Kamis, 10 September 2009

Rumah Allah


“Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS At Taubah [9]:18)

Ketika awal ramadhan, begitu banyak kita temui masjid-masjid dipenuhi oleh jamaahnya yang berbondong-bondong untuk melaksanakan shalat isya dan tarawih berjamaah serta terkadang mendengarkan tausiyah. Tapi dihari-hari pertengahan ramadhan ke depan banyak dari jamaah masjid itu telah berkurang hingga tinggal separuhnya saja dan terkadang hanya tinggal sepertiganya saja.

Suasana di sebuah masjid itu begitu menentramkan. Dari awal ramadhan hingga saat ini, jemaah masjid masih terlihat sama banyaknya. Lebih-lebih ketika akhir pekan, jemaah tampak lebih banyak dari hari-hari biasa.

Ketika adzan isya selesai dikumandangkan, tidak ada suasana tergesa-gesa yang tampak. Jemaah terlihat mengerjakan shalat sunnat qabliyah maupun tahyatul masjid dengan tenang. Ketika muadzin mengumandangkan iqamah setengah jam lebih sesudah adzan, serempak para jemaah berdiri dan merapatkan barisannya, tanpa menunggu perintah imam. Barisan itu begitu rapat dan rapi terlihat. Bahu dengan bahu dan kelingking kaki saling bertemu, seolah shalat ditunaikan di salah satu dari dua masjid yang suci, Masjidil Haram dan Nabawi di Madinah. Dan seolah juga para jemaahnya sangat paham dengan hadish Rasulullah saw.

“Luruskan barisan. Rapatkan bahu dengan bahu dan kaki dengan kaki. Tutuplah segala sela-sela yang ada diantara kalian dan bersikap lembutlah terhadap saudara-saudaramu, dan jangan engkau tinggalkan renggang ditengah-tengah barisan karena hal itu dijadikan jalan bagi setan. Barangsiapa yang menyambung barisan, Allah akan menyambungnya dan barangsiapa yang memutuskan barisan, Allah akan memutuskan hubungan.” (HR Bukhari)

Masjid ini memang berbeda dan hal ini membawa keteduhan bagi para jamaahnya. Dari awal sholat isya sampai terawih saf-saf sholat masih terlihat sempurna. Dan yang paling membahagiakan adalah disela-sela dua rakaat tarawih, para makmum selalu saling menyempurnakan. Dimana di masjid-masjid lain sering sekali saf-saf sholat tidak pernah dipedulikan. Kerenggangan ada dimana-mana. Ketika sholat di masjid lain, pernah seorang hamba itu mengingatkan sesama makmum disebelahnya untuk merapatkan barisan, bukan keramahan dan kelembutan didapat seperti hadish Nabi diatas, tapi malah makmum sebelahnya menunjukkan sikap tidak senang dan menjadikan tubuhnya kaku karena eggan untuk bergerak. Sungguh sangat menyedihkan. Demikian juga apa yang ia dengar dari istrinya, dimana para wanita selalu membawa sajadahnya sendiri-sendiri, maka kaum hawa pun lebih tidak peduli lagi saf yang ada. Mereka mengabaikannya. Padahal dalam sebuah hadish Rasulullah saw bersabda,

“Luruskanlah barisan dan rapatkan, karena sesungguhnya menyempurnakan saf itu adalah termasuk rukun (menegakkan) sholat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hamba itu teringat akan apa yang telah khalifah Umar ibn Khatab lakukan ketika ia memimpin sholat. Ia mengambil pedangnya dan meratakan saf makmum nya dengan menorehkan garis dengan pedang tersebut. Demikian juga Rasulullah saw yang tidak akan memulai sholatnya jika Nabi tidak yakin akan kesempurnaan saf para makmumnya.

Satu hal yang juga membahagiakan adalah di masjid ini, jarang terdengar suara anak-anak bermain ataupun menangis yang terkadang sangat mengganggu. Tiada petasan yang terdengar. Ketika sholat terawih ditunaikan, sebahagian lampu bagian dalam masjid dipadamkan untuk mengurangi hawa panas. Bagi para jamaah, hal ini justru membawa kekhusyukan tersendiri yang tidak didapat di masjid lain.

Malam itu seorang ulama menyampaikan tausiyahnya. Sebuah wejangan yang sangat sederhana dari ‘Makna Puasa’. Tema yang selalu dibahas dimana-mana dan rujukannya adalah selalu QS Al Baqarah [2]:183. Dan kata-kata ‘Laallakum Tataqun’ selalu saja diulang-ulang. Tapi ada yang beda tentang apa yang disampaikan. Ulama itu berkata, “Kita sendiri yang dapat mengetahui kadar ketaqwaan kita. Ketika hati kita teduh dan tenteram berada di salah satu rumah Allah; Ketika kita merasakan bahwa sedeqah yang kita berikan adalah sebenarnya untuk meredam sifat kikir yang ada pada diri kita; Dan ketika hari-hari ramadhan makin mendekati akhirnya, kita merintih dan sedih akan meninggalkannya. Ini adalah bukti bahwa ketaqwaan itu ada dalam diri kita.” Sebuah pesan sederhana yang menggugah.

Hamba itu masih enggan beranjak. Ia sangat merasakan keberkahan yang memancar dari sebuah masjid yang dibangun dengan dasar taqwa. Sebuah masjid tempat ia duduk saat ini yang didirikan dengan perjuangan yang begitu melelahkan dari seorang ulama yang disegani. Seorang Buya Hamka. Simbol sebuah ketundukan dan kepatuhan terhadap Rabb semesta alam yang diberi nama Masjid Al Azhar. Keberkahan yang memancar dari setiap orang yang datang untuk memakmurkannya.

“...Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu mendirikan shalat didalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah mencintai orang-orang yang bersih.” (QS At Taubah [9]:108)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar