulitan hidup bertubi-tubi menimpanya. Dia datang kepada saya, kemudian bercerita bahwa dalam kesedihannya kadang ia bertanya pada dirinya, apa dosa saya sehingga hidup saya seperti ini? Apa dosa saya sehingga Allah menghukum saya seperti ini? Rasanya tidak adil…Astaghfirullah…Ia “menggugat” Allah tentang apa yang menimpa dirinya.

Begitu banyak yang terjadi dalam kehidupan kita. Ada yang kita sukai dan ada yang tidak kita sukai. Tapi, apapun itu, jangan sampai membuat kita meragukanNya, jangan sampai kita mempertanyakan tindakanNYa. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 216; “ Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”

Jadi, andai kita tertimpa musibah bertubi-tubi, padahal kita rajin ibadah dan menjalani hidup ini secara baik, jangan pertanyakan tentang keadilan Allah. Karena masalah musibah bukan tentang Allah adil atau tidak adil. Tapi karena musibah memang bagian dari takdir-NYA. Sungguh, Allah Maha Adil. Dan telah Allah tetapkan segala sesuatu sesuai porsinya.

Jangan pernah merasa diperlakukan tidak adil oleh Allah. Justru kita yang harus bertanya kepada diri kita sendiri, adilkah kita terhadapNYA? Jika mau hitung-hitungan, kitalah yang banyak berbuat tidak adil terhadapNYA. Terhadap nikmat-nikmat Allah, sudahkah kita mensyukurinya? Jikapun telah kita syukuri, setarakah syukur kita dengan segala nikmat yang telah dilimpahkanNYa kepada kita?

……..

Kegamangan kita dalam meyakini sifat adilNYA dan sifat-sifat Allah yang lain, sedikit demi sedikit akan merusak aqidah kita. Karena sebagai muslim, kita harus yakin dengan segala sifat dan nama baikNYA. Kita adalah yang dicipta, dan Allah yang mencipta. Kita adalah yang diberi dan Allah sang Pemberi. Tapi, wajibkah Allah memberi setiap yang kita minta?

Terkadang pula, kita merasa harus diberi yang terbaik atas keshalehan yang kita lakukan. Kita ‘menuntut’ Allah bertindak adil sesuai kriteria adil dalam benak kita. Kehidupan kita harus berjalan baik sesuai kebaikan yang kita lakukan. Kalau ada orang yang sikapnya buruk, maka kehidupannya harus buruk. Itu baru adil, menurut kita. Lalu apa artinya janji surga dan neraka, jika setiap orang sudah dibalas sesuai perbuatannya di dunia ini?

Allah benar Maha Pengasih, tapi Allah tidak harus mengasihi setiap maklukNYA dengan cara yang sama khan? Ada yang Allah kasihi dengan kenikmatan hidup, karena dengan cara itulah sang hamba mendekat kepadaNYA. Ada yang Allah kasihi dengan cara memberinya cobaan, karena dengan cara itu sang hamba mendekat kepadaNYA.

Sekali lagi, jangan pernah meragukanNYA. Jangan pertanyakan Keadilan-NYA. Jangan sangsikan cinta-NYA. Jangan tidak yakin dengan segala Sifat dan Nama Baik-NYA. Allah Maha Rahim dan dengan kerahiman-NYA, Allah hanya menghendaki kebaikan kepada setiap hamba-hamba-NYA. DIA adalah Allah. Dan DIA pasti adil, dan kita harus mengakuinya sekalipun tidak dapat memahaminya. Allah berhak melakukan apapun terhadap hidup kita, dan DIA tetap Adil dengan segala perbuatanNYA.

Wallahu’alam.

Oleh Endang TS Amir

Senin, 27 Desember 2010

Sang Maha Pembolak-balik Hati


Sepuluh tahun lalu si cantik, sebut saja begitu, selalu meludah di depan muka setiap anak-anak aktivis Rohis (kerohanian Islam) di sekolahku. Baginya, sosok berkerudung lebar seperti teman-teman kita tersebut adalah 'kaum sok suci' yang selalu membatasi kebebasan berekspresi, padahal masih remaja, 'masih bebas donk', begitu pikirnya. Juga pernah dari lidahnya keluar cacian bahwa seorang teman terkena sakit cacar karena penyakit kulit yang tertular dari teman yang menutup aurat itu. Astaghfirrulloh.

Tak kalah meresahkan dengan ulah si cantik, sesosok wanita berusia sangat senior yang sangat kuhormati, sebut saja kanjeng Ratu, pernah membaluri hidupnya dalam lumpur pengkhianatan pada Sang Tuhan. Bukan hanya berbuat syirik dengan pergi ke dukun, beliau juga sering bersumpah serapah yang sangat menyakitkan hati. Salah satu kalimat mengerikan pernah meluncur dari mulutnya, "Saya tak akan pernah memakai jilbab, dengar itu! dan kalau anakku ikutan memakai jilbab, maka Saya akan telanjang bulat dan berlari keliling lapangan!"Astaghfirrulloh...

Beliau ini benci sekali padaku, semua oleh-olehku dibuangnya, semua kenyataan yang baik-baik diubahnya menjadi cerita jelak dan jahat, memandangku bagaikan melihat musuh terbesar dengan sorot mata tajamnya seolah ingin mencincang tubuhku.

Satu lagi orang dekatku, Pak Sholeh sebutlah namanya begitu, beliau adalah guruku, yang telah dianggap seperti anak sendiri oleh orang tuaku. Beliau ini doyan belajar, memang otaknya encer, daya ingatnya mantap, cerdas sekali. Namun, setidaknya lima belas tahun lalu (waktu itu saya masih SMP), beliau masih sangat membenci sosok-sosok para da’i dan da’iyah. Baginya, sosok-sosok itu tak lebih hanya menutupi kemunafikan, terutama banyaknya peristiwa di depan matanya, yang dilaluinya sehari-hari berhubungan dengan keburukan akhlaq para jilbaber dan para aktivis dakwah kampus. Pak Sholeh pernah berujar, "Saya paling benci dengan cewek berhijab dan cowok yang sok alim, lho dek...", kira-kira redaksinya begitu, menggambarkan kebiasaan busana para aktivis dakwah kampus.

Satu persatu hari berganti, minggu bergulir bulan, tahun bergantian berulang kali... aduhai Tuhanku, keimanan seorang hamba mengalami perubahan, naik-turun bahkan saat perubahan detik ke detik berikutnya. Bahkan Oase Iman dalam catatan cinta ini dibaca oleh jutaan hamba-Nya yang saat memahami hal ini memiliki kadar keimanan yang berbeda. Kami hanya mampu memelas, Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbiy ‘alaa diinika wa’ala thoo’atika, ... "wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam menaati-Mu.”

Setelah beberapa tahun berlalu, si cantik, kanjeng Ratu dan Pak Sholeh berjumpa kembali denganku dalam waktu yang berbeda. Kali ini, si cantik memang benar-benar cantik, tak ada lagi perangai cemberut dan cemoohan terhadap busana muslimah, malah ia telah menutup auratnya dengan baik. Tak ada yang menduga bahwa si cantik dapat berubah drastis seperti ini. Duhai teman, inilah hidayah Allah. Dia kirimkan kepada siapa saja yang dikehendakiNya.

Begitu pun kanjeng Ratu, yang dulu amat membenciku, yang dulu 'hobi' membuat air mataku membanjir, yang dulu tiap saat bersumpah-serapah dengan sentuhan hidayahNYA, berubahlah ia! Tak ada yang menyangka bahwa dulunya ia sejahat itu, sebab sekarang ia sangat menyayangiku, kata-katanya telah lembut, waktu sholatnya telah teratur, sorot matanya malah penuh rasa rindu. Alhamdulillah… Duhai Allah, Engkaulah Sang Maha pembolak-balik hati. Maka jadikanlah hati kami semua selalu berkumpul dalam cinta, dalam kasih sayang dan keridhoanMU selalu, amiin.

Temanku, jangan balas kebencian dengan dendam, sentuhlah hati dengan hati yang tulus pula, serta ingatlah satu-satunya tempat bergantung kita hanyalah Allah SWT. Maka optimislah, bahwa orang-orang yang keras hatinya, yang membenci dirimu, mencaci atau mencela disertai penyakit hati lainnya, cukup 'maklumi saja', ilmuNYA belum sampai pada mereka ini. Dan lihatlah contoh sang kanjeng Ratu yang sebegitu hebat sepak terjangnya—banyak merugikan moril dan materi bagiku dan keluarga, namun ternyata, dia bisa berubah, insya Allah, inilah petunjukNya.

Kita hanya berusaha mengajak untuk selalu mengingat Sang Khaliq, Allah berfirman, "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah- hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13] : 28).

Kalau tak mengalami sendiri, sungguh diriku pun masih belum percaya sepenuhnya. Saat kubaca catatan artikel milik Pak Sholeh melalui dunia internet, semuanya berisi pujian pada Allah SWT. Kalimat-kalimatnya indah, menggambarkan kecerdasannya sebagai ilmuwan yang religious. Contohnya saat ia berujar bahwa "sesungguhnya penemuan para ilmuwan hanyalah menemukan sesuatu yang sudah diciptakan oleh Allah SWT, maka dimanakah hak untuk menyombongkan diri?" atau kalimatnya “Jangan tutupi penuaan yang terjadi padamu…karena itu mendudukanmu pada tempat dan waktu yang tepat,”subhanalloh… “Tempat kebijakan adalah diam yang mendengarkan, lisan yang menentramkan, marah yang disenyumkan, kegembiraan yang dibagikan dan sedekah yang diikhlaskan, semua hanya karena Allah semata!”nuraniku ikut tentram membaca kalimat hikmahnya. Dan bukan itu saja, dia yang dulunya mencemooh para aktivis dakwah, malah sekarang merupakan bagian dari mereka. Ya Allah… kejutan yang luar biasa di era modern ini, bahkan dengan tegasnya ia mengatakan, “wanita Islam itu bisa dilihat dengan identitas pakaiannya : auratnya hanya dibuka di depan suaminya!”, bayangkan… dulunya kalimat yang berkebalikan-lah yang meluncur dari bibirnya.

Sehingga tergelitik saya bertanya padanya, (maklumlah, sepuluh tahun kami tak berjumpa, beliau lama menuntut ilmu di negara lain, maka hal perubahan Pak Sholeh ini amatlah 'luar biasa' bagiku), “bagaimana pengalaman spiritual, kenapa mas bisa berubah begitu....?”tulisku mengirim pesan untuknya. Ternyata beliau menjawab, “Karena Allah, mas pernah mati tapi masih diberikan kesempatan hidup.. mungkin itu yang membuat mas kapok, dek...”

Secarik kata, mati. Masyaalloh... mengingat mati akan melembutkan hati dan menghancurkan ketamakan terhadap dunia. Karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan wasiat untuk banyak mengingatnya. Beliau bersabda dalam hadits yang disampaikan lewat sahabatnya yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu : “Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian).” (HR. At-Tirmidzi no. 2307, An-Nasa`i no. 1824, Ibnu Majah no. 4258). Benar, kematian memang pelajaran berharga, dengan mengingat bahwa “Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati,” dan entah di hari ini, esok ataupun lusa 'due-datenya', maka jiwa kita akan luluh, sesegera mungkin meraih taubatan nasuha, tak ingin menemui ajal yang buruk, tak ingin berada di jalan kotor yang berselubung dosa saat mengakhiri detik nafas kehidupan.

Wahai saudara-saudari yang merindukan cinta-Nya, jangan paksa orang lain untuk menyukai atau mencintaimu, ujungnya pasti jelek dan menyakitkan. Pakailah strategi ketulusan hati baginda Rasulullah SAW, dengan cara berserah diri pada Allah SWT—mengajak mereka mencintaiNya, lebih banyak mengintrospeksi dan memperbaiki diri sendiri, dan pasti kalian dapat melihat bukti kekuasaan Allah SWT, Sang Maha Pembolak-balik Hati.

Wahai para pemilik hati yang optimis karena Allah SWT, yang selalu mengejar hidayahNYA, yang senantiasa merindukan belaian dan didikanNYA, semoga kelak kita berkumpul bersama dalam pimpinan baginda Rasulullah SAW, dalam barisan kaum yang beriman, yang selalu bertaubat, yang dirahmatiNYA, bukan dalam golongan orang yang dimurkaiNYA. Amiin… amiin Ya Robb. Wallohu ‘alam bisshowab.


Oleh bidadari_Azzam

Senin, 20 Desember 2010

Sekantong Kue


Pada suatu malam, tampak di bandara, seorang perempuan muda sedang menunggu penerbangan pesawat terakhir. Untuk melepas kejenuhan menunggu, diaberjalan-jalan di sekitar bandara, kemudian membeli sebuah buku dan juga sekantong kue di toko bandara.

Setelah kembali dari toilet, perempuan itu bergegas mencari tempat duduk dan mulai membaca buku yang baru dibelinya. Keasyikannya membaca terganggu saat ia melihat seorang lelaki yang duduk di sebelahnya dengan berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada di antara mereka.

Perempuan itu mencoba mengabaikannya dan melanjutkan membaca sambil juga mengambil dan mengunyah kue dengan perasaan jengkel. Dalam hatinya, ia berpikir, "Kalau aku bukan orang baik pasti sudah aku marahi orang ini!"

Ia semakin kesal saat si pencuri kue yang berani seakan berlomba menghabiskan kue persediaannya. Setiap ia mengambil satu kue, si lelaki juga mengambil satu. Ketika tinggal satu kue yang tersisa, ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan lelaki itu? Dengan senyum di wajahnya, tanpa merasa bersalah, lelaki itu mengambil kue terakhir dan membaginya menjadi dua. Diberikannya separuh kue kepada perempuan itu dan ia makan sisa separuohnya,

Si perempuan dengan bersungut-sungut dan muka menahan marah merebut kue itu sambil berpikir "Ya ampun orang ini, tidak merasa bersalah sedikit pun makan kue orang lain! Sungguh tidak tahu malu danmenyebalkan!"

Saat jadwal penerbangannya diumumkan, bergegas si perempuan itu pergi, tanpa menoleh sedikit pun kepada si pencuri kue dan berharap tidak berjumpa lagi dengan pencuri tidak tahu terima kasih itu.

Setiba di atas pesawat, sambil menghela napas lega, dia menempati tempat duduknya. Saat ingin melanjutkan membaca, segera tangannya meraih ke dalam tas. Dan...dia pun terkejut setengah mati! Astaga, jari tangannya tengah meraba kantong kue! Masih tertutup dan belum tersentuh pula!

Sesaat pikirannya terasa lumpuh, "Aduh! Jadi....kue yang telah kumakan tadi adalah milik lelaki itu! Sungguh keterlaluan aku, menuduh orang mencuri, mencurigai orang yang tidak bersalah, yang ternyata adalah si pemilik kue itu sendiri. Sebenarnya akulah yang tidak tahu malu, kasar, dan tidak tahu berterima kasih!"

Sambil memejamkan mata penuh sesal, dia tahu, sudah terlambat untuk meminta maaf atas kesalahannya menuduh orang lain yang tidak bersalah.

Netter yang Luar Biasa!


Dalam hidup ini, kisah seperti di atas sering terjadi! Kita sering berburuk sangka dan melihat orang lain dengan persepsi / "kacamata" kita sendiri. Menuduh orang lain yang salah, tidak tahu diri, tidak tahu malu, pembuat masalah, dan lain sebagainya. Akibatnya, muncul konflik yang tidak berguna.

Alangkah baiknya apabila kita mampu berkaca pada diri sendiri sebelum melontarkan segala tuduhan kepada orang lain. Juga, berusaha mengendalikan pikiran secara jernih. Sehingga penyesalan di kemudian hari tidak terjadi.

Salam Sukses, Luar Biasa!!

CyberMQ

Mencari Tambang Emas


Suatu hari, seorang anak perempuan pulang ke rumah orangtuanya dengan hati gundah. Sambil menangis dia mengadukan masalah rumah tangga yang sedang di hadapinya, "Ayah, ibu, ananda sudah tidak sanggup hidup bersama dengan suamiku lagi. Sudah sekian lama dia tidak bekerja, sehingga di rumah sekarang ini tidak ada uang lagi untuk biaya hidup. Aku mau bercerai saja. Titik."

"Memangnya ada apa dengan pekerjaan suamimu dulu?" tanya sang ibu.

"Dia merasa pekerjaannya tidak berharga lagi. Satu-satunya benda yang dianggap bernilai adalah emas sehingga setiap hari dia sibuk berpikir di mana dan bagaimana caranya sukses menemukan tambang emas. Aku sudah mengingatkan berulang kali, bahkan mengancam akan pergi dari rumah, tetapi dia tidak peduli sama sekali. Aku sungguh tidak tahan lagi, Yah, Bu."

Setelah memikirkan beberapa saat, sang ayah berkata kepada anaknya, "Anakku, pulanglah ke rumahmu. Sampaikan pada suamimu, ayah mempunyai pengetahuan mengolah emas dari warisan keluarga. Jika suamimu serius mau belajar, ayah akan memberitahu rahasia dan cara mendapatkan emas."

Si suamipun bergegas mendatangi mertuanya setelah mendengar kabar dari istrinya. Si ayah mertua berjanji akan memberitahu cara menambang emas dengan syarat, si menantu harus mengumpulkan 5 kilogram bulu daun pisang dari pohon pisang yang ditanam sendiri. Dengan gembira si menantu segera pulang dan mulai menanam pisang di ladangnya, di pekarangan rumahnya, dan di semua lahan kosong yang dipunyainya. Dengan rajin dia merawat pohon pisangnya. Setiap kali masa panen, istri dan anaknya memetik, dan dia sibuk mengumpulkan bulu-bulu di atas daun pisang.

Tiga tahun kemudian, saat terkumpul 5 kilogram bulu daun pisang, dia datang untuk menagih janji kepada ayah mertuanya.

"Baiklah anakku. Ayah sudah tidak sabar lagi ingin memberi pelajaran ini kepadamu," kata si ayah sambil mengajaknya memasuki kamar dan lalu dibukalah lemari yang ada di sana. Ternyata isinya batangan emas. Si menantu tercengang gembira berkata, "Oh, ternyata ayah dari dulu sudah mengolah emas. Cepat beritahu saya, bagaimana cara mengolahnya?"

"Batangan emas ini bukan ayah yang menambang dan mengolahnya. Tetapi kamuyang mengolahnya sendiri."

"Saya yang mengolah? Tambang saja tidak ada, apalagi mengolah emas?"

"Anakku, tentu ada caranya bila tidak mengolah tambang emas tapi bisa menghasilkan emas. Ingat pohon pisang yang telah kau tanam? Uang hasil penjualan pisang, bapak belikan emas. Dan emas di almari itu adalah hasil kerja kerasmu selama 3 tahun."

Dengan takjub, dielusnya emas di tangannya. "Terima kasih Ayah. Ayah telah mengajarkan kepada saya, bahwa untuk mendapatkan emas tidak berarti harus menambang sendiri. Dengan memanfaatkan tanah dan pekarangan yang ada, kami pun dapat memiliki emas yang sangat bernilai ini," ucapnya dengan lega dan penuh syukur.

Netter yang Luar Biasa,

Sering kali kita menganggap kesuksesan bisa dicapai hanya melalui satu cara saja, padahal kesuksesan bisa diraih melalui berbagai cara.

Dan sebenarnya di dalam diri kita sendiri dan di tempatdimana kita berada saat ini, telah tersedia kesempatan-kesempatan yang memungkinkan untuk kita gali, kita olah sekaligus kita manfaatkan untuk kita jadikan emas.

Salam sukses, Luar Biasa!!

CyberMQ

Utamakan Penilaian Allah


Salah satu yang membuat kita jadi munafik adalah ketika berkumpul dengan orang-orang. Kita lebih sibuk mengatur kata dan sikap supaya terlihat baik dalam pandangan mereka. Padahal, yang paling penting adalah mengatur hati supaya diterima Allah (dirihai-Nya).

Penilaian orang terhadap kita sama sekali tidaklah penting. Yang penting penilaian Allah. Dipuji orang jika Allah tidak ridha, hanya rugi yang didapat. Sebaliknya, dicaci orang tapi Allah ridha, maka kita termasuk beruntung.

Ketika sedang sendiri, sadari bahwa Allah Maha Tahu isi hati. Sebelah kiri dan kanan ada malaikat yang siap mencatat segala amalan. Ketika berjalan, kita cenderung mengatur gerak supaya kelihatan bagus, kelihatan gagah di mata manusia. Seharusnya, kita sibuk bertanya pada hati kita. Ada ujub atau tidak, ada riya atau tidak. Bagus berjalan tegap, tapi kalau niatnya supaya terlihat gagah, tidak ada untungnya.

Jika kita berjumpa dengan orang, dan hendak berbicara, tanya terlebih dahulu hati kita. Apakah bicaranya ini karena riya atau pamer? Apakah perlu kita bicara? Apakah pembicaraan ini sedang mengangkat diri atau menjatuhkan orang?

Misalnya sedang mengajar, periksa terlebih dahulu hati kita. Apa ingin dilihat sebagai guru yang pintar atau hebat. Kalau kita selalu berusaha mengawasi hati, maka akan terlahir ketulusan. Allah akan menggunakan lisan dan sikap kita menjadi bertenaga. Mungkin sederhana tapi ada tenaganya.

Kalau kita duduk dan ada orang disamping kita, jangan berbuat sopan hanya untuk dilihat dan dinilai baik. Berbuat sopanlah karena amalan tersebut memang disukai Allah. Kalau kita terus sibuk memeriksa hati, maka hati nurani akan bicara. Kalau bertanya ke hati, pasti hati menjawab.

Orang yang kenal Allah, akan lebih menikmati saat-saat kesendiriannya. Tidak ada rekayasa sikap, ucapan, bahkan perasaan untuk dipuji orang. Allah Maha Dekat, Maha Melihat, dan Maha Tahu segala isi hati dan perbuatan kita. Tanyalah para kekasih Allah, pasti mereka senang menyendiri. Keluarnya untuk manfaat. Keluar dalam tugas atau pekerjaan. Bukan untuk menyenangkan dirinya.

Wallahu’alam bishawab.

CyberMQ

Awas Waswas!


Dalam keadaan baju yang basah dan wajah yang lelah ia berdiri di hadapan teman-temannya. Setelah itu ia angkat kedua tangannya ke atas kepalanya, seraya berkata dengan lantang, “Allahu akbar!” Teman-temannya kaget dan mungkin saja menertawakannya dalam hati. Ada apa dengannya? Ia baru saja memenangkan perlombaan maraton? Atau baru menyabet juara satu perlombaan renang? Atau baru saja latihan jihad? Bukan. Bukan itu semua. Ia sedang memulai shalat ketika itu!

Ia salah seorang teman saya, sebut saja Ridwan (nama samaran). Setelah “menghilang” beberapa lama dari pondok pesantren, ia kembali lagi dalam keadaan sudah tidak “normal” . Badannya jadi nampak kurus, mukanya sedikit pucat dan pandangannya terlihat sayu, hanya sedikit gairah hidup yang terpancar di matanya. Bukan itu saja, banyak tingkah laku barunya yang membuat teman-temannya mengernyitkan kening atau geleng-geleng kepala.

Bila di kamar kecil ia bisa menghabiskan waktu lebih dari setengah jam hanya sekedar untuk buang air kecil! Kalau buang air besar atau mandi? Tentu bisa berjam-jam. Ketika hendak shalat, ia bisa menghabiskan lima belas menit lamanya hanya sekedar untuk berwudhu. Lalu ketika baru saja masuk shaff, ia sering membatalkan shalatnya, lalu mengulang lagi “ritual” yang tadi dikerjakannya di kamar kecil dan di tempat wudhu. Karena “ritual” itu pula, ia jadi sering tidak mendapatkan jamaah shalat dan itu terjadi di setiap shalat lima waktu.

Bila shalat sendiri (karena masbuk), mungkin lima menit lamanya ia habiskan hanya untuk takbiratul ihram; ia mengulangnya berkali-kali dengan suara yang keras! Begitu juga shalatnya, sangat lama. Bukan karena membaca surat atau dzikir yang panjang, tapi karena ia mengulang-ulang bacaan yang baru dibacanya, seakan bacaannya selalu salah!

Bisa jadi orang-orang tertawa menyaksikan tingkah lakunya yang serba aneh seperti itu, tapi saya justru merasa kasihan dan prihatin dengannya. Sebab, sebenarnya ia sedang menderita ketika itu. Saya bisa merasakan penderitaannya, karena saya sendiri pernah merasakan apa yang dirasakannya, meskipun tidak separah yang menimpanya. Ia tertimpa penyakit yang menurut istilah fuqaha dinamakan waswas. Waswas adalah keraguan yang ditiupkan syaithan kepada seseorang sehingga seakan-akan (keraguan itu) menguasai ibadahnya atau perkara din lainnya.

Penyakit itu awalnya terjadi pada satu masalah, tapi lambat laun akan merembet ke masalah lainnya bila tidak segera ditangani. Seperti yang pernah saya rasakan beberapa tahun silam. Pertama kali terjadi ketika shalat. Dalam suatu shalat, ketika sedang membaca Al-Fatihah, saya merasakan lidah ini berat dalam mengucapkannya. Seolah-olah bacaan saya kurang benar atau kurang fasih. Dan itu terjadi di setiap shalat lima waktu. Tidak berapa lama setelah itu, saya merasakan “keanehan” lain lagi, yaitu dalam wudhu. Setiap berwudhu saya jadi sering ragu. Kerap ada saja beberapa bagian anggota wudhu yang terasa belum terbasuh, entah ujung jari atau tumit kaki atau anggota wudhu lainnya.

Waswas itu tidak berhenti sampai di sini. Setelah itu, acap kali saya ragu dalam menghitung berapa kali saya membasuh anggota wudhu: apakah sudah tiga kali atau baru dua kali? Atau justru baru satu kali atau malah belum di basuh sama sekali? Waswas seperti itu memaksa saya untuk mengulang-ulang membasuh anggota wudhu (mirip seperti yang dilakukan Ridwan) agar lebih “yakin dan tenang”. Namun ketenangan kah yang saya dapatkan? Yang terjadi justru sebaliknya. Makin sering keraguan dan waswas melanda ibadah saya ini, bahkan merembet pula ke ibadah lainnya. Tentu saja itu sangat menyiksa, sebab bukan kelelahan fisik saja yang terasa, tapi psikis ini pun turut berteriak. Waswas memang benar-benar merusak ibadah dan fisik seseorang!

Bukan hanya itu saja penderitaan yang dihasilkan penyakit ini. Bila tidak segera ditangani dan diobati Waswas juga bisa merusak perkara din lainnya, di antaranya aqidah penderitanya! Dan itu yang dialami Ridwan. Saking parahnya waswas yang menimpanya, sampai keluar dari lisannya pertanyaan yang membuat saya merinding, “Apa benar ya, Allah itu di atas Arsy? “ Waswas sudah menyerang aqidahnya!

Dan yang mengerikan juga (entah ini lebih atau kurang mengerikan dari sebelumnya) waswas ini bisa membahayakan nyawa penderitanya. Kakak Ridwan bercerita bahwa suatu hari ketika curhat dengannya Ridwan pernah mengutarakan keinginannya untuk mengakhiri hidupnya, karena frustasi dengan penyakit waswasnya tersebut!

Masih ada lagi efek mengerikan dari waswas. Ibnul Qayyim dalam Ighatsatullahafan menyebutkan bahwa penyakit waswas yang telah kronis itu bisa membawa penderitanya menjadi seperti Sufasthoiyyah yaitu kaum yang mengingkari sesuatu yang konkret dan nyata. Bila mereka telah melakukan sesuatu yang disaksikan sendiri oleh mata mereka dan didengar oleh telinga mereka serta dirasakan oleh tubuh mereka, mereka menganggap bahwa perbuatan itu hanya ilusi bukan hakikat yang sebenarnya! Sangat mirip dengan orang gila! Naudzubillah min dzalik..

Tidak ada suatu penyakit, kecuali pasti ada obatnya. Demikian Nabi kita صلى الله عليه وسلم bersabda. Maka begitu pula dengan penyakit waswas ini, pasti ada obatnya. Dari beberapa penjelasan Ibnul Qayyim dan beberapa ulama lainnya, bisa disimpulkan obat waswas yaitu:

1. Memperbanyak dzikir dan memohon pertolongan kepada Allah, di antaranya ta’awudz (memohon perlindungan) dari syaithan. Sebab, penyebab penyakit ini, tidak lain, tidak bukan, muncul dari syaithan. Ialah yang memiliki andil besar dalam memunculkan dan “mengembangbiakkan” penyakit ini pada diri seseorang, disamping kelemahan mental si penderitanya juga.

2. Melawan waswas itu dengan yakin.
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, “Syaithan mendatangi salah seorang dari kalian lalu bertanya, ‘Siapa yang menciptakan ini? ‘ ‘Siapa yang menciptakan itu? ‘ , sampai ia bertanya, ‘Siapa yang menciptakan Rabbmu?’ kalau sudah sampai keadaan begini, maka memintalah perlindungan kepada Allah dan berhentilah (mendengar bisikan itu). “ (HR. Bukhari: 3276 Muslim: 214) dalam riwayat lain: hendaknya ia berkata, “Aku beriman kepada Allah, benarlah Allah dan Rasul-Nya.”

Tatkala seseorang mulai merasakan gejala penyakit ini, maka ia harus segera melawannya dengan yakin. Ketika sering ragu apakah keluar sesuatu dari kemaluan tatkala selesai buang hajat, maka yakini tidak keluar apa pun darinya. Ketika waswas muncul saat berwudhu, sudah dibasuhkan tangan ini? Sudah terkena air kah tumit ini? Maka lawan dengan yakin,” Ya, saya sudah membasuh tangan dan tumit saya “ . Begitu juga dalam perkara ibadah lainnya, ketika waswas melanda, ia harus melawannya dengan yakin.

Setelah mencoba resep yang dinasihatkan para ulama di atas, walhamdulillah, setelah sekian lama dibelenggu waswas, akhirnya saya bisa sembuh dari penyakit berbahaya ini. Saya bisa kembali menikmati hidup dan ibadah dengan tenang tanpa ada waswas dan keraguan. Karena itu, bagi yang telah terserang penyakit ini, segeralah diobati. Dan bagi yang belum terserang-semoga saja tidak terjadi tentunya- waspadalah!

Oleh Anung Umar

Kamis, 16 Desember 2010

Sampah Negeri Orang Beriman


Assalamu Alaikum Wr. Wb

Suatu hari seorang bunda mengajak kedua buah hatinya berjalan-jalan. Ia ingin mereka mulai dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya setelah sekian waktu sebelumnya mereka tumbuh besar di belahan bumi Allah lainnya.

Banyak hal yang ditanyakan buah hatinya dengan penuh antusias saat menyusuri seruas trotoar. Namun tiba-tiba putra sulungnya berteriak “Eh, kok buang sampah sembarangan?”, rupanya ia menegur seorang remaja berseragam putih-abu yang baru saja melontarkan kertas pembungkus batangan coklat di jalanan.

Kontan saja semburat merah merona di pipi sang remaja berseragam putih-abu itu. Ia tak menyangka akan ditegur anak kecil berusia 4 tahun di depan kedua temannya. Tetapi tak berapa lama ia melenggang acuh dan tertawa-tawa bersama temannya.

Sementara itu anak kecil tadi masih dengan perasaan jengkel, memungut sampah batangan coklat tersebut. Ia menengok ke sekitarnya berharap menemukan tempat sampah, namun yang dicari tak ditemukannya. Terpaksalah ia menyimpan di saku celananya sambil menghampiri sang bunda lalu melontarkan sebuah tanya…

“Bunda, kenapa kakak itu buang sampah sembarangan?”

Sang bunda berpikir sejenak lalu ia berkata, “mungkin si kakak tadi belum tahu kalau bersih itu bagian dari iman”.

Sang bunda tak menyangka kalau putra sulungnya itu akan mengejar pernyataannya dengan pertanyaan lainnya. Jadilah ia harus menjelaskan lebih lanjut.

Setelah terlebih dahulu melontarkan beberapa pertanyaan dalam mengawali penjelasannya seperti siapa Allah, siapa mereka, bagaimana ia yakin Allah itu ada, mengapa shalat harus didahului dengan berwudhu, dll., yang dijawab dengan baik oleh sang buah hati. Barulah sang bunda dengan hati-hati menjelaskan…

“Allah menyukai kebersihan, maka sudah sepatutnya jika kita yakin adanya Allah tentu kita harus selalu menjaga kebersihan. Itu tandanya kita orang beriman,…” bunda hendak melanjutkan penjelasannya namun sang putra telah mendahuluinya dengan melontarkan sebuah tanya lagi…

“Berarti di sini banyak orang yang tidak beriman pada Allah ya Bunda? Tuh, lihat! Banyak sampah dibuang sembarangan dan jadi kotor deh di mana-mana. Tapi…, di tempat kita yang dulu berarti banyak orang beriman sama Allah ya?… kan di sana bersih tak ada sampah yang dibuang sembarangan?”

Sang bunda merasa tertohok dan malu dengan pertanyaan sekaligus analisa sederhana sang buah hati. Pikirannya sejenak teringat pada lingkungan bersih di tempat yang disebut buah hatinya tadi.

Sekalipun tak dinafikan di negeri tersebut ada pula orang yang buang sampah sembarangan dan sering ditemukan pecahan botol di jalanan (mungkin bekas orang mabuk), tetapi mayoritas penduduknya sangat disiplin dalam hal menjaga kebersihan termasuk buang sampah di tempat yang telah disediakan peruntukkannya. Membuang botol-botol bekas pada tempatnya tersendiri, demikian pula untuk kertas, plastik atau barang yang masih bisa di daur-ulang serta sampah organik, masing-masing pada tempatnya. Hampir di setiap tempat termasuk di trotoar jalan maupun taman akan ditemukan tempat membuang sampah. Ada pula di beberapa swalayan menyediakan fasilitas untuk membuang botol plastik bekas air mineral. Uniknya setelah semua botol dibuang ke mesin tersebut, maka akan keluar sebuah kupon dengan sejumlah angka tertera di dalamnya yang menunjukkan nilai uang yang bisa diambil di kasir saat kupon tersebut ditukar. Biasanya 1 botol mineral senilai 20 sen.

Sementara itu, di negeri tercinta pun tak dinafikan sudah ada masyarakat yang menghidupkan budaya bersih ini, namun sepertinya mayoritas masyarakat masih didominasi orang-orang yang tak peduli dan tak mengindahkan arti pentingnya bersih untuk lingkungannya. Banyak selokan yang berubah fungsi menjadi tempat pembuangan sampah begitu pula dengan sungai. Sehingga ketika hujan deras mengguyur, tak ayal banjir selalu hadir dan masyarakat seperti menjadi terbiasa karenanya.

Masyarakat negeri gemah ripah ini mayoritas berpenduduk muslim yang berarti sebagian besar masyarakatnya meyakini Allah sebagai Tuhannya. Lantas bagaimana ia tunjukkan rasa berimannya itu, kalau sabda Rasulullah bahwa “bersih itu bagian daripada iman” tak diindahkan?

Padahal, jika saja penduduk negeri yang mayoritas menjadikan Allah sebagai Tuhannya ini konsekuen dengan keberimanannya, banyak hal yang bisa diperbuat berkaitan dengan sampah ini. Misalnya, mencontoh apa yang dilakukan negeri-negeri bersih itu dengan membuat sampah sesuai peruntukkannya, mendisiplinkan diri membuang sampah pada tempatnya, mengelola yang masih bisa didaur-ulang dan masih banyak lagi yang bisa diperbuat.

Pernah sang bunda melihat di sebuah kanal televisi tanah air, ada sebuah program tentang orang-orang yang kreatif memanfaatkan limbah atau barang-barang yang sudah tak berguna. Sekali waktu ditayangkan bagaimana seorang ibu rumahtangga yang prihatin karena di sekitarnya banyak sampah kaleng bekas susu. Terbitlah ide untuk mengelolanya menjadi barang bermanfaat. Ibu tersebut mulai mengumpulkan kaleng-kaleng di sekitar komplek rumahnya lalu membersihkan dan menyulapnya dengan aneka lukisan yang cantik sehingga ia menjadi wadah dengan banyak kegunaan seperti untuk tempat menyimpan pensil, tempat menyimpan mainan anak-anak bahkan bisa menjadi keranjang sampah yang lucu dan unik.

Di lain kesempatan masih dalam program di kanal tersebut, ada seorang bapak yang memanfaatkan kepingan CD bekas dan dengan kreativitasnya menyulap benda tersebut menjadi berbagai macam souvenir dan wadah bermanfaat. Ada pula seorang ibu yang memanfaatkan kertas-kertas bekas termasuk koran dan menyulapnya menjadi kertas kado yang sangat indah. Ada juga yang memanfaatkan eceng gondok dan menyulapnya menjadi berbagai macam tas, serta masih banyak lagi orang yang dengan kreativitas dan kepeduliannya terhadap lingkungan, mereka tak hanya dapat mengurangi limbah sampah tapi juga bisa mendulang rezeki bahkan membuka lapangan pekerjaan baru.

Sang bunda tak hendak menyesali jawabannya ketika sang buah hati mempertanyakan sikap remaja berseragam putih-abu itu. Betapapun ia merasa malu saat putranya membandingkan kebersihan di negeri orang yang mayoritas penduduknya tak beriman kepada Allah dengan negeri yang sebaliknya. Ia merasa mendapatkan sebuah hikmah dari dialog dengan buah hatinya tersebut.

***

Semoga usai membaca tulisan ini kita tidak bersikap sebagaimana remaja yang mendapat teguran anak kecil itu yang dengan acuhnya melenggang, tak peduli. Meminjam slogan yang dihidupkan seorang kyai ternama di negeri ini: mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil dan mulai dari sekarang, mari kita biasakan buang sampah di tempatnya. Mari kita buktikan salah satu rasa keberimanan kita kepadaNya. Sungguh, Allah Maha Melihat sekecil apa pun kebaikan yang kita perbuat.

(coppas dr - Unieq Uyainah Yani Kawaii)