Sabtu, 17 Maret 2012

Mengusir Kegelapan Dengan Sapu

Pergaulan di kalangan menengah atas, plus pengalaman hidup yang merangkak dari tangga yang sangat bawah, lemyata memberi saya banyak pelajaran dan kearifan yang beiguna. Akan tetapi, setelah cukup lelah menjalani tidak sedikit lika-liku kesulitan dan juga kesenangan, saya kehilangan satu hal: ketulusan orang. Ketika masih pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan yang lain, pergi ke kantor menggunakan bus kota, atau saat bersusah-susah menyelesaikan sekolah menengah di sebuah kota kecil di Bali Utara, saya dikelilingi tidak sedikit orang yang berbaju dan berhati ketulusan. Dari saling bantu sampai saling pinjam, semuanya dilakukan dengan bungkus maupun isi ketulusan. Sehingga tidak terlalu sulit membedakan, mana ketulusan dan mana kepalsuan.


Namun sekarang, begitu duduk di kursi karier yang agak tinggi, tidak sedikit ketulusan yang hilang. Maka jadilah saya sebuah hidup dan kehidupan yang secara lingkungan materi meningkat, namun secara lingkungan ketulusan menurun sangat pesat. Ada orang yang tidak merasakan kehilangan ini. Tetapi, saya bersama keluarga merasakan sekali kehi¬langan ini. Puteri saya masih sangat terkenang dengan temannya di masa kecil sambil memanjat pohon di perkampungan Ciganjur. Putera kedua saya sampai sekarang masih sering mengunjungi rekannya di zaman susah dulu. Isteri saya juga demikian, teringat dengan mantan tuan rumah di Lenteng Agung yang meminjamkan gelasnya ketika kami kedatangan tamu.

Dengan menoleh pada semua itu, saya ingin mengajak Anda untuk memasuki sebuah perjalanan refleksi yang saya harapkan berguna.


Pertama, dalam setiap perjalanan kehidupan, tidak ada satu pun orang yang bisa memperoleh semuanya pada saat yang sama. Perolehan di satu sektor, akan selalu disertai oleh kehilangan di sektor lain. Keserakahan untuk memperoleh semuanya, hanya akan membuat kita semakin menderita.

Bisa Anda bayangkan kalau saya minta kepada Tuhan tetangga yang dulu namun tinggal di lingkungan rumah sekarang, rekan-rekan sekolah yang lugu dulu tetapi menerima saya yang sekarang, atau kedamaian yang dulu dengan tingkat materi yang sekarang. Ini tidak hanya tidak mungkin, tetapi juga membuat Tuhan tidak pernah benar. Bukankah setiap ketidakmungkinan yang dipaksa untuk diraih hanya menghasilkan keputusasaan?


Kedua, manusia sering dibuat sengsara karena keinginan untuk memiliki sesuatu yang kita tidak punya. Persis seper¬ti turis asing yang heran sambil memotret orang yang me¬naiki kerbau sambil membajak sawah, turis kita yang berani membayar mahal melihat dan memfoto bangunan-bangunan tua di Eropa. Intinya hanya satu, manusia senantiasa menginginkan sesuatu yang belum atau tidak dia miliki. Untuk kemudian, berkejaran terus dengan keinginan. Bukankah isi kehidupan banyak orang hanya berusaha memiliki sesuatu yang belum atau tidak dia miliki? Padahal, orang Jepang punya sebuah ungkapan yang indah: "pada saat kita berhenti melakukan perjalanan, kita sudah sampai di tujuan”. Kalau demikian, dibandingkan lari tiada henti, bukankah akan nikmat sekali kalau kita kadang-kadang berani berhenti, dan kemudian menyebut inilah tujuan?


Ketiga, tidak banyak orang yang hidup di hari ini yang riil.


Sebagian hidup di masa lalu—seperti cerita kehilangan saya di atas. Sebagian lagi menciptakan jebakan masa depan. Terutama melalui mimpi dan ilusi. Orang-orang seperti ini—oleh Anthony de Mello—disebut sebagai orang yang belum bangun. Tertidur pulas bersama seluruh mimpi, ilusi, dan jebakan lainnya. Selamanya mereka sedang membuat dirinya menderita. Dengan sedikit kejernihan saya ingin bertutur kepada Anda, kebebasan tidak terletak dalam waktu, tidak juga dalam ruang, apa lagi materi. Ia terletak di dalam sini, di dalam diri kita. Orang bebas, di mana pun tetap orang bebas. Bahkan, di penjara sekalipun. Karena hati dan pikiranlah yang membuat penjara, maupun membebaskan kita dari penjara.

Kembali ke soal awal tentang jabatan yang menciptakan kepalsuan, setelah melalui proses refleksi di atas, rupanya yang namanya kepalsuan bukan sesuatu yang hadir ’obyektif di luar sana. Namun, merupakan hasil pengolahan ’subyektif (baca: hati dan pikiran).


Meminjam argumen cantik Anthony de Mello dalam karya indahnya yang berjudul Awareness, kita tidak bisa menghalau kegelapan dalam ruangan dengan sapu. Kegelapan—demikian de Mello—hanya bisa diusir dengan menyalakan lampu.


Serupa dengan argumen terakhir, saya tidak bisa mengusir kepalsuan dengan bernostalgia dengan masa lalu, atau malah menyalahkan orang lain maupun lingkungan, ia hanya bisa diminimalkan dampaknya kalau kita berani menyalakan lampu hati dan pikiran.


Nah, di sinilah persoalannya. Ada tidak sedikit orang- bahkan yang sudah melewati masa pensiun sekalipun—yang tidak pernah menyalakan lampu hati dan pikirannya. Mirip dengan keluhan saya di awal tentang jabatan yang menciptakan kepalsuan, kita suka sekali mengusir kegelapan dengan sapu. Entah itu sapu nostalgia masa lalu, sapu orang lain itu palsu, sapu orang lain tidak mengerti, dan ribuan sapu lainnya.

Sebagaimana kegelapan yang sebenarnya, kegelapan diri pun tentu saja tidak akan pernah lari bila diusir dengan sapu. Ia hanya lari kalau kita menyalakan lampu.


*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar