Selasa, 30 November 2010

Nasihat Cara Menghentikan Perbuatan Tercela


Nasihat Bijak Ibrahim bin Adham

Suatu hari, seorang sufi bernama Ibrahim bin Adham, didatangi seseorang yang sudah sekian lama hidup dalam kemaksiatan, sering mencuri, korupsi, mendholimi, selalu menipu, dan tak pernah bosan berzina. Orang ini mengadu kepada Ibrahim bin Adham, “Wahai Tuan Guru, aku seorang pendosa yang rasanya tak mungkin bisa keluar dari kubangan maksiat. Tapi, tolong ajari aku seandainya ada cara menghentikan semua perbuatan tercela ini ?”

Ibrahim bin Adham menjawab, “Kalau kamu bisa selalu berpegang pada lima hal ini, niscaya kamu akan terjauhkan dari segala perbuatan dosa dan maksiat.

Pertama, Jika kamu masih akan berbuat dosa dan maksiat, maka usahakanlah agar Allah jangan melihat perbuatan itu.”

Orang itu terperangah, “Bagaimana mungkin, Tuan Guru, bukanlah Allah selalu melihat apa saja yang diperbuat oleh siapapun? Allah pasti tahu walaupun perbuatan itu dilakukan dalam kesendirian, di kamar yang gelap, bahkan di lubang semut pun.”

“Wahai anak muda, kalau yang melihat perbuatan dosa dan maksiatmu itu adalah tetanggamu, kawan dekatmu, atau orang yang kamu hormati, apakah kamu akan meneruskan perbuatan-mu? Lalu, mengapa terhadap Allah kamu tidak malu, sementara Dia melihat apa yang kamu perbuat?”. Orang itu lalu tertunduk dan berkata, “Katakanlah yang kedua, Tuan Guru !”

Kedua, Jika kamu masih akan berbuat dosa dan maksiat, maka jangan pernah lagi kamu makan rezeki Allah.” Pendosa itu kembali terperangah, “Bagaimana mungkin, Tuan Guru, bukan-kah semua rezeki yang ada di sekeliling manusia adalah dari Allah semata ? Bahkan, air liur yang ada di mulut dan tenggorokanku adalah dari Allah jua.”

Ibrahim bin Adham menjawab,”Wahai anak muda, masih pantaskah kita makan rezeki Allah sementara setiap saat kita melanggar perintah-Nya dan melakukan larangan-Nya? Kalau kamu numpang makan kepada seseorang, sementara setiap saat kamu selalu mengecewakannya dan dia melihat perbuatanmu, masih-kah kamu punya muka untuk terus makan darinya?” “Sekali-kali tidak ! Katakanlah yang ketiga, Tuan Guru.”

Ketiga,Kalau kamu masih akan berbuat dosa dan maksiat, janganlah kamu tinggal lagi di bumi Allah.” Orang itu tersentak, “ Bukankah semua tempat ini adalah milik Allah, Tuan Guru? Bahkan, segenap planet, bintang, dan langit adalah milik-Nya juga?”

Ibrahim bin Adham menjawab,”Kalau kamu bertamu ke rumah seseorang, numpang makan dari semua miliknya, akan-kah kamu cukup tebal muka untuk melecehkan aturan-aturan tuan rumah itu, sementara dia selalu tahu dan melihat apa yang kamu lakukan?”

Orang itu kembali terdiam, air mata menetes perlahan dari kelopak matanya lalu berkata,”Katakanlah yang keempat, Tuan Guru.”.

Keempat, jika kamu masih akan berbuat dosa dan maksiat, dan suatu saat malaikat maut datang untuk mencabut nyawamu sebelum kamu bertobat, tolaklah ia dan janganlah mau nyawamu dicabut.”

“Bagaimana mungkin, Tuan Guru ? Bukankah tak seorangpun mampu menolak datangnya malaikat maut?”

Ibrahim bin Adham menjawab,”Kalau kamu tahu begitu, mengapa masih jua berbuat dosa dan maksiat? Tidakkah terpikir olehmu, jika suatu saat malaikat maut itu datang justru ketika kamu sedang mencuri, menipu, berzina, dan melakukan dosa lainnya?” Air mata menetes semakin deras dari kelopak mata orang tersebut, kemudian dia berkata, “ Wahai Tuan Guru, katakanlah hal yang kelima.”

Kelima, Jika kamu masih akan berbuat dosa, dan tiba-tiba malaikat maut mencabut nyawamu justru ketika sedang melakukan dosa, maka janganlah mau kalau nanti malaikat Malik akan memasukkanmu ke dalam neraka. Mintalah kepadanya kesempatan hidup sekali lagi agar kamu bisa bertobat dan menambal dosa-dosamu itu.”

Pemuda itupun berkata,”Bagaimana mungkin seseorang bisa minta kesempatan hidup lagi, Tuan Guru? Bukankah hidup hanya sekali ?”

Ibrahim bin Adham pun lalu berkata,”Karena hidup itu hanya sekali anak muda, dan karena kita tak pernah tahu kapan maut akan menjemput kita, sementara semua yang telah diperbuat pasti akan kita pertanggungjawabkan di akherat kelak, apakah kita masih akan menyia-nyiakan hidup ini hanya untuk menumpuk dosa dan maksiat?”

Pemuda itu pun langsung pucat, dan dengan suara parau menahan ledakan tangis dia menghiba,”Cukup, Tuan Guru. Aku tak sanggup lagi mendengarnya.” Lalu, dia pun beranjak pergi meninggalkan Ibrahim bin Adham. Dan sejak saat itu, orang-orang mengenalnya sebagai seorang ahli ibadah yang jauh dari perbuatan-perbuatan tercela.

Dikutif : Bimbingan Spritual 5+

2 komentar: