Jumat, 18 Juni 2010

Jangan Ceraikan Tiga Saudara Kembarmu


Jangan Ceraikan Tiga Saudara Kembarmu

Oleh Abdul Mutaqin

Kesenjangan dalam keberagamaan antara tataran normatif dengan praksis di medan hidup semakin nampak menggila. Iman, Islam dan Ihsan yang diformulasikan dalam bentuk ritual ibadah, zikir dan tafakkur tidak dipantulkan bayangannya dalam segmen kehidupan. Iman, Islam dan Ihsan menjadi pohon angker yang tak berbuah manis, tapi pahit dan getir. Iman sebatas simbol. Islam tidak dimaknai lebih dari sekedar pelengkap informasi KTP. Adapun Ihsan jauh terasing di seberang tingkah laku yang sekedar menoleh pun enggan. Ketiganya seolah asing satu sama lain untuk bertegur sapa. Subhanallaah wa Alhamdulilah wa Allahu Akbar, semoga tidak semua demikian. Masih banyak mukmin muslim muhsin sejati.

Di medan hidup kita bisa tidak habis pikir. Jangan heran berlebihan apabila menjumpai orang sudah berpeci putih, jamaah dan ta’limnya rajin tapi sampai hati memperlakukan anak dan isterinya sangat tidak santun. Jangan juga terbelalak, apabila mendengar publik figur yang dikenal alim tetapi meringkuk di penjara gara-gara tersandung urusan korupsi. Dan jangan juga terlalu sakit hati melihat polah tingkah segelintir artis yang begitu sumringahnya membuka aurat padahal seminggu sebelumnya baru pulang dari umroh. Seolah-olah umroh adalah umroh dan pesta pora membuka aurat adalah soal lain.

Saya teringat sebuah cerita imajiner; Cendil dan kisah seorang pelacur yang rajin tahajjud. Cerita yang menampilkan realitas hidup sesungguhnya di zaman yang semakin renta ini. Dunia yang semakin peot dengan debu peradaban memang terlihat semakin cantik dengan kosmetik teknologi modern. Dengan teknologinya pula, banyak seorang muslim tidak sadar telah memisahkan tiga saudara kembarnya; Iman, Islam dan Ihsan.

Islam satu substansi tata nilai, iman sebuah substansi, ihsan juga sebuah substansi, dan seorang muslim adalah substansi yang lain. Allah menghendaki, keterpautan yang utuh antara Iman, Islam dan Ihsan. Ketiganya menjadi pilar yang harus diamalkan sebagai jalan hidup bagi setiap orang yang berikrar sebagai muslim. Semestinya memang, antara substani tata nilai dangan kepribadian adalah menyatu. Seperti menyatunya Iman, Islam dan Ihsan pada diri Rasulullah SAW, para sahabat ra. dan orang-orang sesudahnya yang taat kepada-Nya.

Pada titik tertentu, begitu banyak orang menyalahkan Islam sebagai agama yang gagal menjadikan ummatnya menjadi manusia arif. Maraknya korupsi, kekerasan, kawin-cerai dan beberapa perilaku menyimpang, dijadikan sebagai amunisi untuk merusak citra Islam. Ya, karena banyak dari para aktor keburukan adalah jelas-jelas muslim. Baik KTP dan bayangan zahirnya yang kasat mata. Jadilah Islam itu dirusak oleh pemeluknya sendiri. Keindahan Islam justeru ditimbun oleh ”sampah” kemaksiatan oknum muslim itu sendiri. Benarlah ungkapan ”Al Islaam mahjuubun bilmuslimiin”. Padahal masalahnya bukan pada Islamnya, tetapi lebih kepada substansi pribadi muslim yang enggan menjadikan Islam itu sebagai jalan hidup yang kaaffah yang dilandasi Iman dan dihiasi Ihsannya. Tetapi para phobi Islam itu, mana mau peduli? Salahnya kita mengapa berbaik hati memberikan peluru kepada musuh sendiri.

Malapetaka dan fitnah adalah buah apabila ketiganya diceraiberaikan. Iman tanpa Islam seperti mimpi. Islam tanpa Iman seperti bungkusan cantik tanpa isi. Iman dan Islam tanpa Ihsan kaku dan rigid. Maka menjadi mafhumlah kita, mengapa sering kali Al-Qur’an menyeru iman bergandengan dengan amal salih.

Memang terasa ganjil, apabila seorang yang khusyu ketika di masjid, tetapi menjadi penipu ketika di pasar. Berulang kali ke tanah suci, tetapi mendekam di penjara karena kasus korupsi. Ringan hati membeli perabot rumah yang mahal-mahal dan hampir tidak perlu kecuali sebatas aksesoris, tetangga sebelahnya kelaparan. Meskipun hanya sebungkus nasi warteg untuk mereka, berat tangan digerakkan. Padahal kesehariannya mengenakan sorban dan mengapit biji-biji tasbih. Mengapa terjadi? Ya, karena mereka sampai hati dan tega memisahkan tiga saudara kembarnya; Iman, Islam dan Ihsan.

Atau seperti cerita seorang ”wanita nakal” dan laki-laki ”belang” setengah baya yang berbisik setelah mereka kelelahan menghabiskan separuh malam. Di ruang privat mereka asik masyuk mengkhianati bangunan rumah tangganya. Membuang janji suci perkawinannya ke keranjang sampah kedustaan. Dan melukai panggilan hormat anak-anak dan pasangannya. Dengan keringat masih mengkilat di sekujur tubuh mereka, si wanita berujar :

”Om, apakah Om sudah puas? Kalau sudah Saya hendak pamit”. ”Mau kemana?”, sahut tamunya itu malas-malasan sambil tangan dan kakinya masih mengapit tubuh wanita itu erat.

”Saya mau mandi junub dan tahajjud. Ini adalah waktu sepertiga malam. Waktu yang tepat untuk munajat. Mudah-mudahan do’a saya didengar dan dikabul”.

“Oh ya, nanti tolong juga sampaikan amplop coklat di meja rias itu untuk anak-anak yatim di kompleksmu. Yang warna pink untukmu. Saya ingin istirahat tidur”.

Naudzubillah. Jangan kaget lagi, itu hanya cerita imajiner yang saya reka. Sekedar selingan melepas lelah setelah membaca naskah ilmiah atau artikel yang memeras otak.

Bagaimana jadinya jika cerita imajiner itu adalah nyata terjadi dan bukan sekedar imajinasi nakal? Itu soal lain. Dan beredarnya video mesum adalah jawaban konkretnya. Jika mereka para pelakon birahi itu adalah muslim, itulah muslim yang tega memisahkan tiga saudara kembarnya; Iman, Islam dan Ishan.

Kita juga pasti termangu mendengar rumah-rumah sebagian wanita di kempleks pelacuran yang konon di dinding-dinding rumahnya terpajang kaligrafi Al-Qur’an. Pada jendelanya bergayut sajadah dan mukena. Belum tentu juga laki-laki yang tidur di pelukannya adalah laki-laki dari komunitas rendahan. Belum tentu. Bahkan banyak di antara mereka adalah orang-orang yang berteduh di bawah payung strata sosial terhormat. Dihormati keluarga dan masyarakat dan bekerja pada lembaga terhormat pula. Why? Ya, karena mereka sampai hati dan tega memisahkan tiga saudara kembarnya; Iman, Islam dan Ihsan.

Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: ”Tidak ada pezina yang di saat berzina dalam keadaan beriman. Tidak ada pencuri ketika mencuri dalam keadaan beriman. Begitu pula tidak ada peminum arak di saat meminum dalam keadaan beriman” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Soal kasus video mesum sangat melelahkan moral dan akhlak bangsa kita. Mau jadi apa anak dan generasi kita ke depan? Ribuan Anak sekolah melihatnya tanpa malu-malu kucing. Orang tua mereka berbaik hati telah memberinya handphone. Orang tua tidak sadar bahwa ia telah menampar pipinya sendiri dengan pemberiannya itu. Media turut andil membuka kran informasi dan memblowup kasus birahi ini saban hari. Maka anak-anak yang tinggal di pegunungan turun gunung. Anak-anak yang tinggal di pantai dan di tepian sungai mengarungi laut dan menyebarangi sungai. Anak-anak yang tinggal di bibir hutan menerobos belukar dan belantara. Mereka berhamburan hanya untuk mencari warnet di perkotaan agar bisa mengunduh video yang disiarkan televisi. Atau jika gaptek, pasti akan ada cara lain untuk mendapatkannya. Yang penting rasa ingin tahunya dari televisi bisa terpuaskan.

What children see, children do. Ungkapan ini membuat para orang tua berbesar hati. Anak-anak rajin salat, ngaji, berdo’a, puasa dan bersedekah sebab awalnya melihat sekelilingnya berbuat demikian. Karena mereka melihat ayah-ibu taat beribadah, menikmati hiburan ibadah, membaca buku-buku ibadah, begaul dengan teman taat ibadah, bersekolah di lembaga yang menumbuhkan rajin ibadah dan menetap di lingkungan yang taat beribadah. Maka para orang tua berbesar hati. Kelak ketika mereka telah tiada, anaknya setia mendo’akan untuknya. Mengalirlah pahala ketaatan anak-anak mereka dari jerih payah telah mendidiknya dengan atmosfir ketaatan. Sejuk, terang dan lapang kubur mereka.

What children see, children do. Ungkapan ini sungguh membuat dada kita berguncang. Anak-anak terbiasa meninggalkan salat, malu mengaji, acuh dalam berdo’a, asing dengan puasa dan bersedekah sebab awalnya melihat sekelilingnya berbuat demikian. Karena mereka melihat ayah-ibu tidak beribadah, menikmati hiburan cabul dan porno, membaca buku-buku cabul dan porno, begaul dengan teman cabul dan porno, bersekolah di lembaga yang tidak peka dengan hal-hal cabul dan porno serta tinggal di tengah-tengah komunitas penikmat video cabul dan porno. Maka para orang tua tidak punya harapan. Kelak ketika mereka telah tiada, anaknya tak sanggup sebait pun mendo’akan untuknya. Mengalirlah kedurhakaan anak-anak mereka sebab telah lalai mendidiknya dengan atmosfir kedurhakaan. Panas, gelap dan sempit kubur mereka.

Alasan koleksi pribadi yang dibocorkan tentu masuk akal. Alasan ada pihak lain yang membocorkan dan melemparnya hingga ke tangan anak-anak yang belum balig juga masuk akal. Yang tidak masuk akal apabila pelakunya masih memiliki saudara kembar, Iman, Islam dan Ihsan. Tetapi apa yang mereka ”pertontonkan” itu menjadi masuk akal oleh karena ketiga saudara kembarnya yang setia melindungi diri mereka dari kehancuran dan kenistaan telah dipisahkan dari dirinya. Sebab ketiga saudara kembar itu adalah elemen paling keras yang menentang segala bentuk kedurhakaan.

Bila aktornya sudah memiliki pasangan yang sah, semakin menunjukkan bahwa dahaga birahi memang tidak pernah bisa dicukupi. Merekalah perusak sakralitas perkawinan dan bangunan sakiinah, mawaddah dan rahmah, tujuan rumah tangga pengikat mitsaqan ghaliizha. Mengapa mereka seolah tak merasa cukup dengan pasangan pilihan Allah untuknya? Ya, karena mereka sampai hati dan tega memisahkan tiga saudara kembarnya; Iman, Islam dan Ihsan. Pilihan Allah ditukarnya dengan pilihan Al A’war laknatullah.

Bila aktornya adalah gadis dan jejaka, mereka telah salah menerjemahakan cinta dan kasih sayang. Cinta bukanlah kuda liar yang dibiarkan berlari ke mana ia suka tanpa tali kekang. Sayang mereka membuang tali kekang nafsunya. Itulah yang terjadi. Mereka lupa bahwa telah menggali jurang untuk dirinya dan banyak orang. Mereka tidak sadar telah mendorong mental-mental generasi anak orang yang polos ke lubang kehancuran mental. Mereka lumuri fitrah anak beranak dengan kotoran zina. Durasi enam menit adegan jorok yang mereka lihat, seumur hidup akan melekat dan mereka bawa sampai mati. Celaka, celaka dan celaka, apabila durasi enam menit itu menjadi inspirasi untuk meniru apa yang mereka lihat. What children see, children do. Merebaklah perzinahan. Dan dosa pun beranak pinak.

“... Dan barangsiapa yang memberi contoh keburukan, hal yang nengatif, kerusakan, maka baginya dosa, dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi sedikit pun dosa orang yang mengikutinya.” (HR. Imam Muslim)

Dalam penomena hidup, berpasangan adalah keseimbangan. Kita percaya itu. Laki-laki dan perempuan. Ada baik ada buruk. Bagus-jelek. Kaya-miskin. Amanah-khianat. Soleh-durhaka dan seterusnya. Tetapi soal berpasangan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks jodoh dan pasangan hidup saya tidak percaya. Saya lebih percaya pada firman Allah:

"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga)".(terjemah QS. An Nuur [24] :26)

"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin". (terjemah QS. An Nuur [24] :3)

Di mana posisi kita?

Setiap laki-laki dan wanita yang masih memiliki tiga saudara kembar itu, pasti tidak akan pernah melakukannya. Juga tidak akan pernah sanggup sekedar “menonton”nya. Malu, malu dan malu. Malu kepada saudara kembarnya; Iman, Islam dan Ihsannya. Malu kepada anak-anak Dan kepada mereka laki-laki dan wanita baik-baik telah dituliskan pasangannya yang baik-baik pula.

Namun di balik itu, para pezina harus ditolong. Para pencuri atau koruptor harus ditolong. Begitu juga para pemabuk, mereka harus ditolong. Jika kita bingung mengapa mereka harus ditolong, tidak usah. Dulu para sahabat juga bingung ketika Nabi meminta mereka mnyuruh menolong orang zalim. Setahu mereka dan kita, orang yang dizalimi lah yang harus ditolong. Lalu untuk apa dan bagaimana harus menolong para pelaku zalim?

Menolong pelaku zalim adalah memutus rantai kezalimannya. Mencegahnya dari berlaku zalim yang berulang-ulang dan mencegah dampak buruk kezalimannya semakin meluas. Semakin sempit dampak perbuatan zalimnya, sedikit pula efek dosa yang ditanggungnya. Lalu kita tidak membayangkan, jika perbuatan zalim itu berdampak sangat luas. Dilihat, disaksikan dan dirasakan orang se-Indonesia. Seluas itu pula beban dosa yang akan dipikulnya bukan? Tolong mereka, meski harus dengan menegakkan hukuman atasnya. Bagi para pelaku, terimalah hukuman itu sebagai bagian dari upaya menolong kalian sendiri. Sanggup?

Jangan pernah menceraikan Iman, Islam dan Ihsan dalam hidup. Ketiganya ibarat teks saat berbicara dan menjadi energi saat berperilaku. Wariskan ketiganya pada anak-anak kita. Semoga jasad dan perilaku kita adalah gambar dan rupa dari kreasi ketiganya. Allahu a’lam.

Ciputat, Juni 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar