Minggu, 21 November 2010

Larangan Banyak Bertanya Tanpa Adanya Keperluan



Diwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah saw. bersabda, “Tinggalkanlah sesuatu yang tidak aku anjurkan kepada kamu. Karena sesungguhnya kebinasaan umat terdahulu ialah karena mereka banyak bertanya dan selalu menyelisihi Nabi mereka. Jadi, apabila aku perintahkan sesuatu kepada kamu, maka lakukanlah semampu kamu. Dan apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka ditinggalkanlah!” (HR Bukhari [7288] dan Muslim [1337]).

Diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu’bah r.a., dari Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya, Allah telah mengharamkan atas kalian durhaka terhadap ibu bapak, [1] mengubur hidup-hidup (membunuh) anak perempuan, [2] menahan harta sendiri dan terus meminta kepada orang lain.[3] Dan Allah membenci atas kamu tiga perkara; Qiila wa qaala[4], banyak bertanya [5], dan membuang-buang harta,[6] ” (HR Bukhari [1477] dan Muslim [1715]).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. Bersabda, ‘Sesungguhnya, Allah meridhai tiga perkara atas kalian dan membenci tiga perkara. Allah ridha kalian hanya menyembah-Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain, berpegang dengan tali Allah dan tidak bercerai-berai.[7] Dan ia membenci qiila wa qaala, banyak bertanya dan membuang-buang harta’.” (HR Muslim [1715]).

Kandungan Bab:

Al-Hafizh Ibnu Rajah al-Hanbali berkata dalam kitab Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (Halaman 138-140 al-Muntaqa), “Hadits-hadits ini berisi larangan bertanya masalah-masalah yang tidak diperlukan dan jawabannya dapat merugikan si penanya sendiri. Misalnya pertanyaan, Apakah ia berada dalam Neraka ataukah dalam Surga? Apakah yang dinisbatkan kepadanya itu benar ayahnya ataukah orang lain? Dan juga larangan bertanya untuk menentang, bercanda atau memperolok-olok, seperti yang sering dilakukan oleh kaum munafikin dan lainnya. Mirip dengannya adalah mempertanyakan ayat-ayat Al-Qur’an dan memprotesnya untuk menentangnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaum musyrikin dan Ahli Kitab. ‘Ikrimah dan ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan masalah ini. Dan hampir mirip dengannya adalah bertanya tentang perkara-perkara yang Allah sembunyikan atas makhluk-Nya dan tidak memperlihatkannya kepada mereka. Seperti bertanya tentang bila terjadi hari Kiamat dan tentang ruh.”

Hadits tersebut juga berisi larangan banyak bertanya tentang sejumlah besar masalah halal dan haram yang dikhawatirkan pertanyaan tersebut menjadi sebab turunnya perkara yang lebih berat lagi. Misalnya bertanya tentang sejumlah besar perkara halal dan haram yang bisa menjadi turunnya perkara yang lebih berat dari sebelumnya. Misalnya bertanya tentang kewajiban haji, apakah wajib dikerjakan setiap tahun ataukah tidak?

Dalam kitab ash-Shahiih diriwayatkan dari Sa’ad r.a., dari Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya, kejahatan yang paling besar yang dilakukan oleh seorang Muslim terhadap kaum Muslimin adalah yang bertanya tentang suatu perkara yang belum diharamkan, lalu menjadi haram karena pertanyaannya itu,” (HR Bukhari [7289] dan Muslim [2358]).

Rasulullah saw. tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaan kecuali yang berasal dari kaum Arab Badui dan para utusan yang datang menemui beliau. Beliau ingin mengambil hati mereka. Adapun kaum Muhajirin dan Anshar yang bermukim di Madinah yang telah kokoh keimanannya dalam hati, mereka dilarang banyak bertanya. Sebagaimana disebutkan dalam Shahiih Muslim dari an-Nawaas bin Sam’an, ia berkata: “Aku tinggal bersama Rasulullah saw. di Madinah, tidaklah ada yang menghalangiku hijrah ke Madinah kecuali karena takut akan banyak bertanya. Karena itu ketika kami telah berhijrah, maka kami tidak banyak bertanya kepada beliau.” (HR Muslim [2553]).

Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, “Kami dilarang bertanya tentang sesuatu kepada Rasulullah saw. Sungguh kami amat suka bila ada seorang lelaki yang cerdas dari kalangan Arab Badui datang dan bertanya kepada beliau lalu kami mendengarnya.” (HR Muslim [12]).

Para Sahabat Nabi kadang kala bertanya kepada Nabi tentang hukum beberapa masalah yang belum terjadi. Namun untuk diamalkan nantinya apabila benar-benar terjadi. Sebagaimana halnya mereka pernah bertanya, “Kami akan menghadapi musuh esok hari, kami tidak membawa pisau, lalu bolehkah kamu menggunakan ruas kayu yang tajam?” (HR Bukhari [2488] dan Muslim [1968]).

Mereka juga bertanya tentang umaraa’yang telah beliau sebutkan akan muncul sepeninggal beliau, tentang mentaati mereka dan hukum memerangi mereka. Hudzaifah r.a. bertanya kepada beliau tentang fitnah-fitnah akhir zaman dan apa yang harus ia lakukan.

Semua itu menunjukan makruh dan tercelanya banyak bertanya. Namun sebagian orang beranggapan bahwa larangan itu khusus bagi orang-orang yang hidup zaman Nabi saw. karena dikhawatirkan akan diharamkan perkara yang belum diharamkan atau diwajibkan perkara yang sulit dikerjakan. Namun setelah Rasulullah saw wafat kekhawatiran itu telah sirna. Namun perlu diketahui bahwa bukan itu saja sebab larangan banyak bertanya. Ada sebab lainnya, yaitu menunggu turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, karena tidak satupun perkara yang ditanyakan melainkan telah didapati penjelasannya dalam Al-Qur'an.

Maknanya, seluruh perkara yang dibutuhkan kaum Muslimin yang berkaitan dengan agama mereka pasti telah dijelaskan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan pasti telah disampaikan oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu tidak ada keperluan bagi seseorang untuk menanyakannya lagi. Sebab Allah Mahatahu apa yang menjadi kemaslahatan bagi hamba-Nya, Mahatahu apa yang menjadi hidayah dan manfaat bagi mereka. Allah pasti telah menjelasakannya kepada mereka sebelum mereka menanyakannya. Sebagaimana yang Allah swt katakan dalam firman-Nya, “Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat,” (An-Nisaa’: 176).

Maka dari itu, tidak perlu lagi menanyakan, apalagi menanyakannya sebelum terjadi dan sebelum dibutuhkan. Namun kebutuhan yang penting sekarang ini adalah memahami apa yang telah dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya kemudian mengikuti dan mengamalkannya.

--------------------------------------

[1] Durhaka terhadap orang tua haram hukumnya, bahkan termasuk salah satu dosa besar menurut kesepakatan para ulama. Rasulullah saw hanya menyebutkan ibu di sini karena hak dan kehormatannya lebih besar daripada bapak. Menyambung tali silaturrahim dengannya tentu lebih utama.

[2] Yakni, mengubur mereka hidup-hidup, ini merupakan adat tradisi kaum Jahiliyyah.

[3] Man’un wa haatun artinya, tidak menunaikan kewajiban dan terus meminta apa yang bukan haknya.

[4] Yakni, menceritakan seluruh perkara yang didengarnya yang tidak ia ketahui kebenarannya dan juga tidak menurut dugaan kuatnya. Cukuplah seorang disebut berdosa dan berdusta apabila ia menyampaikan seluruh perkatan yang didengarnya.

[5] Yakni, banyak bertanya dan menanyakan perkara-perkara yang belum terjadi dan tidak ada keperluannya.

[6] Yakni, bersikap mubazir dan membelanjakan harta untuk hal-hal yang tidak disyari’atkan yang dapat membawa keuntungan (manfaat) dunia dan akhirat.

[7] Yaitu, berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya saw. Serta tetap bersama jama’ah kaum Muslimin dan saling bersatu padu satu sama lainnya. Ini merupakan salah satu inti dan tujuan syari’at.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/215 - 219.

Oleh: Fani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar