الحمد لله وحده، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحابته ومن اتبع سنته واهتدى بهديه إلى بوم القيامة، أما بعد
Ini adalah sedikit penjelasan untuk sebagian ikhwah yang mendiskusikan tentang berbohong apakah tidak boleh secara mutlak ataukah boleh untuk kasus tertentu?, sebenarnya yang utama adalah kita jangan sampai menolak salah satu dalil shohih yang tsabit dari Rosul صلى الله عليه وسلم karena ketidakfahaman kita untuk mendudukkan dalil-dalil tersebut.
Hadits-hadits shohih pengecualian bolehnya berbohong pada kasus-kasus tertentu
1. Hadits Ummu Kultsum:
عن أم كلثوم بنت عقبة أخبرته : أنها سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس فينمي خيرا أو يقول خيرا
Artinya:
Dari Ummu Kultsum binti Uqbah mengkhabarkan bahwa dia mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan antara manusia (yang bertikai) kemudian dia melebih-lebihkan kebaikan atau berkata baik”. [Muttafaqun 'Alaih]
Di dalam riwayat Al Imam Muslim ada tambahan:
ولم أسمع يرخص في شيء مما يقول الناس كذب إلا في ثلاث الحرب والإصلاح بين الناس وحديث الرجل امرأته وحديث المرأة زوجها
Artinya:
“Dan aku (Ummu Kultsum) tidak mendengar bahwa beliau memberikan rukhsoh (keringanan) dari dusta yang dikatakan oleh manusia kecuali dalam perang, mendamaikan antara manusia, pembicaraan seorang suami pada istrinya dan pembicaraan istri pada suaminya”.
[Dinukil dari Riyadhush Sholihin, Bab. Al Ishlah bainan naas]
Hadits Ummu Kultsum ini diriwayatkan juga oleh At Tirmidzi (no.2063, Maktabah Asy Syamilah) dan beliau katakan, ‘Ini adalah Hadits Hasan Shohih’. Dan Abu Dawud (no.4920, Baitul Afkaar Ad Dauliyah)
2. Hadits Asma’ binti Yazid diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Sunannya yang redaksinya hampir sama dengan hadits Ummu Kultsum yaitu:
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِى الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ ». وَقَالَ مَحْمُودٌ فِى حَدِيثِهِ « لاَ يَصْلُحُ الْكَذِبُ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ لاَ نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَسْمَاءَ إِلاَّ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ خُثَيْمٍ.
Artinya:
Dari Asma’ binti Yazid dia berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Bohong itu tidak halal kecuali dalam tiga hal (yaitu) suami pada istrinya agar mendapat ridho istrinya, bohong dalam perang, dan bohong untuk mendamaikan diantara manusia”.
Mahmud berkata dalam haditsnya: “Tidak boleh berbohong kecuali dalam tiga hal”.
Abu ‘Isa (At Tirmidzi) berkata, ‘Ini hadits hasan, kami tidak mengetahuinya dari hadits Asma’ kecuali dari hadits Ibnu Khutsaim’. [Sunan At Tirmidzi (2064) 7/408, Maktabah Asy Syamilah]
Musykil:
Apakah hadits-hadits diatas bertentangan dengan ayat-ayat Qur’an dan hadits-hadits yang shohih yang lain yang memerintahkan untuk jujur dan melarang untuk berbohong?
Misalnya, Alloh تعالى berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Alloh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. [At Taubah:119]
Atau sabda Rosululloh صلى الله عليه وسلم :
عن عبدالله قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم عليكم بالصدق فإن الصدق يهدي إلى البر وإن البر يهدي إلى الجنة وما يزال الرجل يصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا وإياكم والكذب فإن الكذب يهدي إلى الفجور وإن الفجور يهدي إلى النار وما يزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا
Artinya:
Dari Abdulloh dia berkata, Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Wajib atas kalian untuk jujur, sesungguhnya kejujuran itu akan membimbing kalian menuju ke kebajikan, dan kebajikan akan membimbing menuju surga, dan tidaklah seorang laki-laki itu jujur dan berusaha untuk jujur maka dia akan dicatat di sisi Alloh sebagai siddiiq. Hati-hati kalian dari bohong karena sesungguhnya bohong itu membimbing menuju kefajiran dan kefajiran membimbing menuju ke neraka, dan tidaklah seseorang itu berbohong dan berusaha untuk berbohong maka akan dicatat di sisi Alloh sebagai pembohong”. [HR. Muslim 105-(2607), At Tirmidzi 2099, Ibnu Majah 3981, Malik 3627, Ahmad 3710, Ibnu Hibban 509, Al Baihaqi 21338, dan lain-lain, Maktabah Asy Syamilah]
Jawaban:
Kalau kita perhatikan antara ayat-ayat Qur’an dan hadits-hadits diatas sebenarya tidak ada pertentangan. Karena memang selamanya ayat-ayat al Qur’an dan hadits-hadits yang shohih tidak akan bertentangan, kalaupun kita sangka ada pertentangan maka para ulama telah menentukan beberapa metode dalam mendudukannya, yaitu:
1. Jika dimungkinkan maka dilakukan thoriqotul jam’i yaitu menyatukan/ mengkompromikan dalil-dalil yang shohih tersebut.
2. Mengetahui nasikh dan mansukh, yaitu dalil yang datang belakangan adalah nasikh(penghapus) untuk dalil yang datang sebelumnya (ini disebut mansukh). Metode ini harus dilakukan dengan kajian sejarah.
3. Dengan tarjih yaitu menetapkan mana yang rojih(yang kuat) dan mana yang marjuh(lemah).
4. Tawaquf yaitu diam tidak berkomentar.
Dalam kaitan dengan masalah ini maka kita dapat memilih metode yang pertama yaitu menyatukan dan mengkompromikan semua dalil, karena metode ini adalah metode yang didahulukan oleh para ulama agar tidak satupun dalil yang ditolak. Ingat menolak satu hadits yang telah tetap shohihnya diantara hadits-hadits Rosul صلى الله عليه وسلم adalah sama dengan menolak sunnah atau menolak syari’at yang dibawa oleh Rosul صلى الله عليه وسلم , dan ini adalah berbahaya. Kecuali apabila hadits tersebut dho’if atau maudhu’ maka kita tidak memakai hadits yang dho’if atau maudhu’ tersebut, atau telah jelas adanya nasikh dan mansukh.
Ayat diatas surat At Taubah:119 adalah perintah untuk jujur, ini juga berarti larangan untuk berbohong. Dan hadits Abdulloh bin Mas’ud juga menerangkan perintah jujur dan larangan berbohong. Ini adalah hukum asalnya. Yaitu saya tegaskan bahwa hukum asal berbohong adalah harom dan tidak boleh seorang muslim berbohong.
Sedangkan hadits Ummu Kultsum dan hadits Asma’ adalah pengecualian untuk kasus tertentu dan tidak boleh dimutlakkan dan diperlebar jangkauannya.
Baiklah, kita nukilkan penjelasan Al Imam An Nawawi رحمه الله ketika mensyarah hadits Ummu Kultsum:
Al Qodhi (Iyadh) berkata, ‘Tidak ada perbedaan dalam bolehnya berbohong dalam bentuk seperti ini, dan mereka berbeda pendapat tentang apa maksud berbohong yang mubah di dalamnya, apakah itu?
Segolongan ulama mengatakan: Itu sesuai dengan kemutlakannya dan mereka membolehkan perkataan yang tidak terdapat dalam keadaan-keadaan ini dengan alasan untuk kemaslahatan, dan mereka mengatakan, bohong yang tercela adalah yang terdapat di dalamnya kemadhorotan, mereka berhujjah dengan perkataan Ibrohimعليه السلام , “Sebenarnya patung yang besar Itulah yang melakukannya” [Al Ambiyaa':63], (lalu perkataanya) “Sesungguhnya aku sakit” [Ash Shofaat:89] dan perkataannya “Sesungguhnya dia adalah saudariku”.
Juga perkataan orang yang menyeru Yusuf عليه السلام , “Hai kafilah, Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri”.[Yusuf:70]
Meraka mengatakan, tidak ada khilaf bahwa jika ada seorang dzolim akan membunuh seseorang yang bersembunyi di sisinya, maka (orang yang melindungi) wajib untuk berbohong dan mengatakan dia tidak mengetahui dimana orang tersebut.
Ulama yang lain berpendapat, diantara mereka Ath Thobari, ‘Pada asalnya tidak boleh berbohong dalam sesuatupun, adapun adanya pembolehan untuk berbohong maka maksudnya adalah tauriyah, menggunakan ungkapan-ungkapan (diplomatis), dan tidak terang-terangan berbohong, misalnya memuji istrinya, berbuat baik padanya, dan akan memberikan padanya pakaian yang demikan, jika Alloh mentaqdirkannya. Walhasil hendaklah menggunakan kalimat-kalimat yang muhtamalah (yang mempunyai beberapa maksud pent.), orang yang diajak bicara akan memahaminya dengan sesuatu yang menentramkan hatinya. Jika berusaha untuk mendamaikan diantara manusia maka menukil dari satu fihak kepada fihak yang lain dengan perkataan yang baik, demikian juga sebaliknya dari fihak yang ini kepada fihak yang lain. Begitu juga dalam perang dengan mengatakan, ‘Pemimpin besar kalian telah mati’, diniyatkan untuk pemimpin mereka yang pada zaman terdahulu. Para ulama yang berpendapat demikian menta’wilkan kisah Ibrohim, Yusuf, dan yang semisalnya adalah kalimat-kalimat diplomatis, wallohu a’lam. Adapun berbohongnya suami pada istrinya dan juga sebaliknya maka maksudnya adalah menampakkan kasihsayang, janji yang tidak mengharuskan terlaksana, dan yang seperti itu, adapun tipu muslihat untuk mencegah kewajiban suami atau istri, atau mengakui apa yang tidak dimiliki oleh suami atau istri maka ini adalah harom menurut kesepakatan kaum muslimin. Wallohu a’lam.
Kesimpulan:
Sumber :
- Hukum asal berbohong adalah harom.
- Pengecualian itu pada kasus tertentu dengan ungkapan yang tidak jelas-jelas berbohong, atau diungkapkan dengan tauriyah untuk suatu kemaslahatan.
http://abukhodijah.wordpress.com/2009/10/24/bolehkah-berbohong