Rahasia Usia 40, Rahasia Usia Nubuwah Rasulullah
Rahasia umur Muhammad saat nubuwah, mulai tersingkap sedikit demi sedikit. Mengapa Muhammad mengemban misi kenabian saat beliau berusia 40 tahun? Dan bukannya usia 30 atau 35, puncak kehebatan [fisik] manusia? Mengapa harus 40 tahun? saat fisik sudah berrada di jalur turun, ibarat naik roll coster, 0-39 th adalah ketika kereta merambat naik, lalu di usia 40 lah si kereta roll coster mencapai puncak rel dan kemudian meroket turun.
Jadi, apa rahasia usia 40 tahun Muhammad ketika di serahkan misi mulia ini? Apa makna yang terkandung dalam usia 40 ini?
****************
Apabila dia telah dewasa dan usianya sampai empat puluh tahun, ia berdoa, “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.” (Q.S. al-Ahqâf: 15)
Al-Qur’an memberikan apresiasi tersendiri terhadap manusia kala mencapai usia 40 tahun yang disebutkan dalam surat di atas. Pastilah bukan hal yang main-main, Allah menyebutkan secara jelas usia manusia yang dimaksud. Sebenarnya apa maksud Allah menyuruh manusia untuk berdo’a pada usia tersebut.
Menurut para mufassir, usia 40 tahun merupakan usia dimana manusia mencapai puncak kehidupannya baik dari segi fisik, intelektual, emosional, karya, maupun spiritualnya. Orang yang berusia 40 tahun benar-benar telah meninggalkan usia mudanya dan beralih menapaki usia dewasa penuh. Apa yang dialami pada usia ini sifatnya stabil, mapan, kokoh. Perilaku di usia ini akan menjadi barometer pada langkah usia selanjutnya.
Do’a yang terdapat dalam ayat tersebut sangat dianjurkan untuk dibaca oleh mereka yang menginjak usia 40 tahunan. Di dalamnya tampak terkandung uraian berbagai gejala orang yang berusia 40 tahun, yakni nikmat yang sempurna telah diterimanya dan diterima oleh orang tuanya, kecenderungan diri untuk beramal yang positif, rumah tangga yang beranjak harmonis, kecenderungan diri bertaubat dan kembali kepada Sang Pencipta, dan ketegasannya mendeklarasikan diri sebagai pemeluk agama Islam.
Oleh beberapa ahli tafsir, ayat tersebut dijelaskan sebagai ayat yang berisikan nasihat kepada manusia untuk selalu bersyukur, mengingat dan mendoakan kebaikan bagi kedua orang tuanya sekaligus juga memohon petunjuk untuk dapat melakukan amal shaleh berupa kebaikan (agama) kepada keluarganya ketika manusia tersebut telah mencapai usia 40 tahun.
Dalam surat tersebut setidaknya juga terdapat empat indikator kemuliaan manusia yang seharusnya menjadi identitas orang yang mencapai umur 40 tahun yaitu bersyukur, beramal shalih, bertaubat, dan berserah diri.
* Bersyukur kepada Allah atas karunia umur yang mengantarkannya mencapai angka 40.
* Bersyukur atas kenikmatan hidup yang telah dianugerahkan Allah baik berupa kenikmatan material maupun nikmat anak keturunan (dzuriyat).
* Bersyukur sesuai hakikat bahwa semuanya karena kehendak yang mengikuti nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki Allah dan dicontohkan dalam kehidupan Rasul dan para sahabat.
* Bertobat disertai kesadaran bahwa manusia mempunyai kalbu yang berbolak-balik antara tarikan kebaikan dan keburukan.
* Bertobat disertai perenungan dan perhitungan apakah di usia 40 tahun lebih berat kebaikannya atau keburukannya.
* Berserah diri, yang merupakan pernyataan keikhlasan sebagai seorang muslim yang tunduk dan patuh terhadap ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya, sehingga upaya-upaya yang dilakukan tersebut dapat menjadi amal shaleh yang tidak tertolak dan dapat mendatangkan keridhoan-Nya.
Dengan demikian umur 40 tahun dapat dipandang sebagai gerbang pencerahan jiwa, menjadikannya cahaya menuju kehidupan yang lebih mulia.1]
Pada ayat yang lain, Allah swt. berfirman,
Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam tempo yang cukup untuk berpikir bagi orang-orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepadamu pemberi peringatan? (Q.S. Fâthir: 37)
Menurut Ibnu Abbas, Hasan al-Bashri, al-Kalbi, Wahab bin Munabbih, dan Masruq, yang dimaksud dengan “umur panjang dalam tempo (tenggang waktu) yang cukup untuk berpikir” dalam ayat tersebut tidak lain adalah kala berusia 40 tahun.
Mengapa umur 40 tahun begitu penting?
Dalam tradisi Islam, usia manusia diklasifikasikan menjadi 4 (empat) periode, yaitu
1) periode kanak-kanak atau thufuliyah,
2) periode muda atau syabab,
3) periode dewasa atau kuhulah, dan
4) periode tua atau syaikhukhah.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebut periode kanak-kanak itu mulai lahir hingga baligh, muda mulai dari usia baligh sampai 40 tahun, dewasa usia 40 tahun sampai 60 tahun, dan usia tua dari 60-70 tahun.
Usia 40 tahun dengan demikian adalah usia ketika manusia benar-benar meninggalkan masa mudanya dan beralih menapaki masa dewasa penuh yang disebut dengan usia dewasa madya (paruh baya) atau kuhulah. Hal ini sesuai dengan pendapat pakar psikologi seperti Elizabet B. Hurlock, penulis “Developmental Psychology”. Katanya, “masa dewasa awal” atau “early adulthood” terbentang sejak tercapainya kematangan secara hukum sampai kira-kira usia 40 tahun. Selanjutnya adalah masa setengah baya atau “middle age”, yang umumnya dimulai pada usia 40 tahun dan berakhir pada usia 60 tahun. Dan akhirnya, masa tua atau “old age” dimulai sejak berakhirnya masa setengah baya sampai seseorang meninggal dunia.
Nuansa kejiwaan yang paling menarik pada usia 40 tahun ini adalah meningkatnya minat seseorang terhadap agama (religiusitas dan spiritualisme) setelah pada masa-masa sebelumnya minat terhadap agama itu boleh jadi kecil sebagaimana diungkapkan oleh banyak pakar psikologi sebagai “least religious period of life”.
Oleh karena itu, dengan berbagai keistimewaannya, maka patutlah jika usia 40 tahun disebut tersendiri di dalam al-Qur’an. Dan karenanya, tidaklah heran jika para Nabi diutus pada usia 40 tahun. Nabi Muhammad saw. diutus menjadi nabi tepat pada usia 40 tahun. Begitu juga dengan nabi-nabi yang lain, kecuali Nabi Isa as. dan Nabi Yahya as., mereka diutus menjadi nabi ketika usia mereka genap 40 tahun.
Di banyak negara ditetapkan, untuk menduduki jabatan-jabatan elit yang strategis, seperti kepala negara, disyaratkan bakal calon harus telah berusia 40 tahun. Masyarakat sendiri tampak cenderung baru mengakui prestasi seseorang secara mantap tatkala orang itu telah berusia 40 tahun. Soekarno menjadi presiden pada usia 44 tahun. Soeharto menjadi presiden pada umur 46 tahun. J.F. Kennedy 44 tahun. Bill Clinton 46 tahun. Paul Keating 47 tahun. Sementara Tony Blair 44 tahun.
Apa keistimewaan usia 40 tahun?
Dari kacamata psikologi, usia 40 tahun sering disebut masa dewasa madya. Orang-orang yang berada di usia ini lebih popular disebut setengah baya, dari sudut posisi usia dan terjadinya perubahan fisik maupun psikologis, memiliki banyak kesamaan dengan masa remaja. Bila masa remaja merupakan masa peralihan, dalam arti bukan lagi masa kanak-kanak namun belum bisa disebut dewasa, maka pada setengah baya, tidak dapat lagi disebut muda, namun juga belum bisa dikatakan tua.
Secara fisik, pada masa remaja terjadi perubahan yang demikian pesat (menuju ke arah kesempurnaan/kemajuan) yang berpengaruh pada kondisi psikologisnya, sedangkan individu setengah baya juga mengalami perubahan kondisi fisik, namun dalam pengertian terjadi penurunan/kemun-duran, yang juga akan mempengaruhi kondisi psikologisnya. Selain itu, perilaku dan perasaan yang menyertai terjadinya perubahan-perubahan tersebut adalah sama, yaitu salah tingkah/ canggung, bingung, dan kadang-kadang over acting.
CIRI-CIRI DEWASA MADYA
* Masa yang ditakuti (a dreaded period).
* Masa transisi (a time of transition).
* Masa penyesuaian kembali (a time of adjustment).
* Masa keseimbangan dan ketidakseimbang-an (a time of equilibrium and disequilibrium
* Usia berbahaya (a dangerous age).
* Usia kaku/canggung (a awkward age).
* Masa berprestasi (a time of achievement).
Masa yang ditakuti
* Selain masa tua (old age), masa dewasa madya juga merupakan masa yang sangat ditakuti datangnya oleh kebanyakan individu, sehingga seolah-olah mereka ingin mengerem laju pertambahan usia mereka.
* Bagi perempuan masa dewasa madya tidak saja berarti menurunnya kemampuan reproduktif dan datangnya menopause, namun juga menurunnya daya tarik seksual.
* Umumnya mereka (individu dewasa madya) merasa tidak lagi menarik secara seksual bagi suami mereka, sehingga muncul kekhawatiran “akan kehilangan” suami dan kondisi ini selain dapat mengakibatkan para istri begitu mengharapkan suaminya bersikap seperti ketika masih pengantin baru, juga munculnya rasa cemburu yang kadang cenderung berlebihan, bila melihat suaminya berkomunikasi dengan perempuan yang lebih muda usianya.
* Biasanya di usia2 ini, suami mereka mulai lebih berkonsentrasi pada karier dan peningkatan kariernya, sehingga mereka semakin merasa kesepian dan “diabaikan”.
* Perasaan2 negatif ini bila tidak segera dicari pemecahannya dapat mengakibatkan para istri mengalami depresi.
* Bagi pria, masa dewasa madya merupakan usia yang mengandung arti menurunnya kemampuan fisik secara menyeluruh, termasuk berkurangnya vitalitas seksual.
* Sebagian kaum pria yang mengalami tanda-tanda terjadinya penurunan kemampuan seksual ini, akan mengalihkan perhatian mereka pada kesibukan bekerja demi meningkatkan prestasi dan memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat.
* Selain masalah seksual, kaum pria yang telah memasuki usia dewasa madya, ada juga yang ingin menutupi “kelemahan” fisiknya dengan melakukan aktivitas fisik berlebihan, dan cenderung menolak bantuan dari mereka yang lebih muda.
* Pada sebagian yang lain, justru bersikap kompensatif, dalam arti untuk menutupi “kekurangannya” mereka bersikap seperti anak muda dengan lebih memperhatikan penampilan fisik, berdandan sedemikian rupa untuk mencari perhatian dari lawan jenis yang berusia jauh lebih muda.
* Mereka yang berperilaku seperti ini justru menunjukkan adanya ketidak percayaan yang cukup besar terhadap daya tarik seksual mereka.
Masa Transisi
* Seperti juga masa remaja, individu pada masa dewasa madya juga disebut sebagai masa transisi dari masa dewasa awal ke masa dewasa lanjut (lansia).
* Sebagian cirri-ciri fisik dan perilakunya masih memperlihatkan masa dewasa awal, sementara banyak ciri fisik dan perilaku lainnya justru telah menunjukkan ciri-ciri orang dewasa lanjut.
* Kondisi transisi ini menyebabkan mereka harus banyak melakukan penyesuaian terhadap peran-peran baru yang diberikan oleh masyarakat. Selain itu, masyarakat juga mengharapkan mereka untuk dapat berpikir dan berperilaku sesuai dengan usianya.
Masa Penyesuaian kembali
* Memasuki usia dewasa madya, cepat atau lambat individu harus mengadakan penye-suaian kembali terhadap perubahan2 yang dialaminya, baik fisik maupun peranan.
* Penyesuaian terhadap perubahan peranan, biasanya akan terasa lebih sulit dilakukan bila dibandingkan dengan penyesuaian terhadap berubahnya kondisi fisik. Misalnya kaum pria yang mengalami masa pensiun, atau kaum perempuan yang mengalami perubahan peran sebagai ibu dengan anak-anak yang akan mulai memasuki kehidupan baru.
Masa Keseimbangan dan Ketidakseimbangan
* Pengertian keseimbangan mengacu pada kemampuan penyesuaian terhadap terjadinya perubahan2 fisik dan psikologis yang dilakukan orang2 dewasa madya.
* Keseimbangan ini dapat dicapai bila ada penyesuaian secara menyeluruh terhadap pola-pola kehidupannya. Mereka yang mampu mencapai keseimbangan akan merasakan kehidupan yang tenang, tenteram dan damai di rumah, sehingga tidak suka “keluyuran”/ buang-buang waktu di luar rumah untuk kegiatan yang tidak berguna.
* Ketidakseimbangan artinya adalah terjadinya kegoncangan2/gangguan2 penyesuaian yang dialami individu pada masa ini, baik yang bersifat internal maupun eksternal, termasuk dengan pasangan hidupnya.
* Mereka yang tidak mampu mencapai keseimbangan ini akan merasa tidak betah di rumah, dan cenderung ingin “lari” dari rumah untuk memenuhi kebutuhan2 fisik dan psikologis yang tidak diperoleh di rumahnya
Usia Berbahaya
* Yang dimaksud dengan usia berbahaya adalah dalam hal kehidupan seksual-nya, terutama dengan isterinya.
* Juga dalam hal-hal yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan lainnya, seperti kondisi fisik yang mulai rentan terhadap penyakit, juga kondisi psikologis yang relative menjadi lebih peka, dalam arti mudah tersinggung, tertekan, stress, hingga depresi.
* Dalam hal-hal yang berhubungan dengan masalah seksual, tidak jarang terjadi para suami yang mulai merasa “bosan” dengan istrinya, sehingga mulai menyeleweng, atau pun menceraikan istrinya untuk kawin lagi dengan perempuan lain yang kadang-kadang seusia dengan anak gadisnya.
* Adapun untuk hal-hal yang lain, individu usia dewasa madya, relative lebih sering mengalami gangguan fisik maupun mental, bahkan pada orang-orang tertentu dapat mengakibatkan bunuh diri.
Usia Kaku/Canggung
* Seperti juga masa remaja ketika individu tidak bisa lagi disebut anak-anak, tetapi juga belum layak disebut dewasa, begitu juga individu dewasa madya, sudah kurang pantas disebut dewasa dini, namun juga belum bisa disebut tua. Dalam situasi seperti ini, kadang muncul rasa canggung dan bingung pada individu.
* Pada sebagian individu kondisi ini mengakibatkan mereka ingin menutupi ketuaan dengan berbagai cara dan sejauh mungkin berusaha untuk tidak tampak tua, misalnya dalam hal pemilihan busana, berdandan/ pemakaian kosmetik dsb. Kadang-kadang apabila individu agak berlebihan di dalam menampilkan busana dan dandanan yang bertujuan untuk menutupi ketuaannya, maka hal ini justru menyebabkan mereka tampak janggal, sehingga terlihat kaku/canggung.
Masa Berprestasi
* Berprestasi pada usia dewasa madya menurut Werner merupakan suatu gambaran yang positif dari seorang individu.
* Pada usia 40 tahun pada orang-orang normal telah memiliki pengalaman yang cukup dalam pendidikan dan pergaulan, sehingga mereka telah memiliki sikap yang pasti serta nilai-nilai tentang hubungan social yang berkembang secara baik.
* Kondisi keuangan dan kedudukan social mereka biasanya telah mapan, serta mereka telah memiliki pandangan yang jelas tentang masa depan dan tujuan yang ingin dicapai.
* Apabila situasi ini diikuti dengan kondisi fisik yang prima, maka mereka dapat menyatakan bahwa hidup dimulai di usia 40 tahun (life begin 40th).
* Menurut Hurlock yang dapat dicapai individu di usia dewasa madya, tidak hanya kesuk-sesan secara financial, melainkan juga dalam hal kekuasaan dan prestise.
* Biasanya usia pencapaian terjadi antara 40-50 tahun. Selain itu masyarakat sendiri nampaknya baru mengakui kemampuan atau prestasi seseorang secara mantap apabila yang bersangkutan telah memasuki usia dewasa madya.
Bila ditinjau dari sisi psikologi, memang usia 40 tahun memiliki banyak keistimewaan, salah satunya sebagaimana tercermin dari sabda Rasulullah saw.,
العَبْدُ الْمُسْلِمُ إِذَا بَلَغَ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً خَفَّفَ اللهُ تَعَالَى حِسَابَهُ ، وَإِذَا بَلَغَ سِتِّيْنَ سَنَةً رَزَقَهُ اللهُ تَعَالَى الْإِنَابَةَ إِلَيْهِ ، وَإِذَا بَلَغَ سَبْعِيْنَ سَنَةً أَحَبَّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ، وَإِذَا بَلَغَ ثَمَانِيْنَ سَنَةً ثَبَّتَ اللهُ تَعَالَى حَسَنَاتِهِ وَمَحَا سَيِّئَاتِهِ ، وَإِذَا بَلَغَ تِسْعِيْنَ سَنَةً غَفَرَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ وَشَفَّعَهُ اللهُ تَعَالَى فِى أَهْلِ بَيْتِهِ ، وَكَتَبَ فِى السَّمَاءِ أَسِيْرَ اللهِ فِى أَرْضِهِ – رواه الإمام أحمد
Seorang hamba muslim bila usianya mencapai empat puluh tahun, Allah akan meringankan hisabnya (perhitungan amalnya). Jika usianya mencapai enam puluh tahun, Allah akan memberikan anugerah berupa kemampuan kembali (bertaubat) kepada-Nya. Bila usianya mencapai tujuh puluh tahun, para penduduk langit (malaikat) akan mencintainya. Jika usianya mencapai delapan puluh tahun, Allah akan menetapkan amal kebaikannya dan menghapus amal keburukannya. Dan bila usianya mencapai sembilan puluh tahun, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan dosa-dosanya yang belakangan, Allah juga akan memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya, serta Allah akan mencatatnya sebagai “tawanan Allah” di bumi. (H.R. Ahmad)
Hadits ini menyebut usia 40 tahun paling awal, dimana isinya bermakna bahwa orang yang mencapai usia 40 tahun dan ia tetap memiliki komitmen terhadap penghambaan kepada Allah swt. sekaligus memiliki konsistensi terhadap Islam sebagai pilihan keberagamaannya, maka Allah swt. akan meringankan hisabnya. Perhitungan amalnya akan dimudahkan oleh Allah swt. Ini merupakan suatu keistimewaan tersendiri, karena dihisab, diteliti secara detail, diinterogasi secara berbelit-belit, merupakan suatu tahapan di akhirat yang sangat sulit, pahit, lama, dan mencekam tak ubahnya disiksa, betapa pun siksa yang sebenarnya belum dilaksanakan.
Orang yang usianya mencapai 40 tahun mendapatkan keistimewaan berupa hisabnya diringankan. Boleh jadi ini karena untuk mencapai usia 40 tahun dengan tingkat penghambaan dan keberagamaan yang konsisten tentulah membutuhkan proses perjuangan yang melelahkan.
Tetapi, umur 40 tahun merupakan saat harus waspada juga. Ibarat waktu, orang yang berumur 40 tahun mungkin sudah masuk ashar. Senja. Sebentar lagi maghrib. Sahabat Qotadah, tokoh generasi tabiin, berkata, “Bila seseorang telah mencapai usia 40 tahun, maka hendaklah dia mengambil kehati-hatian dari Allah ‘azza wa jalla.”
Bahkan, sahabat Abdullah bin Abbas ra. dalam suatu riwayat berkata, “Barangsiapa mencapai usia 40 tahun dan amal kebajikannya tidak unggul mengalahkan amal keburukannya, maka hendaklah ia bersiap-siap ke neraka.”
Nasihat yang diungkap oleh dua sahabat besar tersebut memberikan pengertian bahwa manusia harus mulai bersikap waspada, hati-hati, dan mawas diri dalam aktivitas pengabdiannya kepada Allah swt. manakala usianya telah mencapai 40 tahun. Ia ditekankan untuk meningkatkan atau setidak-tidaknya mempertahankan amal kebajikan yang telah dibiasakannya pada usia-usia sebelumnya. Tidak justru “tua-tua keladi”, makin tua dosanya makin menjadi-jadi. Secara keras, Ibnu Abbas ra. mengingatkan manusia yang berumur 40 tahun dan amal kebajikannya masih kalah dibanding dengan amal keburukannya, maka hendaklah ia bersiap-siap ke neraka.
Atas dasar ini, penduduk Madinah dahulu yang didominasi oleh para sahabat Nabi Saw. ketika usia mereka telah mencapi 40 tahun, mereka konsentrasi beribadah. Mereka mulai memprioritaskan hari-harinya untuk aktivitas ibadah. Kesibukan mencari materi mereka kurangi dan beralih memfokuskan diri pada kegiatan yang bersifat non-materi, dalam rangka memobilisasi bekal sebanyak-banyaknya bagi kehidupan setelah mati. Hal yang sama dilakukan oleh penduduk Andalusia, Spanyol.
Imam asy-Syafi’i tatkala mencapai usia 40 tahun, beliau berjalan seraya memakai tongkat. Jika ditanya, jawab beliau, “Agar aku ingat bahwa aku adalah musafir. Demi Allah, aku melihat diriku sekarang ini seperti seekor burung yang dipenjara di dalam sangkar. Lalu burung itu lepas di udara, kecuali telapak kakinya saja yang masih tertambat dalam sangkar. Komitmenku sekarang seperti itu juga. Aku tidak memiliki sisa-sisa syahwat untuk menetap tinggal di dunia. Aku tidak berkenan sahabat-sahabatku memberiku sedikit pun sedekah dari dunia. Aku juga tidak berkenan mereka mengingatkanku sedikit pun tentang hiruk pikuk dunia, kecuali hal yang menurut syara’ lazim bagiku. Di antara aku dan dia ada Allah.”
Syeikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam kitab “al-Bahr al-Maurûd” menyatakan, “Kita memiliki keterikatan janji manakala umur kita telah mencapai 40 tahun, bahwa kita harus melipat alas tidur kecuali bila terkuasai (yakni, kantuk berat datang dan tak bisa dihindari), kita tidak boleh alpa dari keberadaan kita sebagai para musafir ke negeri akhirat di setiap detak nafas, sehingga kita tidak merasa memiliki kenyamanan sedikit pun di dunia. Kita harus melihat sedetik nafas dari umur kita setelah usia 40 tahun sebanding dengan 100 tahun dari umur sebelumnya. Begitulah. Pasca usia 40 tahun, tidak ada rehat bagi kita, tidak lagi berebutan atas suatu jabatan (kursi), tidak juga merasa senang dengan sedikit pun dari dunia. Semua itu karena sempitnya usia pasca 40 tahun. Tidaklah pantas orang yang berada di ujung kematian berlaku lalai, lupa, santai, dan bermain-main.”
> Lantas, apa yang harus kita lakukan ketika menginjak usia 40 tahun?
Beberapa yang disebutkan Ahmad Syarifuddin dalam bukunya ini adalah,
1. Meneguhkan tujuan hidup
2. Meningkatkan daya spiritualisme
3. Menjadikan uban sebagai peringatan
4. Memperbanyak bersyukur
5. Menjaga makan dan tidur
6. Menjaga konsistensi dan kontinuitas
Jika ada yang mengatakan bahwa: Life began at forty, saya cenderung berpendapat bahwa kehidupan yang dimaksud adalah kehidupan religius, kehidupan yang berfokus dan konsentrasi untuk persiapan menuju negeri akhirat. Karena bagaimanapun, statemen Helen Rowland itu belum selesai. Lanjutnya, … but so do fallen arches, rheumatism, faulty eyesight, and the tendency to tell a story to the same person, three or four times. Kehidupan memang dimulai umur 40 tahun, tetapi pada saat itu kita juga mulai cekot-cekot, reumatik, rabun, dan kecenderungan pikun.
Karena itu, agaknya syair Ali bin Abi Thalib ra. ini bisa dijadikan renungan,
إِذَا عَاشَ الْفَتَى سِتِّيْنَ عَامًا # فَنِصْفُ الْعُمْرِ تَمْحَقُهُ اللَّيَالِي وَرُبْعُ الْعُمْرِ يَمْضِى لَيْسَ يُدْرَى # أَيُقْضَى فِى يَمِيْنٍ أَوْ شِمَالِ وَرُبْعُ الْعُمْرِ أَمْرَاضٌ وَشَيْبٌ # وَشُغْلٌ بِالتَّفَكُّرِ وَالْعِيَالِ
Jika seorang pemuda dikaruniai usia 60 tahun, maka separuh usianya habis oleh tidur di malam hari. Sementara seperempat usianya berlalu tanpa diketahui, apakah dijalankan ke kanan atau ke kiri. Seperempat usianya yang lain dimangsa oleh sakit, uban, dan kesibukan mengurus keluarga.
Jika umur kita pada kenyataannya lebih banyak yang kita habiskan untuk sesuatu yang tidak berguna, maka kiranya kini saatnya untuk tidak lagi menyia-nyiakan waktu yang tersisa. Sebagaimana sahabat Abdullah bin Umar r.a. pernah menceritakan hadits dari Rasulullah Saw. yang perlu dicamkan berkaitan dengan hal ini.
Rasulullah Saw. memegang kedua pundakku dan bersabda, “Jadilah di dunia seakan-akan kamu orang asing (perantau) atau pengembara (musafir).” Abdullah bin Umar ra. berkata, “Jika berada di waktu sore, jangan menanti waktu pagi. Jika berada di waktu pagi, jangan menanti waktu sore. Pergunakanlah (rebutlah) masa sehatmu (dengan amal-amal shaleh) untuk bekal (antisipasi) masa sakitmu dan masa hidupmu untuk bekal (antisipasi) masa matimu.” (H.R. Bukhari).
[Written by Adi Wicaksono]